After We Divorce [New Version]

By hechanahessa

2M 195K 5.9K

Open Pre-Order | Part Lengkap _____________ Aleena pikir, menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar... More

PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog
VOTE COVER
OPEN PRE-ORDER
Masih Bisa Dipesan

Chapter 19

43.7K 4.9K 140
By hechanahessa

Aleena sudah membiasakan putranya membersihkan diri—menggosok gigi, cuci kaki, termasuk berganti pakaian yang lebih nyaman—sebelum tidur. Di awal-awal memang susah menjadikan kegiatan ini sebuah rutinitas. Apalagi kalau sudah mengantuk atau lelah setelah bermain. Namun, dengan ketelatenan dan kesabaran, Evan perlahan-lahan terbiasa.

Malam ini, selepas Ervan mengantar mereka pulang dan melakukan kebiasaan tersebut, ibu dan anak itu berbaring bersisihan di kamar. Keduanya terlentang menghadap langit-langit rumah. Satu lagi rutinitas mereka selain membersihkan diri—jika waktunya memungkinkan, Aleena akan mengajak Evan mengobrol sampai kantuk datang. Topik yang diangkat juga bukan seputar nasihat dan kritikan terhadap kenakalan anak di bawah lima tahun itu saja. Aleena selalu menanyakan hari yang dilalui putranya, seperti apa yang seharian Evan lakukan, emosi apa yang dirasakannya selama seharian, apakah ada masalah—misalnya dijahati atau bertengkar dengan orang lain, dan rencana beserta harapan untuk esok hari.

Dia sadar tidak bisa 24 jam mendampingi anaknya, tetapi tidak ingin melewatkan pertumbuhan dan perkembangannya. Selain memperkuat hubungan ibu dan anak, Aleena ingin Evan belajar mengungkapkan perasaan. Pun, dia ingin menjadi orang tua yang mampu dan nyaman diajak berbagi cerita, sehingga kelak Evan tidak mencari pelarian di luar yang justru berisiko jika salah memilih orang.

"It's exhausting being an only child."

"Kenapa Evan ngerasa begitu?"

Aleena memiringkan kepala, memandang putranya yang kini fokus memainkan tali guling. Tidak ada ekspresi berarti. Namun, justru membuat dia menebak-nebak apakah ada yang salah dengan perlakuan dan perkataannya. Jika terbukti ada, Aleena harus segera meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi.

"Aku nggak punya temen main pas kamu sibuk masak atau jualan," ungkapnya pelan, membuat jantung Aleena seperti diremat. "Temen-temen aku sering ngerebut mainan aku terus bilang, 'kamu minta beliin lagi aja sama mama, kan, anak tunggal'. Aku nanya anak tunggal itu apa sama Bu Lala di sekolah. Katanya, anak tunggal itu kayak Evan yang nggak punya kakak atau adik."

Benda tak kasat mata menusuk matanya sampai terasa pedih. Aleena melarikan tangan guna mengusap-usap kepala Evan, berharap rasa sayangnya tersalurkan dan bisa dirasakan. Sungguh, tidak ada keinginan untuk mengabaikan Evan, tetapi dia juga manusia biasa yang baru pertama kali jadi ibu. Ada yang namanya 'kewarasan' yang kadang bergulat dengan 'kegilaan'. Kadang, jika dalam kondisi lelah, ada tindakan atau ucapan yang tidak terkontrol. Praktiknya benar-benar tidak semudah teori yang dikoar-koarkan orang-orang di sosial media atau di buku yang membahas tentang pola asuh. Selama ini perempuan itu hanya melakukan hal yang dirasa sudah terbaik.

"Evan sering ditanyain, mau punya papa baru enggak biar bisa punya adik, biar aku nggak kesepian." Sejurus kemudian, kepala kecilnya mendongak. Indra penglihatan Aleena bertemu dengan sepasang mata besar sang anak. "Padahal adik itu punya Tuhan, kan? Adik nggak bisa dibeli di toko mainan. Mereka yang suka nawar-nawarin begitu kayak bisa minta langsung ke Tuhan aja. Lagian, Evan nggak tau apa itu kesepian."

Konsentrasinya kembali ke awal. Aleena sendiri diam-diam menggulum senyum. Sejak umur dua tahun lebih, Evan sudah diajarkannya konsep ketuhanan dan bagaimana cara mematuhi Tuhan. Lalu ketika menginjak usia tiga tahun, dia sudah mengikuti Sekolah Minggu. Akibatnya, untuk hal-hal di luar kuasa manusia seperti 'adik' tadi, Evan tidak perlu bertanya padanya lagi. Satu hal saja yang disayangkan, orang-orang dewasa di sekitarnya suka mengacaukan tatanan yang telah Aleena bangun. Evan terkadang membandingkan penjelasannya dengan ucapan orang-orang yang ditemui, tak lupa mempertanyakan apakah ungkapannya itu sebuah kebenaran atau kebohongan semata. Kritis, tapi Aleena berusaha menikmati proses pembentukan kecerdasan Evan.

"Sama satu lagi ... I have to be brave almost every time and it sucks." Jeda tiga detik. "Kata orang-orang aku nggak boleh cengeng, nggak boleh nakal, nggak boleh jadi penakut, harus ngalah sama perempuan, dan bla bla bla ... banyak yang aku nggak boleh lakukan sebagai cowok. Aku capek. Maunya di rumah terus aja sama Mama."

Dadanya makin sesak. Evan bahkan belum genap berusia lima tahun, tetapi sudah bisa merasakan lelah batin selain fisik. Memang belum ada di tahap murung—menarik diri dari lingkungan—atau berusaha tertawa padahal hatinya menjerit. Namun, sikap defensifnya ketika bertemu orang-orang baru kadang membuat Aleena khawatir. Dia takut jika umurnya tidak panjang, Evan justru menutup diri dan berisiko terkena depresi atau penyakit mental lainnya. Sungguh, mulut orang-orang sangat jahat. Sayangnya, tidak ada obat untuk menghentikan ocehan mereka.

Menahan laju tangis, Aleena memindai kondisi Evan lamat-lamat. Ketika merasa putranya memiliki ketenangan dan bisa diajak berdiskusi, dia menarik napas dalam-dalam.

"Kamu nggak harus jadi berani setiap saat, Van. Kamu boleh merasa takut, sedih, kecewa, dan marah—meskipun kamu laki-laki dan kata orang nggak boleh melakukannya. Terus, seandainya ada orang yang ngajarin kamu sesuatu yang baru, kamu nggak harus selalu nurut. Kalo kamu bingung, kita bisa sama-sama milih mana yang boleh kamu lakukan dan enggak. Kamu tinggal bilang ke aku, oke?" Mendapat sebuah anggukan, Aleena menambahkan, "Sama satu lagi, aku minta maaf kalo belum jadi ibu yang keren, yang selalu jadi teman main Evan. Aku udah berusaha, tapi kalo emang menurut Evan ada yang salah ... jangan ragu buat tegur aku, ya? Aku janji nanti berubah. Nggak gampang, tapi kamu mau, kan, jadi tim pendukungku?"

Anggukan Aleena dapatkan lagi. Kali ini lebih bersemangat dan disertai senyum lebar yang menular padanya. Tangan-tangan tak kasat mata lantas melonggarkan cengkraman di dada. Air muka Aleena berubah lebih rileks.

"Btw, aku juga anak tunggal, loh, Van."

Dalam sesi curhat sebelum tidur, perempuan itu selalu memainkan peran sebagai teman Evan. Cara bicara mereka juga dibuat sesantai mungkin dan bukan layaknya ibu-anak. Aleena berharap, dengan begini putranya semakin percaya dan tak sungkan menceritakan apa pun padanya.

"Oh, ya?" Kelopak matanya melebar.

"Yups! Aku hampir pernah punya kakak. Tapi kata ibu, kakakku meninggal karena sakit demam berdarah—penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk. Rasanya ... jangan ditanya. Aku dari kecil malah lebih banyak dititipin ke orang karena ayah sama ibu sibuk cari uang. Aku bilang begini bukan buat ngebandingin perasaan kamu, tapi aku mau kamu tahu ... aku paham betul apa yang kamu rasain. Kesepian, iya. Sedih, sering. Ngomong sendiri, hampir tiap hari. But we're cool kids, right? Being alone shouldn't be lonely. Aku dulu sering explore banyak hal biar nggak kesepian, kayak masak, berkebun, jalan-jalan pake sepeda, dan banyak lagi."

Evan beranjak duduk. Dahi sempitnya berkerut-kerut seperti sedang meneliti sesuatu.

"Jadi, kesepian itu maksudnya kayak sedih waktu nggak punya temen main, ya?" tanyanya, dia balas mengacungkan ibu jari. Telunjuk gembul Evan lantas mengetuk-ketuk dagu. "Aku nggak sedih waktu nggak ada temen main, sih, sebenernya. Cuma kesel aja gitu, soalnya jadi ngomong sendiri."

Aleena terkekeh. Didekapnya tubuh sang putra hingga jatuh di kasur, kemudian bibirnya melabuhkan kecupan-kecupan kecil di wajah sampai leher yang masih wangi minyak telon. Gelak tawa memenuhi kamar. Aleena berharap, pengertiannya mampu dipahami dan diaplikasikan Evan dengan baik. Dia pertama kali jadi ibu, sementara Evan pertama kali jadi anak. Ketidaktahuan berujung kesalahan menjadi hal yang diwajarkan. Tidak enggan mengakui, meminta maaf, dan bertekat berubah menjadi hal yang wajib dan tidak diwajarkan apabila ditinggalkan.

***

"Kami telah meninjau konfigurasi jaringan ke server Najiya, kemudian memastikan perangkat lunak dan perangkat keras jaringan kita telah berfungsi dengan baik dan tidak ditemukan kerentanan yang dapat dieksploitasi oleh penyerang. Setelah diperiksa, firewall sudah terkonfigurasi dengan benar dan sudah diberlakukan pembatasan lalu lintas yang tidak normal."

Satu orang lagi segera menambahi laporan rekannya. "Serangan DDoS kali ini cukup kuat, sehingga semalam kami perlu meningkatkan kapasitas jaringan untuk menangani lalu lintas yang tinggi."

Dalam balutan kaus putih polos dan celana selutut, Ervan sangat percaya diri menghadiri rapat dadakan tim IT di kantor Najiya Fast. Lelaki itu bahkan hanya mengenakan sandal sebagai alas kaki. Penampilan karyawannya juga tidak kalah tidak niat. Wajah-wajah kumal akibat tidak tidur menjadi pemandangan yang sangat dimaklumi.

Pria satu anak tersebut masih setia memainkan jari di atas meja tanpa menurunkan tingkat ketajaman indra penglihatan. "Selain itu, apa yang sudah kalian lakukan?"

"Kami sudah menggunakan layanan content delivery network untuk membantu membagi beban lalu lintas dan mengurangi dampak serangan DDoS. Konten website yang disebarkan ke berbagai lokasi geografis mampu mengurangi beban pada server utama."

Ervan mengangguk-angguk. "Setelah ini batasi lalu lintas yang tidak normal ke website Najiya. Kalian bisa mengimplementasikan rate limiting, blacklisting IP yang mencurigakan, atau memverifikasi pengguna menggunakan CAPTCHA supaya terhindar dari bot-bot jahat."

"Sebelum rapat, kami baru selesai mengimplementasikan CAPTCHA, Pak," jawab orang pertama yang menjelaskan hasil kerja mereka tadi. "Sejauh ini kami telah memperbarui CMS, plugin, dan tema ke versi terbaru yang lebih aman. Kami pastikan, semua kata sandi yang digunakan kuat dan tidak mudah ditebak."

"Bagus. Pastikan kita punya cadangan data yang teratur untuk melindungi informasi penting," ujarnya. "Untuk pelakunya bagaimana?"

"Tim keamanan siber sudah melakukan analisis jejak digital, Pak. Mulai dari metadata, jejak IP, header email, dan informasi lainnya diperiksa dan ditemukan serangan berasal dari Bali."

"Bali?" gumam Ervan lalu menoleh ke arah Jeriko. Sejenak mereka saling pandang dengan dahi berkerut. "Mantan CPO Laa Foodie juga ketemu di Bali. Jangan-jangan benar, ini sebagai bentuk peringatan? Apakah sudah dilakukan penyisiran di seluruh tempat di Bali, Jeriko? Saya curiga mantan CMO dan CFO ikut ada di sana."

"Sedang dilakukan, Pak. Polisi juga sedang melakukan penyelidikan kejahatan malware ini. Jika terbukti tindakannya masih berkaitan dengan kasus Laa Foodie, proses pidana tentu tidak bisa dilakukan cepat dan menunggu para buronan tertangkap. Dalam hal ini, saya menambah satu ahli hukum teknologi informasi untuk bergabung dalam tim pengacara. Namun, ada kemungkinan pula pelaku ini dijadikan saksi dalam persidangan nanti apabila dia hanya disuruh dengan cara dipaksa atau diancam."

"Oke. Pantau terus perkembangannya. Laporkan ke saya begitu ada update-an. Sama satu lagi, pastikan kasus ini tidak sampai terendus media."

***

Senin harinya, setelah kembali dari meeting di Senayan dan memastikan sang mami sudah berada di kantor, Ervan melangkahkan kakinya menuju lantai teratas gedung Abraham Group. Menjelang jam makan siang, lantai tertinggi itu terlihat sedikit legang dan hanya sesekali terdengar suara alas sepatu yang bergesekan dengan keramik. Sebuah pintu kayu tinggi berukir menjadi tujuan utamanya. Setelah mengetuk dan mendapatkan sahutan dari dalam, Ervan masuk sambil mengulas senyum tipis.

Sosok Amira dalam balutan blouse berbahan beautycrepe duduk menghadap komputer dengan kacamata bertengger di hidung. Riasan tebalnya mempertegas kontur wajah yang jarang tersenyum. Ervan menarik kursi di seberang meja dan duduk di sana.

"Mam, I would like to discuss a few things."

"Go ahead."

Ervan lebih dulu berdeham, lalu meletakkan kedua tangan di atas meja. Amira sendiri kini sibuk membolak-balikkan kertas dalam sebuah map, tanpa menatapnya.

"Kinerja anak Tante Anita selama enam bulan ini sudah aku amati dan hasilnya cukup baik, cekatan, serta mudah beradaptasi. Dia sangat bisa diandalkan dan mampu menjadi panutan staff marketing yang lain. Aku percaya dengan berjalannya waktu, dia bisa memanuver klien lebih baik dari aku."

Amira mendadak menghentikan kegiatan. Dengan alis hampir menyatu, dia memandang Ervan serius dari balik kacamata.

"Kamu pasti punya rencana. Kalimat terakhirmu bermakna ganda," cetusnya sembari meletakkan map ke meja dan menyandarkan punggung ke kursi putar. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "You can get right to the point."

Dia menghela napas. "Kontrak kerjaku sisa tiga bulan lagi. Aku nggak berencana memperpanjangnya. Sehingga, aku akan membimbing anak sulung Tante Anita buat menggantikan posisiku. Bulan depan, aku bakalan mengajukan pemberitahuan tertulis ke Mami dan Tante Anita, selaku COO di sini." Jeda terjadi digunakan Ervan untuk membasahi bibir. "Untuk poin pertama, aku juga perlu persetujuan dari Mami. Hasil evaluasi kinerja dan penilaiannya sudah aku kirim ke email Mami dari hari Kamis."

Amira mendengkus, kepalanya langsung melengos ke samping.

"Mami sebenernya udah bosen bilang gini berkali-kali, tapi Najiya Fast beneran cuma menghambat karir kamu. Mami udah memaafkan kenakalan kamu di luar sana, sehingga tahun depan Mami berencana mengangkat kamu sebagai pengganti Mami. Mami sendiri akan fokus menjadi bagian dewan komisaris. Terus, apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu berniat membuang kesempatan emas demi sebuah usaha yang nggak seberapa itu?" Urat-urat di sekitar lehernya mengencang. Amira menghunuskan tatapan setajam silet saat berseru, "Sebenernya kamu itu waras enggak, sih?!"

Ervan memilih tersenyum kalem. Tidak terpengaruh sama sekali. Dia sudah menduga jika ujaran-ujaran tajam akan dilontarkan padanya dan dia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin.

"I know this will disappoint you, but I believe in my decision. So, I'm begging you ... let me explore my world. Aku janji bakalan tetap jadi anak baik yang patuh. Aku nggak akan mengecewakan ataupun mempermalukan Mami lagi."

Sang ibu tersenyum miring. Hanya sesaat raut marahnya, kini ketenangan Ervan menular padanya. Sebagai ganti, dagu Amira naik dengan angkuh. Seolah bom waktu yang sesaat lalu putranya lemparkan bukan perkara besar yang mengecewakan.

"Keluar dari sini artinya siap menjadi musuh Mami. Persetan dengan hubungan ibu dan anak. Bisnis nggak mengenal kata keluarga," lugasnya. "Sekarang terserah kamu ... kamu sayang sama Mami atau nggak."

Ervan mengepalkan tangan di bawah meja. Namun, kedua sudut bibirnya tetap naik. Batinnya terus mengirimkan perintah ke otak supaya tidak menggebrak meja yang memisahkan mereka. Meski sudah menduga, perkataan manipulatif maminya tetap saja menggores hatinya. Amarahnya ikut terpancing.

"It's okay, if that's what you want. I'll take it—at any cost," sahutnya mantap.

Baginya, seseorang laki-laki bisa disebut gentleman jika ucapannya bisa dipegang. Harga dirinya sedang dipertaruhkan. Risiko menari-nari di depan mata, beriringan dengan bayangan kesuksesan. Jika memang pertarungan mereka harus menggunakan cara kotor, Ervan akan mengikuti alur. Tidak apa, lebih baik gagal setelah mencoba daripada menjadi pengecut. Percakapannya bersama Om Brata berputar ulang di dalam kepala, menambah keyakinannya dalam melangkah.

"Baik. Saya tunggu pemberitahuan tertulismu," kata ibunya setelah beberapa menit saling terdiam, dengan pandangan jatuh ke sembarang arah. Bahkan gaya bicaranya ikut berubah seperti sedang bersama orang lain.

***

Waktu bergulir cepat. Lima hari setelah perbincangan menguras emosi itu, Ervan kembali ke Surabaya. Pembawa beberapa hal pendukung, dirinya berdiri di teras rumah Aleena dengan perasaan campur aduk. Terbesit perasaan takut, tetapi kobaran keyakinan lebih mendominasi.

Menarik napas banyak-banyak, kepalan tangannya terangkat mengetuk pintu. Aleena keluar dan mempersilakannya duduk tanpa perdebatan.

"Evan lagi main. Aku nggak enak bawa tamu laki-laki ke dalam." Ervan mengangguk saja. Kemudian, tubuh mungilnya kembali ke dalam dan kembali membawa nampan berisi dua cangkir teh serta sepiring pisang goreng. "Penerbangannya lancar?"

"Delay sebentar," jawabnya seraya menyeruput teh.

Sensasi hangat merayapi kerongkongan dan menghantarkan ketenangan di dada. Perpaduan manis dari gula bercampur dengan aroma kurma. Efeknya sedikit membantu mengurai kerumitan di otak. Ervan meletakkan kembali cangkir ke meja kecil dan memiringkan tubuh menjadi berhadapan dengan Aleena.

"Mau langsung bicara ke inti? Kamu bilang ada hal yang perlu aku tau."

Aleena berubah banyak ternyata. Sekarang saja sudah mau membuka percakapan lebih dulu. Nada suaranya juga tidak ketus. Pun, tatapannya tidak tajam menghunus ataupun sengit. Ada perasaan senang, sebab Ervan tidak perlu menguras tenaga terlalu banyak.

"Kamu ... udah nggak benci aku?" tanyanya hati-hati.

Ajaibnya, perempuan tersebut menggulum senyum. "I'm trying. Buat kesehatan hatiku juga. Aku nggak mau menyimpan kotoran dalam bentuk apa pun kepada siapa pun."

Dia tertegun. Buncahan bahagia semakin mekar. Kupu-kupu di perutnya berterbangan dan Ervan kesulitan menahan kedutan di bibir.

"Aku mau nunjukkin kamu ini." Map yang sejak tadi dipangku, dia letakkan di atas meja. Aleena mengamatinya sembari mengernyit penasaran. "Ini salinan putusan pengadilan. Permohonan perceraian kamu ditolak karena nggak memenuhi syarat dan pengacaramu nggak nggak bisa membuktikan alasan yang valid."

Seolah belum cukup membuat sensasi kejut jantung, Ervan menambahkan, "Surat yang kamu tinggalkan di rumah itu juga palsu." Aleena terkesiap sampai menutup mulut menggunakan tangan. "Pengacara kenalan kamu itu ada kemungkinan menipu, Na. Walau begitu—semisal permohonanmu dikabulkan, perceraian nggak seseimpel tanda tangan surat kemudian status kita berubah. Banyak tahapan yang harus kita jalani."

Satu tetes air mata jatuh. Aleena memalingkan wajah—tidak kuat menanggung malu. Pemikiran jika status pernikahan mereka masih sah, membuat kepalanya bak ditimpa benda jutaan kilogram. Napasnya ikut tersegal-segal. Aleena memejamkan mata mendengar Ervan kembali bicara.

"Na ...." Ervan meraih tangan Aleena yang mendingin. "Seandainya hakim mengabulkan permohonan cerai kamu, dalam agama kita nggak pernah ada kata perceraian selain cerai mati. Kalaupun kita dinyatakan berpisah oleh hukum, status kami tetap suami istri di dalam agama dan jika kami tetep nekat menikah lagi ... jatuhnya jadi zina. Itulah alasan lain kenapa aku nggak mau menikah lagi—di samping cintaku ke kamu masih sama besarnya seperti lima tahun lalu."

Aleena menggeleng-geleng—tak kuat mendengar pernyataan Ervan lebih banyak lagi. Telinganya mendadak berdengung. Dunia terasa berputar. Seiring kristal bening semakin deras membanjiri wajah, kesadaran Aleena menghilang. Perempuan itu limbung ke lantai sebelum Ervan menangkap.

***


tbc

hampir 3k kata. maaf ya lama banget updatenya. abis ini aku mau ngebut biar cepet kelar sebelum masuk nguli lagi (klo ga males)

jangan lupa tinggalkan jejak ya. vote & komen kmu sangat berharga kiw kiw

Published date: January 12, 2022.
Republished: July 13, 2023

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 458K 37
Nayara Swastika punya hidup yang sempurna; menjadi model ternama, bergelimang harta, tak lupa paras cantik yang membuat siapapun terpesona. Namun, di...
1.5M 110K 41
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy ya...
4.2M 219K 36
[COMPLETE] Sinopsis : Bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta kemudian menikah. Klise, tapi manis. Semua mengatakan bahwa pernikahan adalah akhir da...
6.7M 243K 31
Pernikahan putih, yang artinya pernikahan yang didasari dengan kasih sayang yang tulus dan cinta yang suci dan berbahagia selamanya. Ya.. itulah impi...