Virtualzone [COMPLETED]

Galing kay renaislaminrazizah

29.2K 3.2K 4K

[Hak Cipta dilindungi Allah] . Untuk yang selalu menunggu kabar melalui notifikasi Untuk yang sedang bertema... Higit pa

Trailer dan Visual
Virtualzone - Chapter 1
Virtualzone - Chapter 2
Virtualzone - Chapter 3
Virtualzone - Chapter 4
Virtualzone - Chapter 5
Virtualzone - Chapter 6
Virtualzone - Chapter 7
Virtualzone - Chapter 8
Virtualzone - Chapter 9
Virtualzone - Chapter 10 + Tailer Baru
Virtualzone - Chapter 11
Virtualzone - Chapter 12
Virtualzone - Chapter 13
Virtualzone - Chaper 15
Virtualzone - Chapter 16
Virtualzone - Chapter 17
Virtualzone - Chapter 18
Virtualzone - Chapter 19
Virtualzone - Chapter 20
Virtualzone - Chapter 21
Virtualzone - Chapter 22
Virtualzone - Chapter 23
Virtualzone - Chapter 24
Virtualzone - Chapter 25
Virtualzone - Chapter 26
Virtualzone - Chapter 27
Virtualzone - Chapter 28
Virtualzone - Chapter 29
Virtualzone - Chapter 30
Virtualzone - Chapter 31
Virtualzone - Chapter 32
Virtualzone - Chapter 33
Virtualzone - Chapter 34
Virtualzone - Chapter 35
Virtualzone - Chapter 36
Virtualzone - Chapter 37
Virtualzone - Chapter 38
Virtualzone- Chapter 39
Virtualzone - Chapter 40
Virtualzone - Chapter 41
Virtualzone - Chapter 42
Virtualzone - Chapter 43
Virtualzone - Chapter 44
Virtualzone - Chapter 45
EXTRA CHAPTER
BONUS CHAPTER
AU VIRTUALZONE

Virtualzone - Chapter 14

482 66 88
Galing kay renaislaminrazizah

Masih ada yang nunggu cerita ini?

Jangan lupa feedback-nya, klik bintang, komen, dan share juga. Maaf kalo masih ada typo, dan kesalahan tanda baca. Langsung dikomen aja yaa.

Kalo ada krisar boleh banget langsung disampein. Tentunya dengan bahasa yang baik hehe.

Enjoy 💜

Setiap sudut sekolah mulai lenggang, hanya ada beberapa orang saja karena jam menunjukkan pukul 04:22. Raga dan Keyla baru saja keluar dari perpustakaan beberapa menit yang lalu, kini mereka berjalan menuju gerbang. Rayya pulang duluan dengan Dika ditemani Gita. Katanya ada urusan yang harus mereka selesaikan. Awalnya Raga sedikit ragu membiarkan Rayya pergi dengan Dika, tetapi setelah mendengar Gita ikut bersama mereka akhirnya Raga memperbolehkannya.

"Kak Raga sama Kak Rayya udah kenal lama?" tanya Keyla.

"Sejak SMP."

"Kenalnya gimana, Kak?" keponya.

"Enggak sengaja sih," jawab Raga tanpa niat menceritakan.

"Cer-. Halo?" ucapan Keyla terpotong karena satu panggilan masuk. "Iya, enggak apa-apa kok," katanya setelah mendengar ucapan seseorang di seberang sana.

"Kenapa?" tanya Raga.

"Bokap enggak bisa jemput."

"Mau gue anter?" tawar Raga.

"Enggak usah kak, gue pesen ojol aja."

"Yaudah, kalo gitu lo hati-hati."

Raga melenggang menuju parkiran untuk mengambil motornya. Cewek itu bukan Rayya, jadi Raga tidak perlu mengemis untuk mengantarkan pulang ketika tawarannya sudah ditolak.

"Iiiih Kak Raga. Tau gitu gue iyain aja tadi." Keyla menghentakkan kakinya kesal melihat respon yang diberikan Raga. "Salah emang naruh hati sama es batu," gerutunya sambil berkutat dengan ponsel untuk memesan ojek online.

"Key, gue duluan." Sapaan Raga mendapat anggukan kecil dari Keyla.

Kuda besi milik Raga meninggalkan area sekolah membelah jalanan ibu kota sore ini. Langit masih tampak cerah, sepertinya hujan tidak akan bertandang hari ini. Tanpa berpikir panjang Raga mempercepat laju kuda besinya menuju rumah Rayya karena pesan yang dikirimnya lima belas menit yang lalu tidak kunjung mendapat balasan. Ditelepon pun tidak diangkat. Dua puluh menit kemudian kuda besinya berhenti tepat di depan rumah Rayya. Entah habis dari mana karena Rayya baru saja menutup gerbang dan menenteng kantung kresek di tangannya karena baru pulang dari Indojuli di depan kompleks. Namun Rayya kembali membuka gerbang ketika matanya menangkap sosok Raga masih dengan seragam sekolahnya.

"Lo baru pulang?"

Raga mengangguk dan merogoh sesuatu di dalam tasnya.

"Lagi?" tanya Rayya melihat Raga menyodorkan cokelat, "tumben dia ngasih langsung," lanjutnya.

Cokelat yang selalu ada di meja Rayya itu sebenarnya untuk Raga dari Keyla. Dia menyimpan di meja Rayya supaya Rayya yang memberikannya kepada Raga. Namun hari ini Keyla memberikan cokelat itu langsung pada Raga di perpustakaan setelah sesi belajar selesai.

"Lain kali kasih ke Bintang aja. Gue takut mabok cokelat lama-lama, Ga."

"Lo lupa? Bintang alergi sama cokelat."

"Kok ada sih orang alergi sama cokelat? Padahal enak," herannya.

Raga menggidikkan bahunya. "Lo pulang jam berapa?"

"Setengah jam yang lalu."

"Dianterin, kan?"

"Dianterin kok."

"Lo udah cek e-mail? Kayaknya Pak Axel udah kirim nilai deh. Soalnya tadi di grup gue lihat sempet rame."

"Beneran? Gue belum cek hp dari pulang sekolah," katanya dengan gestur tubuh yang mulai tidak tenang, "lo pulangnya hati-hati. Gue masuk duluan." Rayya segera masuk membawa cokelat di genggamannya meninggalkan Raga yang menggeleng kecil sambil terkekeh melihat tingkah sahabatnya.

***

Rayya kebingungan karena tidak menemukan ponselnya di atas meja belajar, di kasur, dan di semua sudut kamarnya. Rayya buru-buru turun ke bawah menghampiri Bundanya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Matanya menyoroti beberapa tempat yang sering dia gunakan untuk menyimpan ponselnya. Raut wajahnya berubah muram karena benda pipih itu tidak kunjung terlihat setelah satu menit dia mencarinnya. Akhirnya Rayya menyandarkan punggungnya di sofa dan menghela napas, pasrah. Dia tidak tahu lagi harus mencari ponselnya di mana.

"Kenapa lemes banget sih?" tanya Bunda.

"Minjem handphone Bunda dong. Punyaku enggak ada, lupa naruh."

"Nih." Bunda memberikan ponsel Rayya. "Lain kali jangan ceroboh. Tadi nyelip di sofa."

Rayya hanya memperlihatnya barisan gigi putihnya mendengar ucapan Bunda. Lalu dia segera membuka aplikasi e-mail, dan benar saja nama Axel Aarav berada di paling atas. Rayya menyentuh layar ponselnya. Tangan kirinya menutup kedua matanya, dan dia mengintip di ruas-ruas jarinya.

"Kamu ngapain sih, nonton yang enggak-enggak ya?" tuduh Bundanya.

"Suudzon banget ih Bunda," jawabnya masih dengan posisi sebelumnya.

Bunda mencondongkan badannya melihat layar ponsel Rayya. "Cieee dapet 70. Gini terus ya, jangan lupa pertahankan dan tingkatkan." Bunda mengusap puncak rambut Rayya seraya tersenyum. Refleks Rayya menurunkan tangannya dan langsung mengangkat ponselnya. Benar saja di samping nama lengkapnya terdapat angka 70. Matanya membelalak, kemudian berteriak senang. Tidak lupa memeluk Bunda yang ada di sampingnya. Rayya kembali menatap layar ponselnya untuk memastikan nilai tersebut. Saat jarinya tidak sengaja menggulir layar ponsel, dia menemukan beberapa kalimat dari gurunya tersebut.

Jangan lupa bawa hadiah kamu di ruang guru istirahat besok.

Rayya tidak terlalu menghiraukan catatan tersebut, sekarang jari-jarinya sedang menari di atas keyboard ponselnya untuk meminta apa yang telah dijanjikan Bara dan Raga padanya beberapa hari yang lalu.

(O)Raga(nteng)

Gue mau nagih janji lo. Kita nonton hari Minggu

Kemudian dia beralih ke roomchat-nya dengan Bara.

Barbara

Yey gue enggak remed

Ya walaupun pas banget sama KKM

Setelah mengirim pesan kepada dua orang tersebut Rayya menyimpan ponselnya di atas meja. Ada kesenangan sekaligus kepuasan tersendiri ketika mendapat hasil dari apa yang telah diusahakannya untuk melawan rasa malas yang innalillahi. Walaupun masih kurang maksimal, tetapi itu adalah pencapaian yang baik untuk Rayya. Setidaknya waktu yang dia gunakan untuk belajar dan menunda tontonan drama Koreanya tidak sia-sia. Biasanya jika ulangan harian nilai paling tingginya itu adalah nomor punggung Chanyeol Exo, itupun bukan di mata pelajaran hitungan. Jika di mata pelajaran hitungan Rayya pernah mendapat nilai yang sama seperti nomor punggung Chen, atau paling besar itu nomor punggung Baekhyun ditambah angka nol dibelakangnya.

Namun, melihat senyum yang terukir di bibir Bundanya beberapa menit lalu membuat rasa semangat dalam dirinya tumbuh sedikit demi sedikit. Semoga semangat itu betah berlama-lama berteman dengan dirinya. Rayya tersadar dari lamunannya karena ponselnya berdering. Nama Bara muncul di layar.

"Mau ke mana?" tanya Bunda dari dapur ketika melihat Rayya lari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Mau nerima telepon," sahutnya sedikit berteriak.

"Halo?" sapa Rayya sambil menutup pintu.

"Halo, Ay," jawab Bara di seberang sana, "kok agak lama angkat teleponnya?"

"Iya, barusan lari ke kamar dulu."

"Lo mau minta apa dari gue?"

"Eh, tapi nilai gue cuman 70, enggak nyampe 75. Kata lo, kan, minimal 75."

"Yang penting enggak remed, kan?" tanya Bara memastikan, "jadi mau apa?" tanyanya sekali lagi.

Rayya tidak menjawab pertanyaan Bara. Dia sibuk memikirkan apa yang dia mau. "Emangnya kalo gue minta mobil, lo bakal kasih?" kekeh Rayya.

"Gue kasih. Mau rumah juga gue beliin, asal nikah dulu sama gue." Bara tertawa di akhir ucapannya. "Canda nikah."

"Eh?" Rayya tidak menyangka Bara akan menjawab seperti itu. Walaupun dia tahu itu hanya guyonan, tetapi ... ah sudahlah

"Apaan bahas-bahas nikah segala?" Terdengar suara seorang perempuan di ponsel Rayya. "Nikah bukan buat becanda," omelnya.

"Iya, enggak Oma, ampun. Itu barusan Bara bercanda doang."

Oh, itu suara Oma. Rayya membatin.

"Bara, kan, sekarang belum punya apa-apa. Masa nanti anak sama istri Bara kalo laper dikasih makan qulhu –Al Ikhlas-. Moal ge wareg, karunya atuh." (Enggak bakal kenyang, kasihan.)

Rayya terkekeh dengan ucapan Bara. Walaupun kalimat terakhir tidak terlalu mengerti karena Bara berbicara dengan bahasa Sunda.

"Halo? Lo masih di sana, kan, Ay?" tanyanya, "maaf barusan ada iklan."

"Hahaha, iya enggak apa-apa."

"Jadi lo mau apa?"

"Enggak tau, gue belum kepikiran buat bikin list permintaan apa aja."

"Gimana kalo gue aja yang bikin? Jadi nanti lo tinggal minta itu aja ke gue," sarannya.

"Boleh. Terserah lo aja. Lo yang bikin, jadi lo enggak bakal keberatan nanti ngelakuinnya."

"Oke, gue bikin dulu."

"Jangan aneh-aneh," peringat Rayya.

"Enggak kok. Gue yakin ini bakal seru dan menguntungkan kedua belah pihak," ujarnya, "cie gitu," lanjutnya sambil tertawa. "Wait a minute."

Rayya menunggu Bara sembari streaming music video NCT 127. Sambungan telepon mereka tidak terputus. Keheningan menyelimuti keduanya, yang terdengar hanya lagu yang dilantunkan oleh boyband kesukaan Rayya.

"Udah gue kirim ke chat tuh. Lo lihat dulu deh," ujarnya membuka percakapan setelah lima menit yang lalu keduanya saling diam.

Ternyata Bara mengirimkan QR kode. Alis Rayya bertaut, lalu dia scan QR kode tersebut yang kemudian dialihkan ke google drive. Dari QR kode itu ada beberapa foto tiket. Bukan tiket konser tentunya, tetapi tiket permintaan yang akan Rayya ajukan pada Bara nantinya.

"Ini yang terakhir serius?" tanya Rayya ragu, "kalo gue minta, bakal lo lakuin?" 

"Kalo enggak, ngapain gue bikin?" jawabnya yakin, "setelah ketemu nanti, kita bisa lakuin list yang ada di tiket lain."

"Lo juga bebas minta apa aja sama gue pake tiket yang tiga permintaan itu. Gue baik, kan?" sambungnya.

Rayya bungkam beberapa detik, tetapi bibirnya mengukir senyum. Sepertinya beberapa hari ke depan komunikasi mereka akan lebih menyenangkan.

Kalian kalo ke luar rumah jangan lupa pakai masker ya, kasus covid naik lagi. Di daerahku -Bandung- juga zona merah dan lockdown lagi. Selalu cuci tangan, dan tetap jaga jarak juga.  Semoga kita enggak terpapar covid, dan semoga si Mbak Coro ini cepet ghosting dari bumi.

Mari aminkan sama-sama. AMIN

Btw, ada yang bisa bedain mana Bara mana Raga enggak? Kayaknya bisa deh. Style rambutnya aku samain karena style rambut yang lain aku kurang sreg aja gitu.

Bara ngasih list itu kayak udah punya rencana deh. Kalo menurut kalian gimana? Apakah bakal berjalan mulus?

See you next chapter, papay 👋

19 Juni 2021

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

856K 12.2K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
3.1K 1.4K 43
[SUDAH TERBIT] Lagi dan lagi, hujan turun menerpa bumi. Menangis ketakutan tatkala mendengar amarah semesta, dan merengek meradang seperti anak kecil...
3.3K 1.1K 32
HARA, laki-laki bodoh yang berusaha menjadi matahari untuk menerangi jalan seorang perempuan yang hidup dalam kegelapan, Saza Azalia Fayyola. Karena...
701K 61.1K 46
(TERSEDIA DI GRAMEDIA) "Sudah enam belas tahun gue jadi manusia. Tapi entahlah, gue enggak pernah ngerti jalan pikiran manusia. Ya! Manusia itu rumit...