After We Divorce [New Version]

By hechanahessa

2M 195K 5.9K

Open Pre-Order | Part Lengkap _____________ Aleena pikir, menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar... More

PROLOG
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog
VOTE COVER
OPEN PRE-ORDER
Masih Bisa Dipesan

Chapter 1

113K 8.2K 86
By hechanahessa

Apa yang membuatmu lebih bahagia ketika sudah memiliki kehidupan mapan dan terjamin sampai tua?

There shouldn't be. Banyak orang di luar sana gila-gilaan berusaha mendapatkan apa yang sudah dimilikinya. Serakah sekali kalau dia menginginkan kehidupan lebih baik dari sekarang. But, who can control his heart? No one, including him.

Detak yang bertalu berlipat-lipat lebih cepat, selalu diiringi desakan air dari balik kelopak mata. Paru-parunya sulit sekali mengolah udara jika kemelut di otaknya mulai tidak bisa diajak kompromi. Dunia seperti menyudutkannya sampai dia merasa begitu kecil. Tiada pegangan yang bisa dia raih. Tiada pelukan yang bisa menenangkannya. Satu-satunya yang mampu dia andalkan—sejauh ini—ialah dirinya sendiri. Sialnya, mimpi buruk itu selalu menghantuinya setiap kali kondisinya sedang legang.

"Ah, shit."

It's almost fucking five years! Tidak seharusnya kebiasaan meratapi nasib masih menjadi sarapannya setiap kali dalam perjalanan pergi bekerja. Kalau disuruh jujur, mungkin kuping Pak Asep, supir pribadinya, seperti hampir jebol mendengar mulutnya begitu enteng memaki. Setiap saat. Setiap kesempatan. Yang lebih sial, kondisi melankonisnya mudah sekali memancing sisi tempramennya muncul ke permukaan. Semua kesalahan kecil bisa jadi perkara besar bila dia sedang kepikiran masa lalu. Sungguh malang nasib orang-orang yang tanpa sengaja membuat kesalahan ketika dia sedang merasa sinting. Padahal pria itu sadar jika tiada manusia yang luput dari kesalahan, termasuk dirinya sendiri.

"Goblok banget, sih, itu satpamnya! Udah tau ada mobil mau masuk, makin asyik aja ngobrolnya sama si supir yang mendadak ikutan akhlakless."

"Sabar, Mas Ervan. Mungkin supirnya juga dalam kondisi urgent kayak Mas Ervan."

"I don't give a fuck. Buang-buang waktu orang lain aja ini mah. Udahlah saya jalan aja ke dalamnya. Pak Asep jangan lupa stand by sebelum jam makan siang. Saya juga mau ke rumah sakit begitu jam kantor selesai," ucapnya setengah menggerutu.

Setelah itu, dia sungguhan turun dari mobil dengan sedikit membanting pintu. Tatapan sengit tak dapat Ervan sembunyikan ketika sampai di hadapan satpam yang langsung tersenyum rikuh padanya.

"Di pantry banyak kopi, Pak. Dilanjut aja di dalem sambil main catur ngobrolnya. Gerbangnya dikunci aja kalo perlu. Atau jangan berhenti ngerumpi kalo belum dimaki-maki orang."

Nada bicaranya masih terkontrol baik, tapi tidak dengan indra pendengaran lelaki di depannya yang menerima suara tersebut. Segera bapak-bapak berseragam khas satpam itu membungkukkan badan meminta maaf, sementara Ervan memilih melengos. Rusak sudah suasana hatinya di pagi hari ini. Biar demikian, dia tetap berdeham sembari membuka kancing teratas kemeja yang terasa mencekik saat memasuki pintu masuk. Seutas senyum tipis tersungging ketika kakinya melewati resepsionis.

Whatever happens profesionalitas harus nomor satu!

"Woi!"

Sesosok laki-laki berkemeja rapi yang sedang menerima telepon di depan lift lantas mengumpat pelan. Tangannya segera memegang dada dengan mata yang langsung melotot tajam ke arah Ervan.

"Baik, Pak. Akan saya sampaikan pesan Bapak kepada Pak Ervan. Terima kasih kembali," ucapnya ramah, sebelum menutup panggilan. Selama menyimpan ponsel ke dalam saku celana, matanya tak lepas menyorot tajam ke arah manusia yang kini fokus memandangi pantulan dirinya sendiri di pintu lift.

"Jangan kelamaan ngeliatin gue. Entar lo naksir, gue juga yang repot."

"Mulut lo beneran harus gue rujak, sih." Lawan bicaranya hanya menyeringai. "Gue dapet laporan dari Diana, kemarin lo kabur sebelum jam kantor berakhir. Ke mana lo?"

"Nyari angin."

"Bullshit. Bilang aja mau ngehindarin kunjungan dadakan mami tercinta."

"Itu lo tau," sahutnya santai. Kakinya segera melangkah memasuki lift, sedangkan mulutnya asyik bersiul dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana. "Nggak perlu coba buat nasehatin gue. I always know what I want and what I have to do. I'm not a kid anymore. Lo sebagai asisten pribadi cukup bantuin gue, bukan ngatur-ngatur. Diana aja enggak masalah sama aksi gue, kenapa lo itu demen banget pusing sendiri, Jer?"

"Look who said 'not a kid anymore', tapi takut banget ngehadapin omelan emaknya." Laki-laki yang dipanggil Jeriko mendengkus. "Lagian Diana itu ekspresif, lo yang nggak peka."

"Perhatian amat. Naksir lo?"

"Tolol emang lo."

Ervan terkekeh. Dia dan Jeriko sudah saling mengenal sejak kuliah. Bisa dibilang keduanya teman satu tongkrongan, tapi beda jurusan. Setelah mendapatkan gelar sarjana, mereka sempat berpisah. Jeriko memilih melanjutkan pendidikan di Singapura sambil bekerja, sedangkan Ervan melesat ke Eropa dan fokus membangun bisnis kecil-kecilan. Setelah sama-sama 'kenyang' menelan ilmu di negeri orang, mereka kembali dan dipertemukan dalam lingkup yang tidak jauh-jauh dari bisnis. Sejauh ini, hanya Jeriko yang paling tahan dengan sistem kerja dan sifatnya—yang kata orang—lumayan gila. Terhitung sudah lebih dari delapan tahun Jeriko berperan sebagai asisten pribadi, sementara Diana baru dua tahun bekerja dengannya sebagai sekertaris.

"Btw, gue harus ngapain aja hari ini?"

"Tobat."

"Sialan!"

"Apa susahnya, sih, buka email dan ngecek sendiri?" gerutu Jeriko, tak urung jemarinya menggulir layar iPad. Dia sempat berdeham dan membenarkan letak kacamata yang membingkai mata sipitnya, sebelum berkata, "Nih ... lo buka kuping lebar-lebar supaya nggak nanya-nanya lagi. Males gue buang-buang waktu."

"Gue ketemu sama Pak Yudana abis dari Bogor apa gimana?" tanya Ervan setelah mendengar rincian singkatnya.

"Ketemu di Bogor. Dari pihak Pak Yudana udah reservasi restoran di sana. Jamnya pas makan siang. Karena sore lo perlu jenguk Om Brata, dari jam tiga sampai jam pulang kantor jadwal lo gue kosongin. Soal oleh-oleh udah disiapin. Entar lo tinggal pergi aja abis dari Bogor."

"Mantap! Lo emang paling ngerti gue. Andai lo cewek udah gue nikahin dari lama. Hahaha ...."

Bertepatan dengan Jeriko yang menampilkan ekspresi ingin muntah, pintu lift terbuka. Mereka berjalan beriringan keluar. Pukul delapan kurang lima belas menit, lantai 35 masih sedikit legang, cenderung hening. Aroma pembersih lantai bahkan masih menguar tajam, bersaing dengan pengharum ruangan. Seperti belum ada tanda aktivitas para pekerja. Ervan sengaja datang lebih awal karena perlu memeriksa beberapa hal sebelum pergi ke Bogor. Mengejar waktu daripada keteteran sendiri.

Pria dengan tas ransel di punggung itu sedang membetulkan letak jam tangan saat Jeriko berujar, "Gue serius soal emak lo yang nyariin lo belakangan ini. Lo jangan jadi anak durhaka yang doyan menghindar melulu, gue yang ngerasa bersalah terus-terusan bohongin itu emak-emak satu."

"Iya, iya."

"Jangan iya, iya aja, bego! Gue serius! Sama satu lagi, kurang-kurangin intensitas lo ngomelin orang. Mulut lo udah kelewat sampah belakangan ini. Entar kalo sumpah mereka jadi kenyataan nyaho lo!"

"Nggak bakal," sahut Ervan enteng, "gue mah umat yang taat ke gereja. Tuhan pasti maklumlah kenapa gue kadang suka overreact. Lagian, gue bukan tipikal orang yang marah-marah nggak jelas, apalagi jadiin semua orang pelampiasan. Siapa yang salah, ya, dia yang gue semprot."

"Nggak habis pikir gue sama kelakuan lo."

"Ini yang disebut profesionalitas dalam hidup. Bikin dosa sama tobatnya seimbang."

"Orang sinting!"

***

"Saya sudah lama sekali tidak bertemu dengan Ibu Abraham, Pak. Ke mana beliau?"

"Ibu saya maksud Anda?"

"Bukan, istri Anda maksud saya."

Gerakan menyuap Ervan menggantung di udara. Selera makannya lenyap, diikuti perubahaan suasana hatinya yang langsung memburuk. Dengan alasan kesopanan, pria itu menyimpulkan senyum tipis sebelum menjawab, "Istri saya sedang melanjutkan karir di Amerika."

"Wah ... sayang sekali harus menjalani hubungan jarak jauh. Tapi, Anda memang suami yang pengertian."

"Bukankah semua suami ingin yang terbaik untuk istrinya?" kelakarnya, tertawa palsu.

Lawan bicaranya mengangguk-angguk. "Lantas Anda sudah memiliki berapa anak, Pak Abraham?"

Anak?

Rasanya Ervan ingin berteriak kepada Pak Yudana agar berhenti mengulik informasi pribadi tentangnya. Lagi pula, bagaimana bisa dirinya memiliki anak jika orang yang dia nikahi saja memilih meninggalkannya?

Pertanyaan seputar 'keluarga' sebenarnya sangat sensitif untuknya. Namun, alih-alih menjawab jujur agar tidak ada pertanyaan lanjutan yang semakin menyakiti hati, baik dirinya ataupun orang tuanya selalu memberikan kalimat yang sama; istri Ervan sedang melanjutkan karir di Amerika.

"Belum," ucapnya dengan dada bergemuruh. Ervan bahkan sudah meletakkan alat makannya dan kini beralih mengamati embun di permukaan gelas minum. "Kami masih ingin berpacaran."

"Memangnya lima tahun kurang cukup, Pak?" tanya Pak Yudana bernada geli, tetapi di telinga Ervan justru terdengar seperti ejekan.

Sempat terjadi keheningan beberapa detik, sebelum pria bermanik hitam pekat tersebut menegakkan tubuh seraya melihat arloji.

"Maaf, Pak Yudana, bila terkesan tidak sopan, saya lupa jika ada janji temu setengah jam lagi. Saya harus pergi sekarang."

"Ah, baiklah. Tidak apa-apa, Pak Abraham. Saya yang justru berterima kasih telah menyempatkan waktu bertemu. Orang sibuk seperti Anda pasti memiliki banyak pekerjaan."

"Bukan masalah, Pak Yudana, saya justru tidak menyesal sekali sudah menyempatkan waktu membahas tawaran menarik Anda. Terima kasih atas jamuan makan siangnya. Sekertaris saya akan mengabari hasil keputusan secepatnya."

Mereka bersalaman singkat, kemudian Ervan melesat pergi. Emosinya langsung berubah tidak stabil dan dia takut salah berkata jika memaksa berhadapan dengan Pak Yudana lebih lama lagi. Pintu dibanting kencang setelah dia menempatkan diri di bangku penumpang belakang. Air muka Ervan sudah memerah padam. Urat-urat di lehernya ikut menegang.

"Jalan, Pak."

"Baik, Mas."

Makin lama, deru napas Ervan semakin cepat. Giginya bergemeletuk kencang. Mata hitam pria itu berkilat-kilat seperti ada kobaran api. Tubuh Pak Asep terlonjak pelan ketika tiba-tiba terdengar suara pukulan dari belakang. Netranya segera melirik ke arah kaca tengah dan menemukan majikannya sedang memukuli pintu mobil.

"Fuck with my family, I can live without them! Yudana is one of the many trash in the world. Arghhh ... fuck ... fuck."

Surai yang memang sudah tak serapi tadi pagi, bertambah tak beraturan ketika tangannya mengacak-acak frustasi. Sekejap kemudian, punggungnya terempas ke sandaran kursi. Dengan dada berkembang-kempis, kepalan tangannya beralih memukul-mukul kening pelan.

"Love can make everyone stupid. Lo pasti seneng banget kalo tahu gue segila ini, Na. Selamat ... lo berhasil porak-porandain tatanan hidup gue. Kontrol diri gue ancur gara-gara lo."

***

Langit sudah berubah gelap ketika Ervan menginjakkan kaki di lantai salah satu rumah sakit yang berada di Jakarta Selatan. Pria itu masuk seorang diri dengan tangan kanan membawa parsel buah. Ruang inap bernomor 45 berjarak kurang dari sepuluh meter, Ervan mempercepat jalan dan mengetuk pintu begitu sampai.

"Halo, Om," sapanya sembari masuk usai dipersilakan. "Gimana keadaannya?"

Pria berusia beberapa tahun di bawah ibunya tersebut tersenyum sambil berusaha duduk. Meski sudah berusaha agar terlihat baik-baik saja, kantung mata, kontur wajah yang lebih tirus, serta badan yang mengurus tidak dapat membohongi kondisinya. Ervan balas menarik kedua sudut bibir miris melihat itu.

"Hai, Ervan. Keadaan Om sudah lebih baik dari kemarin. Kamu datang sendiri?"

Ervan mengangguk kemudian duduk di kursi samping ranjang setelah menaruh bingkisan di meja kecil. "Om sendirian aja? Tante ke mana?"

"Pulang sebentar ambil pakaian ganti."

Percakapan terhenti sesaat. Mata Ervan sibuk menjelajah kamar inap biasa yang ditempati adik dari maminya tersebut. Mami Ervan adalah anak pertama dari tiga bersaudara, sementara Om Brata merupakan anak bungsu. Sejak dulu, sifat sederhana pamannya ini memang tidak diragukan lagi. Sangat berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Alih-alih memberontak supaya mendapatkan bagian warisan pasca sang kakek meninggal, pria paruh baya ini memilih keluar dari rantai 'Abraham' dan menggantungkan nasib pada kedua kakinya. Bersama istri dan dua anaknya yang masih bersekolah, Om Brata hidup tenang tanpa gangguan, kewajiban, serta tekanan yang mencekik.

"Ervan sehat? Keluarga sehat?"

Mata Ervan kembali jatuh pada sepasang mata sayu yang juga sedang memandangnya dalam-dalam. Dia kemudian mengangguk.

"Syukurlah."

Hening sesaat.

"Omong-omong, siapa aja yang udah jengukin Om?"

Daripada menjawab, Om Brata justru kembali tersenyum hingga menampilkan deretan gigi, lalu menepuk-nepuk pundaknya. Ervan dibuat kebingungan. Sebelum dia sempat bertanya, Om Brata sudah lebih dulu membuka suara.

"Kamu tau dari siapa Om masuk rumah sakit?"

Ervan terdiam sesaat. Setengah menimbang-nimbang, setengahnya lagi meneliti ekspresi tak terbaca Om Brata. "Aku udah denger semua kondisi Om dari Jeriko."

Om Brata mangut-mangut. Perlahan dia paham sendiri tanpa perlu meminta penjelasan. "Biasa. Masalah internal. Mungkin terlalu dipikir serius jadi bikin badan tumbang, Ervan."

"Kenapa bisa gitu?"

Akhirnya, luntur juga ekspresi tegarnya. Ervan dapat melihat jelas bagaimana pamannya itu menghela napas panjang dan mengurut pangkal hidung. Butuh waktu sepersekian detik sampai suaranya bisa didengar.

"Akar masalahnya ada di bagian C Level, terus menyebar ke bawah. CFO kerja sama dengan CMO buat memanipulasi laporan. Om nggak tahu dari kapan dan main percaya aja sama laporan yang mereka presentasikan tiap akhir bulan karena emang semeyakinkan itu. Ternyata grafik penjualan yang disusun sama tim marketing itu sebenernya bersifat statis, bahkan cenderung mengalami penurunan setiap harinya. Banyak konsumen Laa Foodie yang komplain, tapi CMO-nya selalu bilang berkebalikan dari laporan yang disusun para staff. Tim finance sendiri—yang dipelopori oleh CFO—nyusun laporan keuangan yang nggak sesuai sama pemasukan. Terhitung, omzet tahun ini merosot jauh dari tahun lalu. Laa Foodie mendekati kolaps sekarang. PHK masal udah dilakukan, tapi masih aja ada pihak yang merasa dirugikan dan menuntut haknya. Di satu sisi, Om punya tanggungan lain—yang bisa dibilang—mendesak. Salah satunya yayasan yang ada di Surabaya. Udah dua bulan ini Om belum bisa salurkan dana ke sana."

Ervan tercenung mendengarnya. Lelaki itu menggaruk alisnya tak habis pikir, kemudian menyahut, "Emangnya dari mana Om dapet SDM sejenis mereka?"

"Orang yang menempati posisi sebagai CFO dan CMO sebenernya masih sepupu jauh dari pihak tantemu. Mereka emang punya pengalaman di bidangnya, terutama si CMO. Terbukti nggak butuh waktu lama brand awareness Laa Foodie meningkat sejak dia join bisnis Om. Brand Laa Foodie mulai jadi sorotan dan banyak reviewer merekomendasikan aneka frozen food yang kami produksi di berbagai sosial media tanpa diminta. Selain itu, dia juga punya segudang strategi marketing sekaligus pinter ngambil market besar. Terhitung dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, Laa Foodie udah punya lebih dari sepuluh ribu konsumen. Di tahun keempat, Laa Foodie udah punya puluhan outlet dan bisa tembus resto-resto masif. Bayangin, produk kemarin sore bisa bersaing sama produk yang udah ada dari tahun 80 sampai 70-an dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Tapi, secepat namanya naik, secepat itu pula Laa Foodie merosot."

"Hal paling malesin itu emang bangun bisnis bareng keluarga atau orang yang kita kenal dekat. Selain rasa enggak enakan kita yang dipertaruhkan, semua hal bisa jadi runyam kalo ada kesalahan sekecil apa pun. Makanya, sebisa mungkin bangun bisnis itu nggak bareng mereka." Ervan mengusap lengan Om Brata penuh kelembutan. Tatapan iba dia berikan ketika mendapati mata adik bungsu ibunya mulai berkaca-kaca. Tarikan napas berat lelaki paruh baya itu turut memberikan beban di punggungnya sampai dia terbelenggu perasaan campur aduk. "Tapi nggak apa-apa, Om. Sekarang fokus ke kesehatan Om dulu aja. Untuk cari sebuah solusi, butuh raga yang kuat."

"Tapi Om nggak akan bisa tenang, Ervan, sebelum dapet titik terang. Masih ada nasib anak-anak Om yang perlu diprioritaskan. Mereka bahkan belum lulus."

Ervan mengangguk-angguk maklum. Meski gagal dalam membina rumah tangga, dia mengerti betul arti pentingnya sebuah keluarga dan seberapa besar tanggung jawab yang harus diemban seorang kepala rumah tangga. Kalau dia berada di posisi Om Brata, dia tak yakin mampu bersikap setenang ini. Tiba-tiba, sebuah ingatan dengan lancang merasuki otak. Sekujur tubuh Ervan mendadak beku.

"Dari kecil aku pengen banget jadi guru, bahkan tanpa dibayar pun nggak masalah asal anak-anak yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan layak. Tapi, mama sama papa ngelarang dan malah nyuruh aku kuliah ambil jurusan manajemen bisnis. Katanya, di masa mendatang rasa kemanusiaan aja nggak cukup untuk memertahankan hidup. Mungkin juga kalau aku maksa jadi guru, cuma bisa memperburuk keadaan anak-anak yang kurang beruntung karena nggak bisa bantu lebih dari ilmu."

"Kalo yang kamu prioritaskan penghasilan, jadi guru bukan sebuah pilihan. Mikirnya gini, rasa kemanusiaan emang nggak cukup untuk memertahakan hidup, tapi bukan berarti harus takut nggak dapet rezeki."

"Hmmm ... kamu bener. Terus, seandainya aku mau ngajar, kamu bakalan kasih izin nggak?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Nanti kamu asyik sendiri sampai nggak mikirin aku lagi."

"Halah! Buaya darat!"

Tanpa sadar Ervan menunduk dan tersenyum sendiri. Rasanya seperti baru kemarin momen itu terjadi, sekarang semuanya tinggal kenangan. Tersisa Ervan bersama perasaan rindu yang membelenggu. Menyesakkan, tapi tiada obat yang mampu meredakannya.

"Ervan? Udah malem, kamu enggak mau pulang? Nggak capek emangnya?"

Pria dalam balutan kemeja kusut yang lengannya digulung sampai siku tersebut berjingkat pelan. Jiwanya seolah kembali memasuki raganya secepat kilat. Ervan sempat berkedip lambat, sebelum berdeham untuk membersihkan ganjalan di tenggorokan.

"Soal Laa Foodie, boleh aku bergabung dan bantu perbaiki sistemnya? Termasuk soal pendanaan yayasan, aku bisa merangkap sebagai donatur tetap di sana."

Kelopak mata Om Brata kontan melebar mendengarnya. Ervan juga menyadari keputusan yang diambilnya secara mendadak ini akan menuai berbagai risiko. Banyak pihak pasti menentangnya. Namun, kesempatan ini tidak bisa disia-siakan begitu saja. Dia yakin hasilnya akan sebanding dengan rintangan yang akan dihadapinya. Om Brata hanya kurang teliti dalam menyaring SDM, selebihnya beliau punya sepak terjang yang bagus dalam membangun bisnis. Probabilitas keberhasilannya tinggi bila dia mampu membantu mengontrol dan mengaturnya sebaik mungkin. Ini juga akan dijadikannya sebagai ajang pembuktian.

"Ervan, what do you mean? Kamu yakin sama keputusanmu? Apa mungkin kamu sanggup mengontrol semuanya dengan baik?"

Anggukan mantap dia berikan. "Aku anggap ini sebagai win-win solution. Aku jamin keluarga dan bisnis Om Brata aman kalau Om bersedia bantu aku."

***

To be continued

Lebih baik atau lebih buruk? Atau malah udah lupa sama ceritanya? Haha

Maaf lama banget ngilangnya. Buat kali ini aku bakalan berusaha buat nyelesaiin

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya^^

Btw, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.

Published date: November 21, 2021.
Republish: March 23, 2023.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 156K 29
Copyright © 2015 by littlesunshine_ Hak Cipta Terlindungi © 2015 oleh littlesunshine_ : Naraka Fajar, laki-laki yang mendapat urutan pertama versi m...
2.5M 252K 63
Pernah merasakan rasanya mencintai teman masa kecilmu, namun kalian hanya berakhir dalam sebuah status pertemanan, bahkan persaudaraan? Pernah merasa...
1.5M 110K 41
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy ya...
4.2M 219K 36
[COMPLETE] Sinopsis : Bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta kemudian menikah. Klise, tapi manis. Semua mengatakan bahwa pernikahan adalah akhir da...