After We Divorce [New Version]

By hechanahessa

2M 195K 5.9K

Open Pre-Order | Part Lengkap _____________ Aleena pikir, menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar... More

PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog
VOTE COVER
OPEN PRE-ORDER
Masih Bisa Dipesan

Chapter 21

43.3K 4.5K 219
By hechanahessa

Hari yang ditunggu-tunggu Aleena tiba. Setelah menghabiskan hampir seluruh kesabarannya—karena Ervan beberapa kali harus menghadiri acara keluarga dan perlu ke luar kota di waktu weekend, akhirnya perempuan itu bisa menapakkan diri di kota Kembang. Turun dari kereta, Aleena membawa Evan menuju pintu utara yang terletak di jalan Kebon Kawung. Ervan sendiri sudah bersandar di mobil tak jauh dari sana. Lelaki yang pagi ini berpenampilan monochrome outfit tersebut bergegas menghampiri begitu dia melambaikan tangan.

"Gimana perjalanannya? Evan mabuk?" tanyanya ketika Lexus hitam Ervan membawa ketiganya menjahui area stasiun Hall.

"Capek, tapi Puji Tuhan lancar. Evan juga nggak mabuk. Excited banget dia selama di perjalanan, makanya sampe sekarang masih pulas tidur."

Aleena melihat kebelakang, kemudian tersenyum tipis. Ervan benar-benar mempersiapkan segalanya. Mulai dari tiket kereta, transportasi menuju stasiun di Surabaya, ongkos, hingga car seat anak di mobil ini pun sudah dipasang dengan baik. Aleena awalnya menolak semua itu—sebab merasa tak enak, tetapi bukan Ervan namanya kalau tidak bisa memaksakan kehendak.

"Kamu sendiri udah nyampe dari kapan?"

"Dari pagi-pagi buta tadi," jawabnya sambil mengangsurkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. "Aku pulang dari meeting langsung ke sini."

"Pak Asep masih jadi supir kamu? Kasihan banget malem-malem nyetir."

"Masih. Tapi sekarang anaknya yang sulung suka gantiin beliau di beberapa kesempatan. Aku juga nggak bakalan tega nyuruh-nyuruh beliau sampai nggak kenal waktu."

Aleena membulatkan mulut. Ervan kembali memberikan sebuah kotak makan yang berisi French toast. Perempuan itu menikmati sarapan buatan sang suami seraya mengangguk-angguk puas, karena rasanya lumayan dan penampilannya juga bagus sekali. Agaknya, kemampuan memasak Ervan sudah meningkat.

"Istri Pak Asep masih bantu-bantu di apartemen? Terus temen kuliah kamu yang orang Tionghoa itu masih jadi asisten pribadi kamu?"

Ervan bergumam mengiakan. "Itu yang kemarin kasih kue Harvest ke Evan."

Saat berhenti di lampu merah, Ervan menyerongkan tubuh untuk menurunkan sandaran jok Aleena. Pria itu juga sempat menawarkan tisu begitu makanannya habis. Gesturnya begitu santai, bahkan ketika menempatkan sebuah bantal di punggung Aleena. Dirinya tidak menyadari perubahan ekspresi sang wanita. Alih-alih mengantuk setelah menempuh perjalanan jauh, perempuan itu malah setengah berbaring kaku dengan napas tertahan. Aroma bergamot segar merasuki indra penciumannya sampai dia tidak bisa berpikir jernih.

"You don't change your perfume?"

Aleena lantas menggigit bibirnya yang berucap latah. Kulit wajahnya langsung memerah malu. Sial. Mulutnya mengkhianati logika.

"What?" Dia membeo, lalu terkekeh kecil melihatnya memalingkan wajah. "Oh, nggak. Sauvage-nya Dior yang citrus wanginya enak dan aku suka. Kamu ... masih hafal, ya?"

"Uhm ... harganya juga masih hafal," jawabnya yang terdengar seperti cicitan tikus.

Kali ini dia terbahak. "Bedanya, sekarang aku nggak perlu irit-iritin biar awet."

Aleena tidak bisa menahan dengkusan. Pendapatan Ervan jelas tidak bisa disamakan seperti beberapa tahun lalu. Apa yang dihasilkan sebanding dengan beban pekerjaan dan tanggungan lainnya. Jika sekarang laki-laki itu terkesan berfoya-foya, Aleena akan sangat maklum.

***

Seperti kata Davina, tempat tinggal ayah Ervan berada di pinggiran kota dan jauh dari jalan raya beraspal. Memang masih di sebuah pemukiman warga, tetapi rata-rata rumah di sana sangat sederhana. Sawah menjadi pemandangan di kanan dan kiri jalan bersemen yang hanya muat dua mobil. Tiba di sebuah hunian besar satu lantai, Ervan memarkirkan kendaraan di halaman berumput yang lumayan luas. Tidak ada pagar masuk. Tidak ada pula sekat tembok pada sekeliling rumah. Gaya bangunan itu pun jauh dari kata glamor—seperti rumah besar berpilar milik keluarga Abraham di Jakarta. Konsep arsitekturnya lebih kepada alam, dengan pot-pot bunga menggantung di tiang teras.

Memasuki ruang tamu, Aleena disuguhi desain yang menyegarkan mata. Cat tembok perpaduan dari palet warna hijau, coklat, dan sedikit sentuhan biru langit. Furnitur yang digunakan kebanyakan berbahan kayu dan rotan, sementara karpet terbuat dari serat alami. Lukisan-lukisan pemandangan menghiasi dinding, di sudut ruangan sendiri terdapat tanaman hidup. Ruangan itu memanfaatkan cahaya alami dengan membiarkan sinar matahari masuk melalui jendela-jendela besar. Suara gemericik air dari akuarium kecil menambah kesan damai.

"Kamu istirahat di sini dulu, ya? Kamarnya masih disiapkan," ujar Ervan setelah meletakkan putranya di sofa besar. "Papi masih jalan-jalan keliling desa. Mungkin sebentar lagi pulang. Aku buatin minum ke belakang dulu, ya? Tunggu sebentar."

Sebelum dia mengeluarkan suara, putra Ibu Amira itu sudah melesat pergi. Aleena lantas mendekati anaknya untuk membenarkan posisi tidurnya yang tidak beraturan. Mungkin karena terlalu lelah, ditambah hampir semalaman tidak tidur, Evan tampak begitu nyenyak dan tidak terganggu digendong-gendong sejak tadi.

Bertepatan dengan Ervan kembali membawa nampan berisi teko dan cangkir, seorang pria paruh baya di atas kursi roda datang. Perempuan yang bertugas mendorong kursi roda lantas pamit setelah memasrahkan sosok tersebut kepada Ervan.

Agaknya pria itu adalah Pak Josua, papi Ervan. Postur tubuhnya yang tinggi-besar dengan bulu-bulu lengan lebat, serta tulang hidung tinggi sangat mencerminkan orang Timur Tengah. Sekarang, Aleena tahu dari mana asal ciri fisik Ervan yang sedikit berbeda dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika diamati, hampir tidak ada bedanya antara Ervan dengan sang ayah, selain kulit Pak Josua yang sudah tidak kencang dan rambutnya sebagian besar telah memutih.

"Sudah lama sampainya, Ervan?"

"Belum, Papi." Ervan mundur dan memberikan kesempatan Aleena untuk bersalaman. "Ini Aleena yang aku ceritakan, Pi, istriku."

"Cantik sekali. Kamu kayak pakai kontak lensa, terang sekali warna coklatnya."

Aleena tersenyum kecil. "Terima kasih, Bapak."

"Oh, jangan panggil saya Bapak. Panggil Papi, biar kayak Ervan. Kamu, kan, anak perempuan saya juga."

Kedua sudut laki-laki kisaran usia 60-an itu tak pernah turun sejak memasuki ruang tamu. Binar matanya begitu hangat dan Aleena merasa sangat disayang. Tanpa sadar, selaput bening menghalangi pandangannya. Dia mendadak merindukan mendiang ayahnya.

"Anak saya jahat sekali, ya, sudah menyembunyikan kamu bertahun-tahun? Saya hampir jantungan karena begitu sampai di sini pagi tadi, Ervan mengaku mau memperkenalkan anak dan istrinya. Kata saya, kapan nikahnya coba? Tapi kamu nggak perlu khawatir, sudah saya jewer telinganya tadi," kelakar Pak Josua setengah terkekeh. Berbeda dengan Aleena yang hanya menggulum senyum, Ervan justru meringis pelan. "Kamu gimana kabarnya, Nak? Ada kesulitan nggak selama pisah sama Ervan? Dan ini ... anak kalian, ya? Wah ... ini mah seperti papanya waktu kecil."

"Benar, Papi. Kabar saya baik. Nggak ada kesulitan berarti juga selama kami pisah," sahut Aleena.

"Bagus, bagus. Oh, iya, kamu sudah sarapan? Saya tadi beli ketupat sayur loh. Makan, yuk! Eh, apa malah mau bersih-bersih dulu?" Kemudian, beliau beralih menatap putra semata wayangnya. "Kamarnya udah selesai dibersihin belum? Kalo belum, pinjamin kamar kamu dulu sana. Kasihan itu istri kamu. Pasti nggak nyaman belum ganti baju."

Seperti titah Pak Josua, Ervan mengantarkannya ke kamar. Bertepatan dengan dirinya selesai membersihkan diri dan berganti baju, ternyata Evan sudah bangun dan sedang dimandikan ayahnya di kamar tamu—tempatnya tidur malam ini. Barang-barang bawaannya juga sudah berada di sana. Sembari menunggu putranya selesai, dia pun mempersiapkan baju dan beberapa perlengkapan lainnya.

Mereka makan bersama-sama di meja makan. Meski baru pertama kali bertemu, papi Ervan tidak ada tanda-tanda canggung. Sikapnya begitu akrab seolah-olah mereka sudah sering berjumpa. Terlebih, Aleena merasakan kasih sayang yang sama besar seperti yang dicurahkan kepada Ervan. Dengan Evan pun, mertuanya itu bisa mengajaknya bermain tanpa menemui kesulitan berarti. Dalam sekejap, baik Aleena maupun Evan bisa merasakan kenyamanan dan tidak ingin cepat-cepat pulang.

Menjelang malam—selepas adzan magrib, mereka bertemu kembali di ruang makan. Saat itu juga Aleena merasa terkejut melihat penampilan Pak Josua yang mengenakan jubah panjang dan peci. Wajahnya masih kelihatan segar dan agak basah—khas seorang muslim yang baru selesai menunaikan kewajiban. Bagaimana bisa?

"Loh ... kok belum pada makan?" seru beliau seraya berjalan tertatih mendekati meja. Tongkat yang tadi membantunya berjalan diletakkan di dekat kaki ketika sudah menempati kursi paling ujung. "Hufttt ... besok lagi kalo mau makan nggak perlu nungguin saya, ya? Saya mah gerak aja lama. Maklum, udah tua. Udah diserang banyak penyakit juga," lanjutnya lalu tertawa.

"Kakek nggak bisa lari, ya, berarti? Jalannya aja susah."

"Evan, omongan kamu nggak baik, Nak. Nanti Kakek bisa sedih kalo kamu ungkit-ungkit kekurangan beliau." Aleena melirik tak enak. "Maaf, Papi."

"Hahaha ... nggak apa-apa, Al. Namanya juga anak-anak."

"Justru karena masih anak-anak, Evan harus diberitahu mana yang benar dan mana yang salah, Pi. Maaf, ya, Papi?"

"Iya, iya. Nggak apa-apa. Kamu jangan galak-galak juga sama anak, Al."

Aleena mengangguk sopan. Mereka lalu makan dan sesekali tertawa karena tingkah dan celetukan polos Evan. Suasana hangat itu secara tidak langsung membuat hati Ervan bergetar. Ingatannya terlempar ke masa lampau, di mana dirinya yang membawa keceriaan pada kedua orang tuanya. Momen yang dulu dianggapnya biasa saja, sekarang menjadi hal berharga yang dirindukan. Seumur hidup mengikuti acara rutin keluarga Abraham, mengangkat kedua sudut bibir saja dia tidak sanggup. Yang ada, kesabarannya malah selalu diuji. Jika bisa, dia ingin menjadi orang biasa saja daripada dilingkupi kekayaan, tetapi penuh tekanan seperti saat ini.

Ervan memutuskan menyudahi acara makan, meskipun masih tersisa sekitar tiga suap nasi di piring. Dirinya mendadak merasa kenyang. Evan, Aleena, hingga papinya menyusul menutup alat makan beberapa saat kemudian.

"Aku boleh minta tolong bawa papi ke depan, Na? Biar aku yang beresin meja makannya." Setelah mendapat persetujuan, Ervan beralih pada putranya yang sibuk melipat tisu di atas meja. "Evan, aku boleh minta tolong bantu aku cuci piring?"

"Mencuci" berkaitan dengan air. Evan yang mendengarnya langsung menyanggupi. Anak itu bahkan sudah turun dari kursi dan heboh ingin membantu membawakan bekas makan. Sementara Aleena dan Pak Josua saling tersenyum melihat antusiasmenya.

Ervan mengambil kursi tinggi untuk tempat pijakan putranya. Dengan telaten dia memisahkan alat makan yang ringan dan tidak mudah pecah supaya tidak melukai Evan jika jatuh. Sepertinya bocah itu sudah sering melakukan kegiatan tersebut di rumah. Terbukti dari gerakannya yang luwes. Kerja sama antara sistem motorik dan kinerja otaknya bagus sekali. Ervan bahkan beberapa kali berdecak kagum mengamati gerakan Evan yang lebih lincah dari dirinya.

"Kamu sering bantu mama apa aja di rumah?"

"Banyak!" sahutnya bersemangat, membuat Ervan luar biasa senang. Evan sekarang sudah mau banyak bicara padanya. Gestur kaku dan takut-takutnya sudah menghilang sepenuhnya. Ini juga berkat bantuan papinya yang menjembatani interaksi antara dirinya dengan sang anak. Ya, meskipun bocah itu belum tau dia adalah ayah biologinya. "Aku suka banget bantu mama nyapu, ngepel, cuci piring, cuci baju, masak terus ... uhmm. Pokoknya banyak, deh! Tapi sama mama biasanya disuruhnya yang cuci yang kecil-kecil, terus sama nggak boleh pegang pisau. Jadi, kalo masak bolehnya cuci-cuci sama deket-deketin sayuran ke mama. Oh, sama satu lagi! Aku suka icip-icip! Nyam-nyam!"

"Wah ... rajinnya. Pokoknya, sampai besar nanti kamu harus bantu mama, ya? Aku juga di rumah suka ngelakuin kerjaan kayak kamu loh."

Putranya mengangguk-angguk, sehingga rambutnya bergerak-gerak seperti jamur. Sedetik kemudian, ekspresinya berubah serius dengan sepasang indra penglihatan menyorot laki-laki dewasa di sisinya.

"Kata mama, tugas rumah nggak cuma kerjaan perempuan. Terus ... kalo habis mainan—kata mama, harus diberesin sendiri biar aku tahu tempatnya waktu mau mainan lagi. Setiap makan mamaku juga selalu bilang harus diabisin, dia bilang ... mending makan sedikit-sedikit terus nambah daripada dibuang. Tapi, kamu tadi makannya nggak diabisin, kan? Kamu nggak kasihan sama nenek-nenek yang masak di dapur tadi? Masak itu capek loh. Katanya suka ngelakui kerjaan kayak gitu, masa nggak tahu?"

Pupil mata Ervan kontan membesar. Dia langsung berdeham gugup, sangat tidak menyangka akan dikritik putranya sendiri. Padahal niatnya ingin memberikan contoh baik dengan mengajaknya mencuci piring, tapi siapa sangka justru ditodong pertanyaan semacam ini? Sekarang, harus bagaimana dia menjawab?

Nyatanya, Evan memang anak yang cerdas dan anak cerdas kebanyakan senang mengkritisasi hal tidak terduga. Termasuk senang mengajak debat orang tuanya sendiri.

"A-aku tadi ... lagi sakit perut. Itu nggak baik dicontoh. Maaf, ya? Lain kali aku nggak akan ngulangin lagi kok."

Evan mengangkat bahu dan meneruskan pekerjaan.

"Kamu harusnya minta maaf ke nenek-nenek tadi, bukan ke aku," jawabnya. "Oh, iya, aku sebenernya udah bisa mandi sendiri loh. Besok kamu nggak usah bantuin aku, ya. Aku cuma nggak ngerti tempat baju. Kalo mau bantu, bantu ambilin baju aja, ya?"

"O-oke."

Hening sesaat. Ervan berusaha menetralkan degup jantung selepas dicerca anaknya sendiri.

"Btw, kamu suka mainan apa?" Dia bertanya setelah berhasil mengusai diri.

"Aku suka main puzzle, lego, sama mewarnai."

"Mewarnai? Kamu suka mewarnai pakai apa?"

Evan mengetuk-ketukkan telunjuk di dagu. "Aku biasanya mewarnai gambar pakai pasir warna, pensil, sama kerayon. Tapi aku lebih suka pakai kerayon, makanya aku punya banyak kerayon di rumah. Mamaku selalu beliin begitu udah pendek dan nggak bisa dipake lagi."

"Kamu pernah mewarnai pakai cat air?"

"Pernah! Di pasar malem aku suka mewarnai pakai cat air. Terus nanti ada kayak lomba gitu. Gambar yang paling rapi dapet jajanan. Aku seneng banget. Di sini nggak ada pasar malem, ya?"

Ervan bergumam panjang. "Kayaknya lagi nggak ada, deh. Cuma di sini aku punya stok cat air. Kamu mau ngelukis sama aku?"

"Ngelukis?" beonya.

"Iya. Menggambar itu biasanya membuat sesuatu yang mirip objek tertentu, sedangkan melukis lebih ke suka-suka kita mau buat kayak apa. Uhm ... gimana, ya, kalimat sederhananya? Intinya, gambar itu bentuknya udah pasti kayak Spongebob, Patrick, Upin dan Ipin, apel, jeruk, mobil, dan bentuk-bentuk lain yang sering kita lihat. Kalo melukis nggak mesti ngikutin apa yang pernah kita lihat."

Lagi-lagi dia bingung membuat analogi yang mudah dimengerti anak seusia Evan. Sesederhana ini saja sudah sulit, tidak kebayang ke depannya dia harus mengajari Evan hal lebih berat seperti seksualitas. Ternyata mendidik anak tidak semudah kata influencer di sosial media. Ervan perlu belajar banyak mengenai pola asuh dan menyesuaikan perkembangan jaman.

Dari ruang keluarga, Aleena dan Pak Josua setia mengamati mereka. Tidak adanya sekat antara ruang keluarga dan dapur memungkinan mereka melihat ke belakang. Namun, karena jaraknya tidak bisa dikatakan dekat, percakapan keduanya tidak sepenuhnya jelas.

"Ervan itu sebenarnya ringan tangan—senang membantu. Saya selalu memberikan wejangan, jika suatu saat nanti menikah—meskipun istrinya tidak ikut mencari uang—jangan dibiarkan mengurus rumah sendiri. Kodrat perempuan itu hanya ada tiga; menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, tugas perempuan juga bagian dari tugas laki-laki. Termasuk dalam hal mengurus anak." Jeda sejenak. Aleena mendengar pria di sisinya menghela napas dalam. "Tapi ... sebagaimana tabiat laki-laki pada umumnya, Ervan adalah makhluk berproses yang suka telat sadar. Dia memang salah, tapi apa yang dialaminya di masa lalu tidak bisa dilepaskan dari prosesnya berkembang."

"Saya pernah membaca buku yang membahas tentang dinamika keluarga dan perkembangan psikologis individu. Pada situasi di mana anak berusaha merekonstruksi peran orang tua terhadap pasangan karena peran salah satu orang tuanya telah hilang, hal ini disebabkan oleh anak yang merasa perlu mengisi kekosongan yang terjadi. Rekonstruksi peran ini menjadi upaya untuk memenuhi kebutuhan emosional atau mencari pengakuan, kasih sayang, atau stabilitas yang kurang terpenuhi dalam hubungan dengan orang tua."

Aleena yang memilih mendengarkan sambil menunduk tiba-tiba tersentak saat merasa pundaknya disentuh. Begitu mendongak, dia menemukan sepasang indra penglihatan ayah mertuanya berkaca-kaca. Tanpa sadar dia meneguk ludah susah payah.

"Aleena, saya nggak sedang mencari pembelaan atas kesalahan anak saya, namun perlu kamu ketahui ... pola hubungan dengan orang tua umumnya akan berkontribusi pada kemampuan individu dalam membentuk hubungan yang sehat dan memuaskan pasangan. Ervan nggak mendapatkan pola hubungan itu. Bahkan, lingkungan dan konteks sosialnya nggak lebih baik, sebab dia hidup di ruang lingkup yang mengedepankan uang di atas segalanya."

"Bisa dibilang, saya ikut berperan dalam membentuk karakternya yang keras seperti itu. Seandainya saya sejak awal nggak memaksakan kehendak, mungkin Ervan bisa berkembang lebih baik."

Aleena spontan menegakkan tubuh. Disentuhnya lengan mertuanya yang sudah bergetar hebat. Pria itu bahkan sudah meneteskan air mata sekarang.

"Maksud Papi apa?"

***

tbc

nahloh gantung wkwk

aku perhatikan dalam satu part itu votenya bisa nambah 200-300an lebih, jdi kalo aku minta komentarnya nambah 100 lagi bisa engga (berarti entar totalnya jadi 229) buat double update?

jarang2 loh aku mau update double hahaha... apalagi mumpung libur gini kan 😋

kalo ga tercapai gapapa, aku tetep update kok tapi besok atau lusa 😋

syarat double update yang lain:
yang diramein jangan cuma di part terakhir. soalnya, biasanya kalo dikasih lebih dari satu part yang diapresiasi cuma part yang terakhir diupdate, yang awal engga. jomplangnya kelihatan banget. itu yang bikin aku super males update lebih satu part dalam satu kesempatan hehehe

Published date: January 18, 2022
Republished: July 18, 2023

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 101K 43
"Aku bukan perempuan yang memiliki hati sekeras batu atau hati yang sebaik cinderella. Aku hanya perempuan biasa yang bisa menangis hanya karna tergo...
2.6M 124K 55
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
106K 6.3K 33
Lady Anne seorang gadis yang tumbuh dikalangan masyarakat jelata yang tidak tahu kalau ayahnya adalah Earl of durham, saat beranjak dewasa Anne beker...
6.7M 243K 31
Pernikahan putih, yang artinya pernikahan yang didasari dengan kasih sayang yang tulus dan cinta yang suci dan berbahagia selamanya. Ya.. itulah impi...