After We Divorce [New Version]

Von hechanahessa

2M 195K 5.9K

Open Pre-Order | Part Lengkap _____________ Aleena pikir, menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar... Mehr

PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog
VOTE COVER
OPEN PRE-ORDER
Masih Bisa Dipesan

Chapter 17

47.1K 5K 242
Von hechanahessa

Aleena tidak bisa tidur semalaman. Badannya terus berganti-ganti posisi dengan pikiran berkelana. Hatinya menyuruh dia untuk bangkit dan mengecek keluar, tetapi otaknya berkata sebaliknya. Sehingga ketika masih pagi buta, perempuan itu memutuskan untuk mengakhiri acara berbaring dan keluar kamar. Melalui jendela, Aleena mengintip kondisi teras dan tidak menemukan Ervan. Tanpa bisa dicegah, celah bibirnya mengeluarkan udara lega. Meski tindakannya semalam terhitung jahat, Aleena tetap akan memarahi Ervan jika laki-laki itu nekat tidur di luar.

Sampai hari berganti, laki-laki itu tidak datang lagi. Padahal sejak kemarin dia sengaja berdiam di rumah dan menyerahkan urusan toko kepada pegawai sepenuhnya. Bukan itu saja, sudah dua hari Ervan absen mengiriminya makanan. Pikirannya mulai membentuk kalimat menghakimi. Jika Ervan memang sudah kembali ke Jakarta, harusnya pamit, kan? Bisa dalam bentuk surat yang diselipkan di bawah makanan seperti biasa, karena mereka tidak memiliki nomor telepon satu sama lain. Itu pun dengan catatan bila Ervan sungguhan mau berusaha memperbaiki hubungan mereka.

Atau mungkin ... waktu dia tinggal ke kamar laki-laki tersebut sempat mengucap pamit? Namun, kenapa Aleena tidak mendengar? Apakah memang diucapkan lirih?

Ah entahlah, memikirkan hal ini membuatnya kesal sendiri. Aleena juga tak seharusnya memusingkan hal tersebut. Harusnya dia senang kalau Ervan tidak datang lagi—seperti permintaannya. Namun, dia juga tidak memungkiri kalau terbesit perasaan kecewa.

Sembari membilas badan mobil pick up yang baru selesai disabun, Aleena melamun sendiri. Di tangannya terdapat selang yang mengucurkan air. Suara musik dangdut koplo yang disetel tetangganya keras-keras tak sanggup menjaga kesadarannya. Segala hal yang berkaitan dengan Ervan—entah mengapa—selalu membuat dia terdiam. Logikanya selalu berperang dengan batin. Perempuan itu tidak bisa menebak jalan pikiran Ervan, tapi selalu dibuat hampir mati penasaran dengan rencananya.

Butuh waktu hampir satu jam untuk Aleena menyelesaikan pekerjaannya. Perempuan itu membereskan alat-alat dan berbalik hendak masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang perempuan berdiri di belakangnya. Entah karena asyik melamun atau bagaimana, hingga dia tidak mendengar derit pintu gerbang. Tanpa menyapa, dia melengos dan melanjutkan langkah. Terlalu malas menghadapi teman yang sudah menipunya tersebut.

"Na, Na ... tunggu! Gue mau minta maaf! Please, jangan masuk dulu."

Wanita kurus yang mengenakan skort hitam berbahan suede itu menghalangi jalannya sambil merentangkan kedua tangan. Aleena berdecak, tak urung memandang Davina tak tertarik.

"Let's sit down first! Nggak enak ngobrolnya kalo sambil berdiri." Aleena tidak bereaksi meski tangannya ditarik-tarik, membuat Davina menariknya lebih kuat. "Ayolah, duduk dulu!"

Aleena terpaksa menurut. Diletakkannya ember berisi sabun, spons, dan seperangkatnya di dekat kaki, lalu memusatkan perhatian ke depan. Dari sudut mata, dia mendapati Davina tengah memandangnya memelas. Namun, dia tidak akan tertipu kali ini. Bahkan setelah mendengar helaan napas panjang.

"Na ... gue mau mengakui dosa," terangnya seraya memilin jari di atas pangkuan. Helaian rambut yang tidak ikut dalam tatanan poni kepang dibiarkannya berterbangan ke wajah. "That time ... I did lie about not being told to come here by anyone. Mungkin lo udah nebak dan ... bener, Bang Ervan yang nyuruh."

Aleena melipat tangan di depan dada tanpa menoleh. Kakinya disilangkan dengan gestur santai—seperti tidak tertarik, meski kedua indra pendengarannya telah dipasang selebar mungkin. Dia ingin mendengar alasan Davina lebih jauh dulu.

"Soal perceraian lo ... I actually already know from Jeriko. Dia menemui gue begitu tahu gue lagi ngurus kepindahan. He told me what happened between you and Bang Ervan—everything, including the reason why you got divorced. Jadi, gue nggak bohong pas bilang tahu perceraian kalian baru-baru ini, karena emang—walaupun sering berkabar—Bang Ervan nggak pernah menyinggung perihal elo. Gue juga udah lama nggak pulang." Ada jeda sebentar. "Gue nggak nyangka sekaligus menyayangkan, makanya waktu Jeriko minta tolong ... gue langsung setuju."

"Buat sekarang, gue datang atas kesadaran diri gue sendiri. Bukan karena disuruh siapa pun, dan gue ngelakuin ini karena ngerasa perlu menjelaskan semuanya supaya kita tetep berteman baik. Gue berani bersumpah bahkan sujud di kaki lo kalo lo nggak percaya."

Aleena masih membisu, tetapi membiarkan Davina mengambil tangannya dan menempelkan ke dahi. Agak lucu memang. Dia seperti sedang berhadapan dengan anak yang tidak sengaja menendang pot bunga sampai pecah.

"Jeriko juga menyarankan Bang Ervan buat ketemu lo dan memperbaiki keadaan sendiri. Gue rasa, dia udah ngelakuin itu. Cuma ... uhm ... gini ...." Davina menggaruk pelipisnya, kelihatan bingung memilih diksi yang tepat. Dia kemudian berdeham dan membenarkan duduk. "I know that you're still angry with Bang Ervan, tapi gue boleh minta satu hal? Kasih dia waktu buat menjelaskan. Selebihnya, semisal lo butuh waktu untuk mencerna dan memutuskan harus memaafkan atau tidak ... itu terserah lo."

"Gue nggak sedang berpihak ke Bang Ervan aja—cuma karena dia sepupu gue. Bagaimanapun Bang Ervan punya salah, tapi bukan berarti patut dilimpahi kesalahan. Untuk menilai hal itu, jangan cuma dipandang pakai mata aja, hati lo juga perlu difungsikan. Gue bilang gini sebab menilai dari hal yang mungkin nggak dia sadari."

Davina membasahi bibirnya yang kering. "Konstruksi budaya mungkin juga mempengaruhi cara dia memperlakukan lo. Entah interaksi oma yang selalu melayani opanya tanpa membantah, atau sikap maminya yang selalu menuruti perintah papinya waktu mereka masih bersama. Yang jelas, lingkungan membentuk cara Bang Ervan berpikir kalo istri nggak punya kontrol sekuat suami. Ini emang baru sebatas anggapan gue, tapi apa yang kita perhatikan lebih berpengaruh daripada omongan semata, kan?"

Aleena tetap bergeming, membuatnya mengempaskan punggung ke sandaran kursi lelah. Davina berusaha memutar otak untuk menemukan hal yang perlu dijelaskan lagi. Yang sekiranya mampu mengikis benteng penolakan Aleena.

"Tante Amira nggak menyetujui pernikahan kalian mungkin karena takut apa yang dialaminya, dirasakan sama Bang Ervan juga," katanya pelan—setengah tak yakin. Kalimatnya justru membuat Aleena menoleh dengan dahi berkerut.

"Takut?"

"Tunggu, tunggu ...." Davina ikut menggeser duduk, terkejut mendengar nada tidak paham Aleena. "Jangan bilang ... Bang Ervan belum cerita soal kedua orang tuanya?"

Satu alisnya naik. Begitu melihat temannya itu menggeleng lugu, Davina tidak tahan tidak mendesah panjang. "Gue nggak tau kalo hal sekrusial ini nggak abang kasih tau. Semestinya, bukan ranah gue menjelaskannya secara detail, jadi gue cuma bisa kasih gambaran besarnya aja. Selain bukan ranah gue, gue menghargai privasi keluarga dia."

"Ada apa, sih, Dav?" desak Aleena mulai tidak sabar.

"Pernikahan Om Josua dan Tante Amira nggak direstui karena perbedaan status sosial."

Aleena ternganga, pupilnya turut membesar. Orang tua Aleena memang hanya mengandalkan pendapatan dari kedai kopi. Meski terbilang cukup mencukupi kebutuhan sehari-hari bahkan lebih—dalam versinya, tetap saja tergolong sangat jauh di bawah keluarga Abraham yang memiliki perusahaan keluarga turun-temurun. Aleena sendiri juga bukan lulusan universitas ternama, melainkan universitas swasta berakreditasi B dengan seluruh biaya ditanggung beasiswa. Orang tuanya memang tidak memiliki latar belakang kriminal, tetapi sama-sama lulusan SMA. Tidak ada warisan berharga selain akhlak. Tante Amira tidak pernah menyindir apalagi mengata-katai kondisinya. Namun, ketika mendengar ibu Ervan pernah merasakan terhalang restu faktor status sosial, membuat Aleena jadi terpekur. Selama ini dia hanya berasumsi demikian, siapa sangka sekarang terasa lebih masuk akal. Mungkinkah beliau juga menganggap dia perusak bagan keluarga kaya raya seperti anggapannya?

"Lantas ... Om Josua, masih hidup ...?"

Davina menunduk, seperti tengah menimbang-nimbang. Kala bersitatap dengannya, dia menemukan sepasang alis rapinya hampir menyatu.

"Bertahun-tahun hal ini cuma jadi rahasian antara gue, Jeriko, sama Bang Ervan. Tapi pas pernikahan lo, gue mewajarkan Om Josua nggak datang dengan asumsi ... lo udah pernah ketemu beliau. Ternyata belum, ya?" Raut wajah Davina tampak meredup. Matanya agak berkaca-kaca. Nada suaranya sedikit melemah saat berujar, "Iya, he's actually still alive—until now. Tempat tinggalnya di Bandung, di tempat sedikit terpencil dan nggak ada yang tahu selain kita bertiga sama pelayan di sana. Beliau udah sakit-sakitan sekarang dan kena gejala stroke."

Dia terkesiap sampai tidak sadar membekap mulut. Ya Tuhan, berapa banyak hal yang belum diketahuinya dari sosok Ervan? Apa alasan laki-laki itu menyembunyikan ayahnya? Apakah ini masih ada kaitannya dengan konflik status sosial tadi?

"Bang Ervan's life is already hard. Without you by his side, his life is even harder. Kalo lo susah percaya, tapi mau mempertimbangkan memulai dari awal ... buat perjanjian pernikahan yang disahkan notaris. It will guarantee your freedom."

***

Aleena baru melepas Evan yang ingin main ke rumah Bu Mulyanti. Perempuan bersetelan selutut berwarna ungu itu hampir menutup pintu ketika melihat sebuah mobil Avanza berhenti di depan gerbang. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul 7 malam dan sosok laki-laki jangkung yang tengah berjalan mendekatinya bergantian. Agak terkejut dengan kedatangannya tiba-tiba. Mau apa dia datang malam-malam?

Napas lelah terhela lewat celah mulut. Aleena memandang Ervan tanpa ekspresi begitu mereka berhadapan.

"Aleena, aku datang ... lagi."

"Sekarang apa lagi? Kan, kemarin kamu udah jelasin semuanya."

Air muka Ervan sontak berubah murung. Kepala laki-laki itu menundung dengan sepasang mata saling mengamati ujung sepatu. Kemarin, alasan ingin menjelaskan banyak hal sudah terwujud, sekarang dia tidak memiliki alasan lain. Ingin memaksa Aleena memberikannya kesempatan secepat mungkin juga tidak etis. Padahal memang itu tujuannya datang ke mari; mendiskusikan soal kesempatan. Dia lantas mengusap wajahnya kasar.

"I know you're still disappointed with me, but can I ask for a chance? I promise to change."

"Change?" Aleena terkekeh sambil melipat tangan. "I still remember you once said that you would love me forever—unconditionally. But, do you know how you love me? Kamu menyakitiku dengan merenggut kebebasanku."

Aleena memangkas jarak. Telunjuknya terangkat menekan-nekan dada Ervan. "Asal kamu tahu, aku bukan perempuan kuno yang rela bersimpuh di bawah budaya patriaki. Aku berhak atas hidupku sendiri. Kalo cinta bisa merebut kebebasanku, maka aku rela hidup tanpa perasaan. Sudahi aja usahamu meyakinkanku, and now ... accept this as our destiny after we divorce. Jangan lagi datang—"

Aleena terhuyung—sampai tidak sadar menendang pintu—saat Ervan tiba-tiba menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Dia kesulitan bernapas. Tangannya berusaha memukul-mukul punggung Ervan, tetapi laki-laki itu bergeming. Akhirnya, dengan sekuat tenaga dia mendorong tubuh lelaki itu sampai pelukan mereka terlepas.

"Jangan dekat-dekat aku!"

Kaki Aleena melangkah mundur. Matanya nyalang ke depan sambil menunjuk Ervan. Namun, mantan suaminya itu justru semakin mendekat.

"Aleena ...."

"Aku bilang jangan dekat-dekat!"

"From the bottom of my heart, I don't mean to hurt you—I told you so. Kamu mau apa supaya menarik kata-katamu tadi? Kebebasan? Kekuasaan? Jabatan tinggi? Materi? Name it, I'll give it—"

Ervan terlalu fokus pada wajah Aleena, hingga tidak memprediksi bila sebuah gunting akan menudingnya. Laki-laki itu spontan membeku. Tatapan piasnya jatuh pada ujung gunting yang runcing. Napasnya tercekat. Selaput bening menghalangi pandangannya.

"Sekali kamu melangkah mendekat, aku nggak segan-segan menusuk kamu!" ancam Aleena. Wajahnya sudah memerah padam, meski tangannya yang menggenggam gunting bergetar. Perempuan itu menelan ludah berulang kali sembari melangkah maju—mengintimindasi. "Bahkan kalo kamu kasih aku dunia dan seisinya, aku nggak akan sudi hidup sama kamu lagi! Udah cukup dulu aja kamu seenaknya sama aku!"

"Aku nggak akan percaya dengan semua drama-drama yang kamu ceritain malam itu! Semua makanan yang selama ini kamu kirimin juga nggak akan mempengaruhi aku!"

"Aleena—"

"Kamu itu manusia manipulasi nan berengsek yang pernah aku kenal!" sela Aleena berteriak. "Nggak seharusnya aku percaya kamu! Nggak seharusnya aku kenal kamu! Hidup sama kamu itu nggak ubahnya kayak hidup di penjara! Go to hell and live with the devil!"

Punggung Ervan menabrak tembok. Sembari mengangkat satu tangan, dia berusaha menahan lengan Aleena yang terus mengacungkan gunting. Keringat sebesar biji jagung jatuh membasahi baju. Ketegangan mereka seperti menyedot pasokan oksigen di sekitar.

"Aleena, kumohon ... maafin aku ...."

"Aku bilang, aku nggak bakalan maafin kamu!" teriak Aleena lagi, membuatnya memejamkan mata. "Bahkan kalo kamu bersujud mencium kakiku, aku nggak bakalan sudi maafin kamu! Camkan kata-kataku!"

Dada Aleena berkembang kempis. Urat-urat di seputaran leher dan pelipisnya mengencang. Perempuan itu berharap, Ervan memilih menyerah dan segera pergi dari rumahnya. Pertahanan dirinya telah mencapai batas maksimal. Dia tidak mau laki-laki ini sampai melihatnya tergugu tidak berdaya. Namun, hal yang pria itu lakukan selanjutnya meruntuhkan tanggul air mata.

Ervan bersujud di kakinya.

Aleena jatuh terduduk dan menangis kencang. Gunting di tangannya terlepas begitu saja. Sebagai gantinya, kepalan tangannya memukul-mukul punggung sang mantan suami.

"Manusia bodoh! Aku bilang aku nggak bakalan maafin kamu." Berbanding terbalik dengan ucapannya, Aleena justru mendekap kepala Ervan dan menumpahkan tangis di sana. "Aku benci kamu. Aku nggak pengin ketemu kamu lagi. Tapi, kenapa kamu malah datang?"

Aleena membenci fakta bahwa sebesar apa pun kebenciannya, hatinya tidak akan pernah tega.

****

tbc

gais, mungkin ini jadi part terakhir yang kupublish di bulan juni. aku izin ngurusin di real life dulu ya

aku ada tugas bikin 18 reading report, 1 tugas analisis artikel, 2 uas offline, 1 project artikel, 1 project jurnal yang harus publish tanggal 4 juli. jd, mungkin aku akan kembali aktif bulan depan

maaf atas ketidaknyamanannya ya. kepalaku mau mleduk 😐😬

see ya 💖💖

Published date; January 7, 2022.
Republished: June 23, 2023

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

4.2M 219K 36
[COMPLETE] Sinopsis : Bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta kemudian menikah. Klise, tapi manis. Semua mengatakan bahwa pernikahan adalah akhir da...
7.3M 885K 47
Davina Grizelle yang sering dipanggil Vina merupakan seorang dosen muda di sebuah universitas swasta. Dia mengajar mata kuliah Pengantar Akuntansi da...
2.5M 101K 43
"Aku bukan perempuan yang memiliki hati sekeras batu atau hati yang sebaik cinderella. Aku hanya perempuan biasa yang bisa menangis hanya karna tergo...
556K 30.7K 40
Another story dari "LOVE". Kinara mencintai Putra! Perasaan Kinara meluap seperti gelas yang tidak sanggup menampung air melebihi kapasitasnya. Kinar...