Virtualzone [COMPLETED]

By renaislaminrazizah

29.3K 3.2K 4K

[Hak Cipta dilindungi Allah] . Untuk yang selalu menunggu kabar melalui notifikasi Untuk yang sedang bertema... More

Trailer dan Visual
Virtualzone - Chapter 1
Virtualzone - Chapter 2
Virtualzone - Chapter 3
Virtualzone - Chapter 4
Virtualzone - Chapter 5
Virtualzone - Chapter 6
Virtualzone - Chapter 7
Virtualzone - Chapter 8
Virtualzone - Chapter 9
Virtualzone - Chapter 10 + Tailer Baru
Virtualzone - Chapter 11
Virtualzone - Chapter 12
Virtualzone - Chapter 13
Virtualzone - Chapter 14
Virtualzone - Chaper 15
Virtualzone - Chapter 16
Virtualzone - Chapter 17
Virtualzone - Chapter 18
Virtualzone - Chapter 19
Virtualzone - Chapter 20
Virtualzone - Chapter 21
Virtualzone - Chapter 22
Virtualzone - Chapter 23
Virtualzone - Chapter 24
Virtualzone - Chapter 25
Virtualzone - Chapter 26
Virtualzone - Chapter 27
Virtualzone - Chapter 28
Virtualzone - Chapter 29
Virtualzone - Chapter 30
Virtualzone - Chapter 31
Virtualzone - Chapter 32
Virtualzone - Chapter 34
Virtualzone - Chapter 35
Virtualzone - Chapter 36
Virtualzone - Chapter 37
Virtualzone - Chapter 38
Virtualzone- Chapter 39
Virtualzone - Chapter 40
Virtualzone - Chapter 41
Virtualzone - Chapter 42
Virtualzone - Chapter 43
Virtualzone - Chapter 44
Virtualzone - Chapter 45
EXTRA CHAPTER
BONUS CHAPTER
AU VIRTUALZONE

Virtualzone - Chapter 33

320 45 18
By renaislaminrazizah

Peringatan buat chapter ini, hati-hati riba hahaha. Feedbacknya jangan lupa, ya, orang baik :)

Enjoy 💜

Dua perempuan sebaya ini sedang duduk di kantin sambil menikmati makanan yang mereka pesan diselingi obrolan tentang teman-teman sekelas Rayya yang menduduki peringkat satu sampai lima tidak masuk sekolah karena sakit. Sepertinya ini rencana semesta untuk membuat kelas Rayya mendapat omelan dari guru Fisika yang mengisi pelajaran hari ini. Jarang sekali beliau meminta salah satu murid untuk menjawab pertanyaan di depan kelas. Jelas saja tidak ada yang maju ke depan karena mereka tidak terlalu memahami materi yang dijelaskan, termasuk Rayya.

Gita hanya menertawakan sahabatnya yang bercerita dengan raut kesal. "Lagian mereka kompak banget enggak sekolah, mana alasannya sakit semua lagi," heran Gita, "padahal, kan, ada temen-temen lo yang rangking enam sampai sepuluh. Kenapa mereka enggak ke depan buat jawab soal coba?"

Rayya mengangkat bahunya tak acuh. Dia masih menikmati es jeruk pesanannya. Sebenarnya itu juga yang membuat dia kesal, ke mana teman-temannya yang berada di peringkat enam sampai sepuluh besar. Atau mungkin mereka takut salah saat mengerjakan dan berujung mendapatkan serangan mental dari guru tersebut. Saat mengajar beliau memang dikenal killer oleh seluruh warga sekolah. Omelannya bisa memakan waktu hampir satu jam pelajaran. Berbeda jika sudah diluar jam pelajaran, kepribadiannya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Beliau sangat cair jika berbaur dengan setiap siswa. Namun tetap saja, beberapa siswa segan kepadanya.

"Raga sakit gara-gara apa emangnya?" tanya perempuan di hadapannya.

"Kemaren pulang sekolah kita hujan-hujanan. Eh, taunya dia dari pagi udah enggak enak badan, jadi malemnya demam," terang Rayya.

"Terus kenapa lo ajak hujan-hujanan kalo tau dia enggak enak badan?"

"Justru gue enggak tau karena anaknya enggak bilang. Gue taunya karena semalem Bintang nelpon, terus bundanya bilang gitu."

Gita mengangguk. "Lo tau enggak? Kemaren Raga sempet nanya lo kenapa, tapi lo baru cerita semalem dan ternyata di-ghosting," ucap Gita setengah berbisik.

"Lo tau enggak?" Rayya mengikuti nada bicara Gita sebelumnya. "Semalem dia ada nge-­­chat gue pas kita selesai ngobrol." Rayya ikut berbisik seperti apa yang Gita lakukan.

Mata sahabatnya membelalak seperti ingin loncat keluar. "Dia ngomong apa?"

Hanya satu kata yang keluar dari mulut Rayya. "Kepo!"

Jawaban itu jelas membuat Gita memasang raut datar dan tidak peduli. "Awas aja kalo lo nanti disakitin lagi sama dia, gue enggak bakal buka praktik curhat privat lagi buat lo."

"Lo kok kayak gitu sama gue?"

"Terserah kali ini sungguh aku takkan peduli." Gita menghiraukan rengekan Rayya dengan menyenandungkan lagu Terserah milik Glenn Fredly sambil beranjak pergi dari kantin.

"GITAAA," teriak Rayya sambil mengikuti sahabatnya.

***

Sore ini Rayya dan Gita sudah berada di rumah Raga, lebih tepatnya di kamar laki-laki itu. Kamarnya memiliki nuansa monokrom. Terdapat sebuah ranjang berukuran king size di dalamnya. Tidak terlalu banyak perabotan yang menempel di dinding, hanya beberapa foto dan satu buah lukisan. Terlihat minimalis, tetapi tetap elegan. Raga menyandarkan punggungnya di hearboard kasur, dia terlihat lebih segar daripada tadi malam.

Di sudut lain-tepatnya di samping pintu kamar-terdapat rak buku yang tentu saja dipenuhi oleh buku-buku mengenai olimpiade dan beberapa buku non-fiksi; ada Gita yang sedang duduk di sana sambil membaca beberapa buku.

"Ga, lo cepet sembuh ya. biar kelas kia enggak kena semprot guru Fisika lagi," adu Rayya.

"Kena semprot gimana?"

Rayya menjelaskan apa yang terjadi hari ini di sekolahnya. Rasa kesal yang ada pada dirinya masih menguasai, hanya berkurang sedikit. Respons yang keluar dari Raga hanya tawa kecil. "Bukannya udah pernah kita bahas?"

"Namanya manusia, ya. Jadi gue lupa." Rayya memperlihatkan barisan gigi putinya yang rapi.

"Gue juga manusia, tapi masih inget," sanggah Raga.

"Kapasitas otak lo sama gue, kan, beda."

"Alasan doang," kekehnya, "yaudah, nanti kita belajar lagi," sambungnya sambil tersenyum dengan tangan kanan yang mengusap puncak kepala Rayya.

"Waaah apa-apaan ini. Kalian kayaknya ngelupain keberadaan gue," protes Gita melihat ke-uwu-an di depannya. Dia menghampiri kedua sahabatnya. "Lo enggak ambyar digituin Raga?" tanyanya pada Rayya.

Raga hanya tertawa kecil, sedangkan Rayya mendelik sinis sambil berkata, "Biasa aja."

"Halah, biasa aja. Padahal hati lo udah berceceran," goda Gita, "tapi syukur deh, daripada galauin orang enggak jelas."

Raga mengalihkan pandangannya pada Gita. "Siapa?"

"Ada. Nanti deh gue kasih tau, karena dia baru cerita semalem." Gita menurunkan volume suaranya seakan-akan berbisik, tetapi masih terdengar jelas oleh Rayya. Lagi-lagi Rayya memberikan tatapan tidak bersahabat pada Gita seolah-olah melarang dia menceritakan apa yang semalam menjadi topik obrolan mereka, tetapi Gita tidak mengacuhkan pandangan sahabatnya. Dia semakin gencar menggoda Rayya.

***

Malam ini Rayya duduk di kursi meja belajarnya dengan buku catatan Maematika Minat yang terbuka. Dia akan mengerjakan tugas mata pelajaran tersebut, tetapi kenyataannya dia hanya memandangi soal itu. Lima belas menit waktu yang dihabiskan Rayya hanya untuk memandangi satu soal dari wali kelasnya. Dirinya sudah berkali-kali mencoba memahami contoh soal yang diberikan Pak Ergan minggu kemaren, tetapi tetap gagal. Bakatnya memang bukan di Matematika.

Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya tertuju pada ponsel yang tergeletak di samping buku catatannya. dia ingin menghubungin Raga, tetapi laki-laki itu masih sakit dan Rayya enggan mengganggu waktu istirahatnya. Sebenarnya besok weekend, tetapi Rayya ingin menghabiskan waktu esok hari untuk menonton drama Korea dan fangirling.

Ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Nama Bara tertera di layar. Tanpa menunggu lama, Rayya langsung membalas pesan itu.

Barbara

Malem, Ay. Lagi ngapain? Gue ganggu enggak?

Hai, enggak kok, gue lagi melototin tugas Matematika Minat. Padahal enggak minat

Kerjain, jangan cuman dipelototin. Enggak bakal selesai

Enggak ngerti. Gue lupa cara ngerjainnya

Mau gue bantuin?

Mau banget

Ini gue pake tiket yang tiga permintaan aja

Jadi permintaan gue tinggal satu lagi, soalnya gue bingung mau minta apa

Oke, gue video call biar enak jelasinnya

Sebelum membalas pesan Bara, dia menyeriangai. Di pikirannya terlintas untuk menggoda Bara. Kapan lagi kesempatan ini datang, maka manfaatkanlah selagi ada waktu.

JANGAN!

Jangan video call!

Takut riba

Lah, hubungannya video call sama riba apaan?

Soalnya ...

Gue selalu berbunga-bunga kalo lihat lo

Setelah pesan itu terbaca oleh Bara, langsung masuk panggilan video dari laki-laki itu. Rayya tidak terkejut melihat hal itu. Tanpa ragu, dia menggeser bulatan hijau di layarnya. Saat panggilan tersambung, terlihat Bara mengenakan jaket denim berwarna biru.

"Mau tanggal berapa? Outdoor atau indoor? Di Bandung apa di Jakarta? Pake adat Sunda apa Betawi?" Bara menghujani Rayya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat gadis itu tergelak puas. Rayya tidak menyangka respons Bara akan seperti itu. Justru dia sempat berpikir bahwa Bara akan menggodanya.

"Sori, gue udah punya Jaehyun," balas Rayya.

"Enggak masalah kalo gue jadi yang kedua alias selingkuhan lo, biar nanti gue izin sama Jaehyun buat selingkuh sama pacarnya. Atau jadi fanboy lo aja. Gue jadi cucu Oma in public, fanboy lo in private."

Rayya tertawa. "Bahas itu nanti aja. sekarang bantuin ngerjain tugas dulu."

"Bentar, gue masih riba, nih, gara-gara lo."

"Oke, deh, gue tungguin," kekeh Rayya.

Setelah jantungnya berhenti bertalu-talu, Bara meminta Rayya menunjukkan soal yang menjadi tugas perempuan itu. Rayya membalik kamera ponselnya dan menunjukkan soal dibuku catatannya pada Bara.

"Materi limit fungsi triginometri, ya?"

"Iya."

"Oke, kita substitusi dulu, x-nya ganti jadi phi per dua, karena di soal x kurang dari phi per dua. Kalo disubstitusi, limitnya enggak usah ditulis lagi. Sekarang jumlahin aja phi per empat ditambah cos phi per dua. Biar lo enggak bingung, phi per empat itu sin 45 derajat. Berapa tuh sin 45 derajat?"

"Setengah akar 2 apa setengah doang?" Rayya ragu.

"Setengah akar 2. Terus phi per dua tuh cos 90 derajat. Kalo cos 90 derajat?"

"Nol." Kali ini Rayya menjawab dengan yakin.

"Ini lo hapal sudut istimewa, terus kenapa susah ngerjainnya?"

"Gue tadi mencoba ngitung sendiri, tapi berakhir diliatin doang karena otak gue juga udah limit."

Bara terkekeh mendengar sahutan Rayya. "Yaudah, kita lanjut. Karena udah ketauan kalo sin 45 derajat itu setengah akar dua dan cos 90 itu nol, tinggal jumlahin aja. Hasilnya setengah akar dua karena ditambahnya sama nol."

"Makasih banyak, lho. Jadi lo yang ngerjain."

"Sama-sama. Soalnya itu doang? Enggak ada yang lain?"

"Baik banget gurunya. Eh, udah gue kirim ke lo ya cara ngitungnya."

"Lebih tetapnya lagi baik aja gurunya," sahut Rayya sambil membuka laptop untuk mengakses aplikasi yang sering digunakan untuk mengirim pesan.

"Lo kenapa enggak suka sama Matematika, sih?"

"Jangan ganggu dulu. Gue kalo lagi nulis enggak bisa diajak ngobrol," protes Rayya.

"Oke, gue tunggu." Bara mengalihkan perhatiannya dengan memainkan rubik berwarna dengan sisi 5 x 5, karena tidak mungkin dirinya berselancar di media sosial jika ponselnya masih digunakan untuk video call dengan Rayya. Tiga menit berlalu, Rayya akhirnya selesai menyalin apa yang ditulis Bara. Dia menutup buku catatannya dan menatap layar ponselnya melihat laki-laki yang membantunya mengerjakan tugas malam ini.

"Udah?"

Hanya anggukan yang Rayya berikan sebagai jawaban.

"Jadi?" Bara kembali bertanya mengenai salah satu mata pelajaran yang banyak dijadikan musuh oleh anak-anak sekolah, walaupun tidak sedikit juga yang menjadikan Matematika sebagai teman.

"Gue tuh waktu SD masih suka sama Matematika. Nilai gue bisa dibilang bagus, ya ... kisaran 87, walaupun enggak nyampe 90. Semenjak SMP dan belajar Aljabar, ketemu x sama y, gue jadi agak loading sama pelajaran itu," terang Rayya.

"Apa yang bikin lo enggak suka? Pasti ada dong alasannya?" Bara selalu penasaran dengan mereka yang tidak menyukai mata pelajaran tertentu.

"Waktu kelas tujuh, first impression gue sama Matematika tuh enggak baik. Entah guenya yang kurang dalam memahami penjelasan guru atau emang beliau kurang friendly. Pertama kali masuk, abis gurunya ngejelasin langsung dikasih sepuluh soal, dan gue cuman bisa gerjain dua. Beda sama kelas delapan, gue ketemu guru yang baik banget. Tiap selesai ngejelasin, ya biasa dikasih soal gitu. Kadang, kan, ada orang yang belum ngerti, tapi dia enggak mau nanya karena malu. Nah beliau ini, setiap selesai ngasih soal, lima menit kemudian keliling ke setiap bangku. Nanyain ada yang belum ngerti enggak, ada yang mau ditanyain enggak. Dari situ gue mulai suka lagi sama Matematika. Ternyata banyak kakak kelas juga yang bilang kalau beliau emang sebaik itu sama murid-muridnya. Sayangnya, pas kelas sembilan gue enggak ketemu lagi. Beliau cuti melahirkan dan ikut suaminya pindah." Rayya menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Jadi menurut gue selain individu itu sendiri, cara mendidik juga berpengaruh."

Bara mengangguk sepakat. Bagaimanapun juga dia pernah merasakan apa yang Rayya ceritakan. Dia bukan orang yang terlahir pintar. Saat SMP, Bara salah satu siswa yang namanya harum di telinga guru BK. Namun, semuanya berubah karena cerita Oma tentang sosok-sosok hebat di zaman Rasulullah. Hatinya tergugah untuk seperti mereka. Dia sempat berharap ada perang di di zamannya agar bisa seperti Khalid bin Walid yang selalu siap mengikuti perang. Keinginannya itu tertunda sampai sekarang.

Ada salah satu cerita Oma yang membuat Bara menyukai Matematika. "Ay, ada ilmuan yang terkenal dengan sebutan Bapak Aljabar, bahkan Bapak Algoritma, lho."

Rayya be like waktu ketemu Matematika Minat

Ini catatan yang Bara kasih ke Rayya

Btw, gimana nih, ribanya nyampe gak? Bantuin mereka nentuin tanggal deh coba 

See you at the next chapter, papay

13 November 2021

Continue Reading

You'll Also Like

4.8K 592 53
WARNING⚠️⚠️ Cerita ini mengandung berbagai emosi. Raiya, seorang perempuan yang sangat menyukai langit. Dia yang sangat pintar untuk menyembunyikan...
583K 27.7K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
1.3K 481 35
"Kau adalah alasan aku masih bertahan hidup sampai sekarang. Jadi kumohon jangan pernah pergi dari hidupku, jantung hatiku." Bagi Kebanyakan orang ke...
618K 24.4K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...