After We Divorce [New Version]

By hechanahessa

2M 195K 5.9K

Open Pre-Order | Part Lengkap _____________ Aleena pikir, menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar... More

PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog
VOTE COVER
OPEN PRE-ORDER
Masih Bisa Dipesan

Chapter 11

60.5K 5.6K 250
By hechanahessa

"Gue bisa aja mengusahakan uang segitu dalam tempo waktu 3 hari, cuma mungkin harus berusaha mati-matian. Termasuk jual-jualin aset karena dana cadangan dan tabungan belum mampu menutupi. Hidup gue emang mulai stabil, tapi bukan berarti—aduh ... gimana, ya, jelasinnya? Pokoknya, ya, gitu, Dav. Gue bingung, kaget, dan khawatir banget."

Dua jam berlalu, Davina masih berusaha menenangkan temannya tersebut dengan mengusap-usap bahunya. Suara jangkrik yang mengerik menginvasi suasana sepi. Detik jarum jam terasa berdentang mengalahkan bisingnya tiupan angin. Evan sendiri telah kembali berlayar di alam mimpi setelah membersihkan diri dan berganti pakaian.

"Gue paham kok. Nggak perlu jelasin apa-apa. Sekarang, tenangin diri lo dulu. Lo dari tadi sampai nggak fokus ngapa-ngapain, Na."

Napas Aleena terhela pelan. Pandangannya mengawang ke depan. Mereka saling membisu beberapa menit.

"Kalo lo berkenan, gue bisa bantu lo, Na."

Kepala Aleena berputar cepat. "Jangan gila," desisnya.

"Gue serius. Yang penting urusan ini kelar dulu. Soal ngembaliin itu bisa dipikir belakangan. Toh, ke depannya kita bakalan sering ketemu, kan?" Melihat raut keberatan wanita di sisinya, Davina lantas menggenggam tangannya. "Please, Na, just let me help you."

"Lo baru mau mulai usaha, Davi. Pasti butuh modal yang banyak. Gue nggak mau ngerepotin."

Dia menggeleng tegas. "Nggak ngerepotin sama sekali. Uang ini emang masih dalam bentuk dana cadangan, Na. Soal modal, keperluan sehari-hari, dana kesehatan, dan sebagainya itu udah gue pisahin. Lagi juga, walau dana cadangan masih ada sisa kalo lo mau minjem. Lo nggak perlu khawatir. As I said before, kelarin dulu urusan lo ini."

Mata Aleena sedikit memerah kala haru merasuki dada. Namun, rasa tidak ingin merepotkan orang lain masih mendominasi. Sudah cukup selama ini dia berhutang budi kepada Bu Mulyanti dan rasanya sungguh tidak mengenakkan. Bukan terlalu berpikir negatif, hanya saja dia takut jika ada aksi ungkit-mengungkit meskipun Davina tidak kelihatan punya sifat satu itu. Perempuan itu menunduk dalam, memainkan jemari di atas pangkuan.

"Give me time, Dav. Gue pengin usaha dulu. Seandainya gue nggak mampu, gue kabarin lo, ya? Makasih sebelumnya udah berniat bantu."

Davina tetap mengangguk meski dalam hati meruntuk kesal.

Aleena, utang lo bakalan lunas. Mau lo usaha kayak apa juga nggak bakalan berguna.

***

"Saya ada pekerjaan di Surabaya dan kembali entah hari Minggu sore atau Senin pagi. Kalau ada apa-apa—seperti biasa, kamu bisa menghubungi Jeriko, Diana. Walau sebagai asisten, suara Jeriko sama kuatnya dengan saya."

Adalah kalimat terakhir Ervan sebelum mematikan ponsel kerjanya. Lelaki berkemeja flanel berlapis jaket itu lantas menyamankan duduk di kursi business class dan memejamkan mata, menunggu pesawat take off. Sejak semalam dia sudah tidak sabar menunggu waktu ini tiba. Akibatnya, lingkaran hitam di bawah mata—yang memang sudah gelap—bertambah hitam saja. Davina masih di Surabaya sejak Rabu lalu. Seperti titahnya, adik sepupunya itu terus membujuk Aleena sampai mau dibayari utangnya. Selain itu, Ervan juga mendapatkan laporan jika Aleena sudah mau diajak bercanda, meski sesekali kedapatan melamun atau menghela napas.

Sejauh ini belum ada masalah berarti. Ibunya pun tidak protes ketika dia bergegas menyelesaikan pekerjaan dan pulang lebih awal hari ini. Sebenarnya, ini adalah tindakan ternekat yang Ervan lakukan saat berurusan dengan hati. Kala sedang masa pendekatan pun, lelaki itu begitu sabar menanti timbal balik dari Aleena. Jeriko dan Davina bahkan sudah meyakinkannya lebih dari lima kali selama dua hari belakangan, tetapi tekatnya sudah bulat. Mungkin karena telah menanti hampir lima tahun. Mungkin karena kini ada keberadaan Evan. Semua kemungkinan terasa benar dan Ervan berharap kali ini rencananya berjalan mulus. Mudah-mudahan pula, kewarasannya bisa dikendalikan begitu menatap Aleena lagi.

Hampir tiga jam berlalu, Ervan akhirnya bisa menikmati fasilitas jacuzzi bathtub di hotel tempatnya menginap. Tubuhnya terasa lebih ringan. Ditambah lilin aromaterapi yang dihidupkan di dekatnya, menambah ketenangan jiwa. Benang-benang kusut di kepalanya seperti terurai. Ervan menyamankan diri dengan merentangkan tangan di seputaran bathtub dan memejamkan mata. Tanpa bisa ditahan, kesadarannya perlahan menghilang. Laki-laki itu akhirnya bisa beristirahat dengan damai tanpa dihantui perasaan bersalah.

Keesokan paginya, Ervan bangun di atas ranjang dengan kondisi lebih segar dari biasanya. Semangatnya tampak menggebu-gebu. Pria itu bersiap dalam balutan kaus putih polos yang dilapisi beige bomber jacket, stonewashed jeans dan sepatu sneakers membalut tubuh bagian bawahnya dengan baik. Rambut hitam legamnya disisir rapi, menyisakan beberapa helai jatuh ke dahi karena dia tidak mengenakan pomade kali ini. Begitu sarapannya tandas, putra Amira itu lantas meraih beberapa barang dan keluar kamar. Di bawah sudah tersedia mobil Avanza beserta supir yang akan mengantarkannya ke kediaman Aleena. Ervan sengaja memilih kendaraan yang sekiranya tidak mencolok.

Perjalanannya sedikit menguras emosi, sebab aplikasi yang digunakannya melacak lokasi Davina memutar-mutarkan arah sampai ke gang-gang kecil. Beberapa kali sang supir harus menepi ketika bersimpangan dengan kendaraan lain. Padahal Ervan sudah berekspetasi kalau Aleena tinggal di kompleks perumahan yang asri. Namun, realitanya justru berada di sebuah perkampungan kecil yang gaduh sekali. Suara kumpulan ibu-ibu bersahutan dengan suara orang menyetel musik dangdut, anak-anak yang bermain di jalan, dan para pedagang keliling. Walau masih pagi, tetapi di dekat mobilnya terparkir, ada gerombolan pemuda laki-laki yang menyanyi-nyanyi sambil memainkan ketipung dan gitar. Kepala Ervan sontak berdenyut nyeri. Telinganya bingung ingin fokus mendengarkan yang mana. Sementara gerbang di seberang sana sudah terbuka meski penghuninya masih belum menampakkan batang hidung.

"Kita aman, kan, ya, parkir di sini, Pak?"

"Aman, Pak. Tidak menghalangi jalan kok," sahut laki-laki bertubuh tambun dari balik kemudi. "Kalo boleh tahu, kita sampai kapan, ya, di sini?"

"Sepertinya sedikit lama, Pak. Bapak ada keperluan lain?"

"Oh, tidak, Pak. Silakan dilanjutkan saja urusannya. Saya akan menunggu sampai selesai."

Ervan hanya mengangguk tanpa mengalihkan atensi dari layar ponsel. Davina belum juga membalas pesannya. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana, tapi adik sepupunya itu mengungkapkan jika semalam sempat menginap karena hujan deras.

Lama menunggu, sesosok wanita memakai daster selutut keluar seraya menyapu. Di belakangnya muncul anak kecil yang heboh ingin menggantikan pekerjaan wanita itu. Hingga akhirnya, anak kecil yang masih mengenakan piyama bergambar kartun tersebut menuruti titah ibunya untuk menyapu bagian halaman. Sapu lidi kecil dipegangnya dengan susah payah. Akibatnya, daun-daun kering masih banyak yang ketinggalan. Aleena tidak ada tanda-tanda kesal. Dengan sabar perempuan itu membantu putranya, sambil sesekali berjongkok untuk mencabuti rumput di depan garasi. Selesai bagian halaman, Aleena beralih merawat tanaman hias di depan rumah. Lagi-lagi Evan heboh ingin membantu. Mata bulatnya bersinar penuh rasa ingin tahu. Bibirnya asyik bertanya banyak hal, sedangkan sang ibunya terlihat begitu telaten meladeni bahkan membiarkan anaknya bereksplorasi.

Melihat pemandangan tersebut, selaput bening langsung menyelubungi indra penglihatan Ervan. Kedua sudut bibirnya tertarik penuh haru. Dia jadi teringat dengan pernyataan Berjamin Franklin yang berbunyi, "beritahu aku maka aku akan lupa, ajari aku mungkin aku akan ingat, libatkan aku maka aku akan belajar". Mungkin hal itu yang menjadi pondasi Aleena dalam mendidik anak. Fakta ini benar-benar menghantam Ervan sampai dadanya sesak. Seharusnya, dia tidak bersikap egois karena saat Aleena berkata menginginkan anak, wanita itu sudah sungguhan 'siap'. Dia tidak salah memilih istri, tetapi istrinya begitu sial mendapatkan jodoh yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Apabila waktu dapat diputar, ingin rasanya Ervan menarik kata-katanya yang pasti melukai harga diri Aleena.

Pemandangan menyentuh hati itu kacau ketika tiba-tiba dua orang laki-laki berotot datang dan memarkirkan motor di halaman Aleena. Punggung Ervan sontak menegak. Dia ingat betul wajah dua orang tersebut. Bahkan foto yang dikirim Davina masih tersimpan di ponselnya. Dengan dahi mengerut, Ervan mengetikkan pesan kepada Jeriko.

You:
Lo beneran udh ngurus utang Aleena kan?

Balasan datang beberapa detik kemudian.

Jeriko
Udh kok
Mang ngapa

Ervan tidak membalas dan meletakkan kembali alat komunikasinya. Tatapannya terarah ke luar kaca. Aleena dan dua laki-laki itu terlibat percakapan yang tidak bisa Ervan dengar dengan jelas karena suara bising.

"Orang itu mau nagih utang, ya, Pak?"

Supir tadi tiba-tiba angkat suara, membuat Ervan mengalihkan pandangan.

"Iya, Pak?" tanyanya memastikan.

Beliau mengangguk. "Itu tadi bilang angsuran-angsuran sama denda gitu, Pak."

Ervan mulai tidak habis pikir. Bukankah kalau sudah dilunasi, seharusnya tidak ada tanggungan apa pun lagi? Kalau kasusnya begini, Ervan tidak akan diam saja. Aleena juga seharusnya tidak meladeni aksi pemerasan tersebut.

Sejak awal kedatangan mereka, Aleena menampilkan gestur begitu tenang. Matanya mungkin menajam, tetapi nada suaranya masih terkontrol dengan baik. Perempuan itu bahkan sempat menyuruh Evan masuk ke rumah. Namun, semakin lama dua laki-laki berwajah tua itu seperti kehabisan kesabaran. Ketika salah satunya mendorong bahu Aleena hingga mundur beberapa langkah, Ervan refleks membuka pintu mobil dan berjalan menyebrang. Entah apa yang ada di pikirannya. Tubuhnya bergerak layaknya robot. Kesadaran pria itu baru menguasai setelah sampai di sana dan mendapatkan pelototan Aleena.

Sungguh sial. Dia memejamkan mata kesal. Sudah kepalang basah. Tidak mungkin Ervan tiba-tiba kabur dari sana.

"Siapa yang menyuruh kalian datang lagi?" desisnya.

Yang mereka tidak sadari, lelaki jangkung itu tengah mengepalkan tangannya yang bergetar. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat di dalam sana. Ervan berusaha keras mengendalikan diri. Bukan karena takut pada dua pegawai koperasi yang sudah mirip preman, tetapi dia masih belum cukup nyali berhadapan dengan Aleena. Ini masih terlalu awal dan belum ada persiapan. Pasti setelah ini semua skenario yang sudah disusunnya susah-susah akan terbongkar. Bagaimana kalau Aleena kembali melarikan diri?

"Saya hanya menjalankan tugas dari atasan kami. Anda siapa?" Setengah tersenyum miring, sosok yang lebih pendek dan berambut cepak berujar.

"Tidak penting untuk mengetahui siapa saya. Yang perlu saya tekankan di sini, saudari Aleena sudah tidak memiliki tanggungan apa pun dengan koperasi tempat kalian bekerja."

Sosok lain yang semula diam, maju selangkah. "Kami, kan, sudah bilang kalau hanya menjalankan tugas dari atasan. Ada atau tidaknya tanggungan seperti pernyataan Anda barusan, bukan urusan kami." Mereka beradu pandang. Ervan turut membusungkan dada—tidak gentar. "Ibu Aleena hanya perlu membayar, sementara Bapak yang tidak berurusan di sini tolong tutup mulut."

Ervan tertawa sarkas. "Baik apabila itu yang kalian inginkan." Dia mengangguk-angguk. "Saya beri dua pilihan, membiarkan Bu Aleena tetap membayar denda, dengan konsekuensi saya bumihanguskan seluruh usaha bos kalian dan kalian saya laporkan ke polisi atas kasus pemerasan, atau ... kalian pulang sekarang dan kita berdamai. Silakan pilih."

Mata mereka langsung berkilat-kilat marah.

"Berani-beraninya Anda mengancam! Memangnya Anda siapa?"

"Saya suami Bu Aleena," tegas Ervan, membuat mereka saling pandang.

Ervan sekilas mampu menangkap raut tidak percaya mereka. Dia pikir mereka akan memilih opsi pertama, tapi yang keluar dari mulut laki-laki berkepala plontos di depannya membuat dia terkekeh.

"Tanggungan Bu Aleena tetap akan menjadi tanggungan."

"Baik. Jika itu mau kalian, akan saya turuti. Jangan salahkan saya setelah ini."

Sebuah pukulan hampir saja mendarat di pipi Ervan, bila sosok laki-laki yang lebih pendek tidak menahan temannya. Si jangkung berkepala plontos itu terus mengumpat seiring melangkah pergi. Bukannya tenang, Ervan semakin susah menelan ludah sepeninggal mereka. Tanpa melihat langsung, tatapan Aleena sanggup melubangi kepalanya.

"What did you do?"

Benar, apa yang barusan dilakukannya? Bukankah di skenario tidak ada tindakan ini?

***

TBC

Kan udah dibilangin:

Salah sendiri ga nurut, jadinya kan:

kesian nian 😞😞😞😞😞

part selanjutnya kykny pnjng, ak blm slse ngtik tp udh 2000++ kta. kyknya bkl jdi 3000++ kta 😞

Published date: December 12, 2021

Republished: May 22, 2023

Continue Reading

You'll Also Like

556K 30.7K 40
Another story dari "LOVE". Kinara mencintai Putra! Perasaan Kinara meluap seperti gelas yang tidak sanggup menampung air melebihi kapasitasnya. Kinar...
106K 6.3K 33
Lady Anne seorang gadis yang tumbuh dikalangan masyarakat jelata yang tidak tahu kalau ayahnya adalah Earl of durham, saat beranjak dewasa Anne beker...
2.6M 156K 29
Copyright © 2015 by littlesunshine_ Hak Cipta Terlindungi © 2015 oleh littlesunshine_ : Naraka Fajar, laki-laki yang mendapat urutan pertama versi m...
525K 60.2K 56
"Shopia, saya menemukan seseorang yang mampu membuat saya berdebar selain kamu," kata Natha pada Shopia, anak bos Shopia yang paling menyebalkan. ***...