Virtualzone [COMPLETED]

By renaislaminrazizah

29.2K 3.2K 4K

[Hak Cipta dilindungi Allah] . Untuk yang selalu menunggu kabar melalui notifikasi Untuk yang sedang bertema... More

Trailer dan Visual
Virtualzone - Chapter 1
Virtualzone - Chapter 2
Virtualzone - Chapter 3
Virtualzone - Chapter 4
Virtualzone - Chapter 5
Virtualzone - Chapter 6
Virtualzone - Chapter 7
Virtualzone - Chapter 8
Virtualzone - Chapter 9
Virtualzone - Chapter 10 + Tailer Baru
Virtualzone - Chapter 11
Virtualzone - Chapter 12
Virtualzone - Chapter 13
Virtualzone - Chapter 14
Virtualzone - Chaper 15
Virtualzone - Chapter 16
Virtualzone - Chapter 17
Virtualzone - Chapter 18
Virtualzone - Chapter 19
Virtualzone - Chapter 20
Virtualzone - Chapter 21
Virtualzone - Chapter 22
Virtualzone - Chapter 23
Virtualzone - Chapter 24
Virtualzone - Chapter 25
Virtualzone - Chapter 26
Virtualzone - Chapter 27
Virtualzone - Chapter 28
Virtualzone - Chapter 29
Virtualzone - Chapter 30
Virtualzone - Chapter 31
Virtualzone - Chapter 32
Virtualzone - Chapter 33
Virtualzone - Chapter 34
Virtualzone - Chapter 35
Virtualzone - Chapter 36
Virtualzone - Chapter 37
Virtualzone - Chapter 38
Virtualzone- Chapter 39
Virtualzone - Chapter 41
Virtualzone - Chapter 42
Virtualzone - Chapter 43
Virtualzone - Chapter 44
Virtualzone - Chapter 45
EXTRA CHAPTER
BONUS CHAPTER
AU VIRTUALZONE

Virtualzone - Chapter 40

312 43 5
By renaislaminrazizah

Gak kerasa ya udah nyampe chapter 40. Bentar lagi udah mau end guys. Aku ada kabar yang menyenangkan buat kita semua.

Sebelumnya seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak.

Enjoy 💜

Jam menunjukkan pukul 15.35, Rayya terlihat segar setelah tubuhnya terkena air sore ini. Tiga puluh menit yang lalu dia baru bangun tidur dan tidak lupa mengirim bukti foto kepada Bara. Saat Raga dan Gita pulang setelah mereka belajar, Rayya mencoba Merasa tenggorokannya butuh asupan air, dia pergi ke dapur dan melihat perempuan paruh baya sedang memasukkan macaron ke dalam boks berukuran dua puluh sentimeter, kurang lebih ada tujuh boks yang berjajar di atas meja makan.

"Buat menu baru, nih?" tebaknya sambil menuangkan air ke dalam gelas, "Rayya disisain enggak?"

"Aduh, Bunda lupa." Beliau masih menata macaron tersebut ke dalam boks.

Rayya duduk di kursi meja makan dengan gelas yang sudah terisi air, tetapi belum diminum satu teguk pun. "Kok bisa lupa sama Rayya?" tanyanya dengan bibir yang sudah maju beberapa sentimeter.

Beliau terkekeh sebelum menjawab pertanyaan putri semata wayangnya. "Mana mungkin Bunda lupa sama kamu yang suka makanan manis. Punyamu ada di lemari."

Rayya langsung beranjak dan membuka lemari, melupakan tenggorokannya yang kering. Dia membawa macaron itu ke meja makan dan langsung menyantapnya tanpa berkata apapun. "Enak," komentarnya.

"Di mulut kamu apa, sih, yang enggak enak?"

"Ada loh, jangan salah. Mulutku menolak durian."

"Bukan mulutmu, tapi hidungmu. Kamu belum pernah coba, tapi udah bilang enggak enak."

Dia bergidik membayangkan buah itu ada di hadapannya. "Baunya aja udah mau bikin aku ...." Rayya mempraktikkan seseorang yang akan muntah. Namun, di sela-sela dirinya menikmati macaron, ternyata dia tidak lupa kepada sang bunda. Dia menyodorkan satu macaron itu dan meminta bunda membuka mulut.

"Nanti bantu bunda kasih ini ke rumah Raga, ya." Beliau menepuk pelan satu boks yang sudah tertutup rapi. Yang dimintai bantuan mengangguk kemudian tersenyum penuh arti. Bunda mengerti maksud senyuman itu, beliau mengangguk. "Iya, boleh. Bunda juga mau ngasih ini ke tetangga yang lain, terus pergi ke toko sebentar buat minta mereka coba."

***

Rayya mengetuk pintu rumah dengan cat berwarna putih. Seharusnya pemilik rumah ada, setidaknya Raga, karena motornya terparkir di samping rumah. Baru saja kepalan tangannya terangkat untuk kembali mengetuk pintu, tetapi suara pintu dibuka dan di balik pintu itu muncul seseorang yang tadi pagi bertemu dengannya.

"Lo ngapain di sini?" tanya Rayya heran.

"Ini rumah gue."

"Siapa, Bang, yang dateng?" Bunda Raga datang menghampiri mereka yang masih keheranan. "Eh, Rayya. Ayo masuk." Beliau menarik pelan tangan Rayya.

"Belum dikenalin, ya? Jadi yang bukain pintu itu Bara, abangnya Raga sama Bintang, anak sulung tante. Dia baru inget rumah, biasanya nemenin Oma di Bandung. Udah kaya bang Toyib, jarang pulang," jelas beliau seolah tahu kebingungan gadis itu. Informasi itu cukup membuat Rayya terkejut.

Semua anggota keluarga Om Bram sedang berkumpul di ruang keluarga sore ini. Kedatangan gadis ini disambut hangat, terutama oleh Bintang yang langsung meminta Rayya duduk di sampingnya.. Dia sudah memberikan titipan sang bunda kepada pemilik rumah.

"Bang, udah kenalan belum? Ini Rayya, sahabatnya Raga. Judulnya doang sahabat, tapi kayaknya ada yang naksir," goda Bram dengan mata yang masih menatap televisi.

"Udah kenal, kok. Pas lari pagi juga ketemu, ya, kan?" Bara menoleh sebentar kepada Rayya, sedangkan yang Rayya hanya tersenyum tipis.

"Kok enggak bilang kalo mau ketemu Kak Rayya? Tahu gitu Bintang mau ikut."

"Enggak sengaja ketemu, lagian tadi pagi udah abang ajak."

"Kak Rayya jangan mau sama Abang, nyebelin," bisik Bintang, tetapi masih bisa di dengar oleh telinga orang-orang di sekitarnya.

Kali ini Rayya lebih banyak diam, dia masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Begitu pula Raga, dia menjadi pengamat dari setiap percakapan yang didengarnya saat ini. Isi kepalanya menyimpulkan satu hal yang beberapa bulan ke belakang menjadi pertanyaan. Matanya bergantian menatap Rayya dan Bara, kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi dan menghela napas.

Kenapa saingannya harus abang gue sendiri, sih? batinnya protes.

"Ra, kalo ada waktu senggang, jalan yuk," ajak Bara pada Rayya. Panggilannya berubah seketika.

"Enggak bisa, Rayya harus belajar." Entah perintah dari mana, Raga ingin bersuara.

"Gue bilang kalo senggang."

"Ya ... tetep enggak bisa, Rayya lagi rajin-rajinnya sekarang. Lo jangan ngerusak semangat belajarnya dong."

"Gue enggak merusak semangat belajar, gue cuman ngajak jalan. Lagian gue juga pernah bantuin dia ngerjain tugas." Bara tidak mau kalah.

"Kok jadi adu mulut, sih? Kenapa enggak tanya Kak Rayya aja, mau jalan apa enggak?" Bintang mencoba untuk menengahi. "Gimana, Kak?" tanyanya.

Rayya menggangguk samar. "Boleh aja kalo mau jalan, belajar bisa pulangnya, kan?"

"Tuh orangnya aj­-"

"Enggak bisa dong, Ra. Kalo pulang jalan-jalan yang ada capek." Raga duduk tegak, tidak lagi menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Bun lihat nih, anaknya rebutan cewek," teriak Bram pada istrinya yang masih berada di dapur, "Suit coba suit, yang menang boleh nentuin Rayya jalan atau enggak," usul Bram yang kini mulai memperhatikan anak-anaknya.

"Berantem, dong. Kalo suit jadinya enggak keren," komentar Bintang.

"Enggak zaman berantem rebutan cewek, sekarang zamannya suit."

"Siapa takut," sahut keduanya kompak.

"Tiga kali aja," pinta Bintang.

Pertama, Raga batu, Bara gunting. Kedua, Raga kertas, Bara gunting. Ketiga, Raga gunting, Bara kertas. Dengan akhir seperti itu, Bara hanya menghela napas, berbeda dengan Raga yang semringah atas kemenangannya.

"Sungguh memalukan," ejek Bintang menepuk-nepuk pundak Bara.

"Berhubung gue yang menang, jadi Rayya boleh jalan sama lo, Bang," ucap Raga santai.

Mendengar ucapan yang keluar dari mulut adiknya, Bara meninju lengannya dan membawa Raga ke dalam ketiaknya. "Bisa-bisanya lo ngerjain gue."

"Jadi pengen punya pacar." Ucapan itu membuat semua mata teruju pada Bintang, terutama kedua kakaknya.

"Lo masih kecil." Bara melepaskan Raga dan kembali duduk.

"Bentar lagi juga masuk SMA."

"Enggak boleh pokoknya." Raga ikut melarang.

Bintang tidak kehabisan cara, dia mendekati sang papah lalu bertanya, "Boleh, kan, Pah?"

"Enggak!" jawab kedua kakaknya serempak.

"Gue nanya papah, bukan kalian."Raut wajah Bintang mulai kesal.

"Mending lo bucinin Mark aja. Lagian kalo ada cowok yang mau deketin lo harus lulus spesifikasi dari kita dulu. Ya, kan, Ga?" Bara menyikut sang adik yang berada di sampingnya kemudian Raga mengangguk.

"Curang! Kalo gitu, gue juga enggak restuin kalian deketin Kak Rayya."

***

Rayya menghentikan langkahnya dengan kening yang mengernyit saat melihat kendaraan di depannya. Ingatannya masih sangat kuat. Tadi Bara menjemputnya di sekolah menggunakan motor, tetapi kenapa yang terparkir di depan rumahnya sekarang berbeda?

"Motor lo ke mana?"

"Lo lupa gue bisa sulap?"

"Serius, Bara." Rayya masih terdiam di depan pagar rumahnya.

"Masuk dulu, di luar panas," pintanya sembari membukakan pintu mobil. Setelah Rayya masuk, dia berlari kecil untuk masuk ke dalam mobil.

"Ada yang ketinggalan enggak?"

Sebelum menjawab pertanyaan laki-laki di sampingnya, dia memeriksa isi tas selempang untuk memastikan barang-barang wajib yang wajib dibawanya tidak tertinggal, terutama ponsel. "Enggak ada, aman, kok," jawabnya. "Lo udah punya SIM?"

"Udah, dong. Mana berani gue bawa mobil kalo belum ada SIM. Tinggal sura izin milikin lo aja yang belum punya," tuturnya diakhiri kekehan.

Rayya memutar bola matanya malas. "Eh, tapi lo beneran ngirim proposal ke ayah? Pengen lihat dong proposalnya kayak gimana."

Bara membuka aplikasi yang digunakan untuk menghubungi ayah Rayya, lalu memberikan ponselnya pada Rayya.

"Boleh?" tanya Rayya, dia belum mengambil ponsel yang disodorkan oleh Bara.

"Kalo enggak boleh, enggak bakal gue kasih."

Rayya menerima ponsel itu dan membaca apa yang tertera di layar. Hanya pesan singkat, satu lampiran file, dan satu stiker yang dikirim oleh laki-laki itu, tetapi mampu membuatnya tersenyum.

Apalagi saat membaca proposal yang diajukannya. Gadis ini sampai tidak mendengar jika Bara memintanya untuk memasang seatbelt.

Bara menyondongkan badannya ke arah Rayya untuk meraih seatbelt. Hal itu membuat Rayya membeku, dia menahan napas, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Jarak di antara keduanya sangat dekat. Jika Bara menoleh kepadanya, bisa dipastikan bahwa akan terjadi sesuatu di antara mereka. Wangi mint mengusik indra penciumannya, dia sangat hafal wangi ini karena biasanya tercium saat dirinya bersama Raga.

"Serius banget bacanya, gue sampe ngomong dua kali tetep enggak lo denger," ungkapnya santai setelah kembali ke posisi sebelumnya. Bara terlihat biasa saja, seperti tidak melakukan sesuatu yang membuat gadis di sampingnya terdiam sampai saat ini.

Rayya menyimpan ponsel Bara di atas dashboard, enggan menanggapi ucapannya. Dia memilih mengalihkan pandangan ke arah jendela dan mencoba untuk menormalkan degup jantungnya. Belum apa-apa udah bikin deg-degan aja," batinnya.

Bara terkekeh melihat Rayya memalingkan muka, tangannya terulur mengambil ponselnya yang sudah terhubung dengan tape mobil, lalu menyalakan musik untuk mengusir rasa canggung yang tercipta. Dari sudut matanya, Bara bisa melihat jika Rayya sempat menoleh ke arahnya saat mendengar lagu yang mengalun. Namun, Bara berusaha cuek dengan ikut melantunkan lagu tersebut. Dia sengaja memilih lagu 'Favorite Girl' milik Justin Beiber.

"Tiap denger lagu ini gue ingetnya lo terus. Apalagi bagian ini," ujarnya berhenti bernyanyi.

You're who I'm thinkin of
Girl you ain't my runner up
And no mater what you're always number one

My prized possession, one and only
Adore you, girl, I want you
The one I can't live without
That's you, that's you

You're my special little lady
The one that makes me crazy
Of all the girls I've ever known
It's you, it's you


Rayya kembali memalingkan wajahnya. Tanpa diminta, bibirnya tersenyum. Dia berteriak di dalam hati. Ingin rasanya memaki Bara karena sudah membuat tidak karuan.

"Jendela benda mati, enggak bisa menikmati senyum lo. Jadi mending senyumnya lihatin sama gue aja, biar enggak terbuang siang-sia."

"BARA LO DIEM DULU!" Rayya setengah berteriak, sedangkan yang bersangkutan malah tertawa.

"Gue suka, soalnya lo lucu kalo salting."

"Bara!"

"Oke, sori. Lo udah laper belum?"

"Belum. Lo laper, ya?"

Laki-laki yang sejak tadi sibuk dengan kemudi dan jalanan itu menggeleng. "Terus kita mau ke mana nih?"

"Sour Sally," usul Rayya dengan raut semringah.

***

Mereka sudah berada di dalam dan akan memesan es krim yang Rayya inginkan. Bara sempat meminta Rayya untuk menunggu di dalam mobil saja, tetapi Rayya menolak. Beruntungnya siang ini tidak terlalu ramai, hanya ada satu orang yang sedang memesan. Mereka berdiri di belakang orang tersebut.

"Mau pesen apa?" tanya Bara.

"Black Sakura aja, tapi topping-nya apa, ya?" Rayya melihat daftar menu yang menggantung.

"Siang, Kak. Mau pesan apa?" tanya pelayan kasir. Ternyata orang di depanya sudah meninggalkan kasir.

Rayya maju dan Bara berdiri di sebelah kanan. "Black Sakura yang ... regular aja kali, ya?" tanyanya kepada Bara.

"Enggak mau yang large aja?"

"Enggak, ah. Takut perutnya enggak muat, nanti, kan, jajan yang lain."

"Jadi Black Sakura-nya dua, Mbak. Topping-nya yang satu oreo sama almond, yang satu lagi ...." Bara menggantungkan ucapannya.

"Kiwi sama Strawberry aja, Mbak."

Mereka menunggu di depan kasir setelah pelayan mengulangi pesanannya. Rayya mengeluarkan ponselnya di dalam tas untuk memeriksa beberapa notifikasi yang masuk, berbeda dengan Bara yang hanya menyandarkan punggungnya di tembok. Dia lupa membawa ponselnya. Saat matanya menangkap beberapa orang laki-laki yang masuk dan mendekati kasir, Bara langsung menggeser tubuh Rayya menjadi di sebelah tembok.

"Eh, kenapa?" tanyanya kaget dengan perlakuan Bara.

"Enggak apa-apa."

Tidak berselang lama, pesanan mereka siap. Terjadilah perdebatan siapa yang akan membayar. Setelah perdebatan singkat itu, mereka menyepakati jika Bara yang akan membayar untuk kali ini. Mereka berjalan keluar, Rayya sudah tidak sabar untuk menyantap es krim yang ada di tangannya.

"Abis ini ke Anyer, yuk!" ajak Bara. Keduanya sudah berada di dalam mobil.

"Kenapa enggak Ancol aja?"

Bara berdecak. "Biar makin lama berduanya."

JADI AKU UDAH DAPET IZIN DARI CHELSEA, YEY! Tapi pas zoom, jadi belum aku edit videonya. Kalo mau lihat bisa intip tiktokku hari Selasa, ya. Linknya nanti aku kasih.

See you at the next chapter, papay 👋🏻

8 Januari 2022

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
6.2K 623 12
Meski aku sudah menjadi yang tak terlihat, namun aku tidak suka untuk menakuti manusia. Ini adalah hidupku setelah kematian merenggut nyawaku. Mungki...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.4M 300K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
3.1K 1.4K 43
[SUDAH TERBIT] Lagi dan lagi, hujan turun menerpa bumi. Menangis ketakutan tatkala mendengar amarah semesta, dan merengek meradang seperti anak kecil...