Nih aku up cepet! Mau keluar dari sarang wkwk🏃🏻♀️
VOTE dulu yaa biar berkah bacanya😋
Cari posisi wenak dulu! Udah siap?🤸🏻♀️
HAPPY READING!👐🏻
.
.
Matahari mulai berganti shift dengan sang rembulan. Namun pemuda itu baru sampai di kediaman. Entah bagaimana jalan pikirannya, sampai bisa keluar tanpa izin. Hal yang sangat jarang bahkan hampir tak pernah ia lakukan seumur hidupnya. Mungkin karena tekadnya kali ini telah sedikit mendapat dukungan dari sang Papa, maka ia jadi lebih berani.
Juna mengendap-endap begitu memasuki rumahnya. Ia takut akan ketahuan bahwa dirinya tidak di rumah sedari tadi. Syukurlah, Juna berhasil sampai ke kamarnya tanpa ada yang melihat. Ia menutup pintunya perlahan. Namun saat berbalik, betapa terkejutnya ia saat mendapati sang kembaran tengah duduk di pinggiran kasurnya, sambil menatap horror padanya. Bahkan tangan anak itu dilipat di dada.
"Aaaa! Woi! Ngagetin aja lo!" pekik Juna tak santai sembari mengelus dadanya.
"Untung gue gak punya sakit jantung!" sambungnya bersungut-sungut.
"Dari mana aja, lo?" tanya Ali dengan nada dingin. Sedingin hariku tanpanya.
Sontak Juna gelagapan untuk mencari alasan yang tepat pada si kembaran jeniusnya ini. Jelas ia tak akan bisa membohonginya seperti yang dilakukannya pada Via. Juna bergerak kikuk di tempat.
"Dari mana, gue tanya?" tekan Ali mendesis.
Juna menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal seraya melangkahkan kakinya mendekat pada Ali. Lalu duduk di sebelah sang kembaran.
"Gue abis dari---"
"Maksain banget si, lo!" sela Ali cepat memotong ucapan Juna.
Ali tak bodoh untuk mengetahui si anak bengal ini habis dari mana. Apalagi terlihat jelas dari keringat dan raut lelah si kembaran yang begitu kentara.
"Lo lagi sakit! Ngertiin lah, tubuh lo sendiri juga yang ngerasain!" omel anak yang lebih tua, masih dengan posisi yang sama.
Juna bergeming, ia kehabisan kata-kata untuk mengelak. Apalagi ketika melihat raut wajah Kakaknya yang serupa boneka chucky hendak menyembelih seperti ini, membuat nyalinya ciut.
"Apa susahnya sih, istirahat sehari aja? Gak usah latihan kayak gitu terus, gak guna!"
Deg! Apa dia bilang? Gak guna?!
"Yang ada, badan lo malah tambah sakit!" sambung Ali yang terhanyut akan omelannya.
Juna terkekeh miris. Namun sedetik kemudian rautnya berubah dingin, bahkan melebihi raut kembarannya tadi. Sontak Ali terbungkam, dirinya sadar telah salah bicara. Ia langsung melepas lipatan tangannya dengan kikuk dan menghadapkan tubuhnya pada sang kembaran.
"Sorry, Jun.. gue gak maksud—"
"Keluar!" desis Juna penuh penekanan. Pandangannya tajam mengarah lurus pada pintu yang tertutup.
"Jun, gue—"
"Keluar! Atau gue yang pergi?" tekan Juna. Tangannya sudah mengepal erat. Susah payah ia menahan diri untuk tak menguliti bocah sialan ini.
Ali mendengus pelan seraya memejam. "Oke, gue keluar. Tapi maafin gue dulu!"
Sebelah sudut bibir Juna berkedut. "Gue bisa maafin lo. Tapi kata-kata lo barusan--" Juna menjeda ucapannya untuk menatap manik kembar milik kembarannya.
"--gak bisa gue lupain." Senyum tipis miring nan dingin ia tampilkan.
Ali benar-benar merasa bersalah. Alih-alih menyemangati, ia malah menjatuhkan semangat adiknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol ucapan jika sedang khawatir. Lantas dengan berat hati, Ali beranjak keluar.
"Sorry," lirihnya sebelum benar-benar menutup pintu.
Kini tersisa Juna yang sedang mengendalikan emosinya. Kenapa keluarganya selalu seperti ini? Di saat dirinya sedang lelah, mereka selalu menorehkan luka. Jelas Juna jadi kepayahan.
Juna bangkit dan melesat menghajar samsak, seakan tengah menghajar kembarannya sendiri. Ia membayangkan samsak itu adalah Ali. Karena bagaimanapun, ia tak mungkin menghabisi anak itu sungguhan.
Juna memukul, menendang bahkan mengumpat pada benda tak berdosa itu. Pada pukulan yang terakhir, karena terlalu kencang, benda itu membalas dengan menubruk tubuh Juna sampai ia terpental kebelakang.
Juna terhempas dan menghantam lantai kamarnya sendiri. Ia terbatuk karena punggungnya terasa sakit akibat hantaman yang cukup keras. Setetes embun jatuh membasahi pelipisnya. Lalu setelahnya ia tertawa getir. Bahkan samsak yang menjelma menjadi Ali pun, tetap bisa mengalahkannya. Juna tertawa hambar, meratapi nasib sialnya seraya menghapus jejak air matanya.
"Sama samsak aja gue kalah. Hahaha."
Lalu setelahnya, ia termenung dalam posisi masih terlentang di lantai. Juna memandangi langit-langit kamarnya. Sangat malas untuk sekedar bangkit dan pindah ke kasur.
"Belajar sana!"
"Harus dapet nilai tujuh!"
"Posisi lo terancam diganti."
Juna langsung bangkit saat bisikan itu kembali mengusiknya. Ia mendesah lelah. Sungguh, rasanya ingin tidur dan mengistirahatkan tubuhnya. Tetapi sesuatu di dalam pikirannya terus mengganggu. Lantas ia memilih untuk belajar. Lagi-lagi Juna memaksakan tubuhnya.
🕊🕊🕊
"Hati-hati ya, Kak. Kabarin kalo udah sampe."
Hara mewanti-wanti putra sulungnya yang akan berangkat ke Malang untuk mengikuti seminar. Yang diwanti tersenyum hangat.
"Iya, Ma," sahut Liam.
"Mas, oleh-olehnya jangan lupa!" celetuk Juna yang sontak membuat anggota keluarganya tertawa.
"Oleh-oleh aja yang kamu pikirin, Kak." Tyo meledek anak ketiganya.
"Ogah! Lo mah gak bakal Mas bawain. Mas cuma bakal bawain oleh-oleh buat Via aja!" seru Liam tak sungguh-sungguh. Ia mencubit pelan pipi si bungsu.
Juna merengut sebal. Tapi sebenarnya ia tahu kalau Masnya hanya bercanda. Jadi Juna juga hanya pura-pura merajuk.
"Ya, udah kalo gitu. Ntar pas Juna menang lomba, Mas gak bakal kukasih jatah!" balas Juna tak mau kalah dengan penekanan di kalimat akhir. Ia mendelik pada Kakak sulungnya.
"Hayoloh Mas... Si Juna ngambek!" ledek Ali pada Masnya itu.
"Bodo! Gak yakin juga lo bakal menang!" Liam berucap seolah hal itu tak akan menyakiti perasaan adiknya.
Seketika Juna menjadi murung. Lagi-lagi Kakaknya meremehkan bakatnya. Entah mengapa, Juna jadi sangat sensitif jika mengenai hal itu. Ia menunduk dan diam seribu bahasa. Juna memainkan makanannya di piring.
Ali yang mengerti perasaan Juna, sontak memukul kencang lengan Liam sampai lelaki itu mengaduh. Matanya melotot pada Masnya.
"AW! Apaan sih?" pekik Liam seraya mengusap-usap lengannya sambil membalas pelototan adiknya.
"Mas, kamu ngomongnya dijaga dong." Tyo membuka suara membela Juna.
Namun tetap saja, perasaan Juna sudah terlanjur sakit. Jadi ucapan Papanya tak berpengaruh pada moodnya saat ini.
"Emang Mas ngomong apa?" tanya Liam yang benar-benar tak mengerti letak kesalahannya.
Terdengar hela napas kencang dari anak yang diremehkan. Lantas ia menyimpan sendok di tangannya dengan keras, sampai dikira hampir memecahkan piringnya. Juna bangkit dan mengambil tasnya. Lalu ia mencium pipi peri kecilnya sejenak untuk kemudian menyalami semua orang yang lebih tua.
"Sarapannya habisin dulu, Kak," ujar Hara yang melihat makanan Juna masih tersisa banyak.
"Udah kenyang." Juna menyahut dengan nada datar. "Juna berangkat dulu. Assalamu'alaikum."
Anak itu beranjak dari kediamannya dengan perasaan yang kembali dilukai. Entah apa yang keluarganya pikirkan saat ini, Juna tak peduli. Ia hanya ingin segera enyah dari tempat itu.
"Mas ngomong apa tadi?" tanya Liam yang seakan mengerti penyebab perginya Juna adalah dirinya. Namun masih tak mengerti letak kesalahannya.
"Tau, ah! Pikirin aja sendiri!" ketus Ali tak habis pikir dengan ingatan Masnya yang ternyata dangkal.
Tyo dan Hara merasa tak enak dengan anaknya itu. Mereka harus menyemangati Juna nanti. Semoga saja semuanya lancar.
.
[To Be Continue]
.
"Mereka semua sama aja. Mudah berucap maaf, tapi lebih mudah mengulangi kesalahan."
~Arjuna yang kuat~
🕊
Yang belum VOTE, sok sekarang.. jangan sampe lupa😚
Gimana kesan pesannya?💃🏻
Bantu SHARE kisahnya Juna ke temen temen kalian yaaa🤪
Yang udah SHARE, Cung!☝🏻😆
.
Bahagia Selaluuu🥰
LOVE!❤
PEACE!👐🏻
.
See you!🤸🏻♀️
.
Follow Instagram dan Tiktok olehdra_
Bandung, 24 Mei 2021