KANAYA

By bilkata

426K 20.4K 1.5K

Kenzio Eemert, pria dengan wajah adonis yang akan dengan senang hati dipahat wajahnya oleh para pematung tern... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Hai
Part 34
hello
THE LAST RECORD
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
PART
Part 44
Lanjut?
Part 45

Part 33

5.4K 347 69
By bilkata

Akhirnya Kanaya update menjelang tengah malam! 😭 Maaf terlambat dari tengat waktu yang dijanjikan. ternyata part kali ini mencapai 2285 words😂 So it takes longer than I thought hehe. I hope you guys like it❤️
____________________________

Adakah kebenaran dalam hukum tuai tabur yang kerap orang-orang suarakan?

Hukum alam tidak tertulis itu tampaknya hanya sebuah isapan jempol belaka.

Naya tersenyum miris. Ia merasa tidak pernah mengusik kehidupan seseorang,  tidak pula mendzolimi , apalagi sampai membunuh, tapi mengapa kehidupannya  hanya berisikan pahit getir.

Hampir ia lupa, nyatanya ia pun pernah bahagia. Dulu sekali. Saat mendiang ibunya masih hidup dan belum kenal penyakit.

Kebahagiaan Naya nyaris lengkap atas kehadiran Ed jika saja  hal itu tidak berbuntut pada perlakuan buruk teman-temannya di sekolah.      

Satu demi satu orang-orang yang menjadi kekuatan Naya pergi. Sampai kemarin, Alfa menjadi satu-satunya kekuatan yang tersisa.  
Kini, padam sudah gairah hidup Naya setelah apa yang diperbuat Ken kepadanya.

Naya tahu diri. Ia tak ingin mengharapkan  Alfa dengan keadaannya sekarang—yang kotor dan nista.

Sosok itu masih tertidur pulas disampingnya—sang Iblis dengan paras yang mungkin menaklukan seorang bidadari saja ia mampu. Tapi  bidadari mana yang mau dipersunting oleh iblis? Ia masih bisa mendengkur—tidur begitu nyenyak, tatkala Naya bahkan tidak bisa memejamkan mata. Bukannya Naya tidak memikirkan untuk kabur di tengah kelengahan lelaki itu. Sungguh otak Naya sudah tersetting otomatis memikirkan cara untuk kabur di setiap kesempatannya ada. Tapi kali ini, dengan cepat Naya langsung mematahkan fikirannya sendiri, untuk apalagi ia berusaha? Apalagi dengan kondisinya sekarang.

Ken memberi sekujur tubuhnya rasa sakit yang hebat, terlebih di area selangkangan.  Mungkin dalam beberapa hari ke depan, tubuh Naya akan membaik, tapi bagaimana dengan hatinya? Perasaannya? Tidak. Hatinya tidak akan sembuh. Rasanya bahkan , setiap Naya mengingat kejadian semalam,dadanya seperti dijatuhi ribuan palu yang menghantam keras dan menyesakkan. Berkali lipat lebih menyakitkan dibandingkan yang ditanggung tubuhnya.

"Selamat pagi.." Suara Ken terdengar parau—khas orang yang  baru saja bangun tidur.
Sejak tadi Naya sudah berusaha mengambil jarak terjauh. Namun tanpa perasaan Ken memangkas jarak mereka, bahkan dengan berani menjatuhkan tangannya diatas pinggang Naya—memberi rangkulan.

Naya membungkus dirinya lebih erat dengan selimut yang juga harus berbagi dengan Ken. Laki-laki itu merasakan reaksi tubuh Naya yang menegang karena kedekatan mereka. Ia berlagak tidak sadar. 

"Kau tahu mengapa aku membawamu kesini?" Sedikitpun Naya tidak merespon, tidak dengan jawaban dari mulut, tidak dengan gestur gerakan tubuh. Tapi Ken sendiri menjawabnya. "Aku sudah tahu kau akan menolak. Kuharap jika setidaknya kita melakukannya disini, kau tidak akan memikirkannya berlarut-larut. Seperti kataku kemarin, kita akan melupakannya setelah kita pergi darisini. Anggap saja ini tidak pernah terjadi."
Ken sudah gila.  Kalau dirinya yang disuruh melupakan sesuatu yang menyakitinya, bisakah? Jika saja bisa memilih, Naya pun ingin sekali mereset otaknya, melenyapkan memori buruk itu.

"Kau tahu mengapa aku tidak suka tinggal dirumah ayah?" pertanyaan lain pun tak membuat Naya bergeming. "Terlalu banyak kenangan lamaku disana. Aku bahkan terkejut begitu sadar aku pernah melupakan itu semua. Aku tak bisa membedakan apakah itu ingatan masa lalu atau hanya sekedar anganku saja. Setiap sudut rumah itu, seperti membangkitkan bayangan-bayangan masa kecilku."

Naya menangkap maksud Ken. Mekanisme otak manusia memang hebat. Mereka dapat berbuat sesukanya diluar kendali sang pemilik.
Di saat seseorang melihat benda, tempat, suasana atau hal apapun yang bersinggungan dengan kenangan tertentu, otak akan terselentik memunculkan kembali kenangannya.  Mungkin, Ken belum sadar, yang ia berikan bukan sekedar kenangan buruk. Dikatakan sangat buruk bahkan tidak cukup. Setiap kengerian itu menancap dalam ingatan Naya. Bagaimana Ken mencabik-cabik pakaiannya, mengikat masing masing tungkai kakinya di tiap ujung ranjang, mempenetrasi Naya secara paksa. Tak peduli di mana pun tempat perkaranya, peristiwa itu akan hidup abadi di memori Naya. Tak butuh melihat sesuatu yang berkaitan untuk memicu ingatan mengerikan itu hadir seperti sebuah proyeksi.

Perlahan, Ken berbuat lebih berani. Merangkul Naya lebih erat sampai lebih pantas disebut pelukan ketimbang rangkulan. Tubuh Naya yang menguarkan kehangatan membuat tubuh Ken terasa tersengat.

Jantung mereka saling pacu untuk alasan yang berbeda. Yang satu karena gairah, namun yang lainnya karena kalut.

Ken yang menghirup aroma tubuh dari tengkuk Naya membuat bulu roma Naya berdiri. Tentu saja bukan karena terangsang, kendati begitu Ken tersenyum karena menganggap demikian. Semalam, ia bermain tanpa pemanasan. Bukan hanya Naya seorang yang merasakan perih.  Walaupun bagi Ken, lebih banyak tersisipkan kenikmatan daripada perih itu sendiri.

Ken pun menarik bahu dan membalik tubuh gadis itu sehingga mereka saling berhadapan. Dengan cepat Naya mengalihkan pandangannya, tak sudi menatap wajah Ken. Namun dengan cepat pula Ken mengangkat wajah Naya, memaksakan pandangan mereka beradu.
"Bagaimana jika kita melakukannya lagi? kita toh masih berada disini.." 
Seperti meminta izin, tetapi tidak, karena Ken langsung mendaratkan bibirnya di bibir Naya. Ken menikmatinya, tidak ingin tergesa-gesa seperti tadi malam. Ia berharap bukan hanya dirinya yang hanyut dalam pusaran kenikmatan kali ini.

Naya tak bereaksi. Tapi setidaknya ia tak melawan seperti semalam. Ken menganggap hal itu adalah pertanda baik. Bukankah itu sebuah kemajuan?

Saat itu Ken memang tidak sadar bahwa itu bukan kemajuan sama sekali. Hanya orang hidup yang melawan ketika dipaksakan kehendaknya, sementara Naya sudah mati—hanya saja masih bernafas.

Setelah berlama-lama bermain di bibir, tangan Ken mulai menggerayangi tubuh.  Menjepit puting Naya hingga membuat gadis itu mengaduh. Kesempatan itu digunakan untuk menginvasi mulut Naya, menyesapi  lidahnya yang belum juga merespond.

Tak sabar Ken menyibak selimut mereka. Pandangannya sempat  berhenti pada bercak kemerahan diatas seprei. Laki-laki itu tersenyum terkenang penetrasi pertamanya terhadap Naya kemarin.  Lalu kembali meneruskan aksinya. Ia menyebarkan tanda kemerahan di sekujur tubuh Naya. Merambat terus ke bawah. Sampai tiba di daerah yang Ken nantikan.

*SKIP SCENE*

Menyebalkan. Ken merasa tak perkasa di saat melakukannya dengan Naya. Padahal selama ini, lelaki itu selalu bermain hebat dan merasa unggul ketika melakukannya dengan gadis-gadis lain. Apakah kebetulan dia memang sudah lemah dan tak sehebat dulu? Tapi 'dulu' itu bahkan hanya berselang beberapa hari dari hari ini. Saat itu pun dia masih menjadi pemain hebat. Atau mungkin kah karena ia mengonsumi makanan yang salah belakangan ini? Ah sial! Kalau benar karena makanan, kenapa harus saat ini!

Ken mengambil waktu yang singkat untuk mengisi daya sebelum kembali menerjang Naya. Ia seolah tak mau rugi, mengingat tekadnya hanya akan menggunakan Naya untuk pertama dan terakhir di tempat ini. Dan semua ini punya tenggat waktu. 

Dua puluh jam sudah berlalu semenjak mereka tiba di motel. Sebentar lagi jam dua belas—waktu  untuk check out, sebagaimana kebijakan penginapan pada umumnya. Rasanya Ken ingin memperpanjang masa singgahnya, padahal kemarin ia bahkan tak berniat sampai menginap. 

Ia meninggalkan Naya ke kamar kecil untuk bersiap diri sekejap, lalu kembali hanya untuk menemukan Naya yang sudah terlelap. Setelah dipergunakan berkali-kali olehnya, akhirnya tubuh gadis itu menyerah juga karena lelah.

Satu-persatu pakaian yang tak lagi berbentuk utuh dijumput dari lantai. Pakaian milik Naya tentunya. Ken memastikan sampai ke bagian kolong ranjang untuk  memastikan tidak ada yang tertinggal. Ia tak mau meninggalkan jejak keganasannya di tempat itu.

Setelah yakin beres. Ia langsung mendekati Naya yang tertidur. Ada kegusaran yang terlukis di wajah pulas gadis itu yang berusaha Ken pungkiri. Memangnya siapa yang bisa tenang jika menjadi Naya?  Sentuhan Ken yang berusaha membopongnya keluar dengan gerakan yang sudah begitu berhati-hati saja langsung membuatnya terjaga.

"Apa kau mau telanjang di koridor ini?"  Naya menarik kembali tangan yang mendorong dada bidang Ken. Terpaksa menurut sejak menyadari bahwa ia sedang telanjang bulat dibalik selimut yang membungkusnya.

"Anggap lah kita membawa pulang souvenir." Ken berkelakar saat menggantikan selimut dengan nominal yang sebanding dengan harga menginap tujuh malam disana. Tak ada alasan bagi sang resepsionis untuk menolak, ia bahkan tak berembuk kepada rekan kerjanya untuk memutuskan. Hanya sebuah selimut polos putih, tidak ada yang istimewa. Ia bisa bekerja sama dengan bagian kebersihan untuk mengganti selimut itu dengan model yang sama persis belakangan.

Julius yang semalam hanya beristirahat di mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Ken sendiri baru memberi kabar padanya sewaktu di kamar, sesaat sebelum bersiap turun mengurus check out. Sungguh Ken bahkan lupa ia tidak datang berdua. Mana sempat dirinya memikirkan orang lain begitu tiba di kamar motel berduaan dengan seorang Naya. Ia jadi merasa agak menyesal mengingat kepentingan mereka keluar semalam untuk memeriksa keadaan Julius, tapi kehadiran Julius pada akhirnya dilupakan.

Perjalanan pulang diisi dengan kesunyian. Tak ada obrolan maupun ocehan penyiar radio, sampai akhirnya suara nada dering  mengusik mereka.

Sengaja Ken mengabaikannya begitu saja, ia bahkan tak mau repot membungkam jeritan telefon pintarnya ke mode silent. Ken bersidekap sambil memejamkan mata, berakting sedang tertidur.

Tanpa lebih dulu memastikan, nama sekertarisnya—Nora, sudah tertuduh di benak Ken. Hari ini  Ken memang sudah dijadwalkan untuk menghadiri meeting selepas makan siang. Siapa lagi yang menghubunginya dengan begitu bersikeras jika bukan Nora. Padahal ini bukan meeting untuk hal yang mendesak.

Ken menyerah pada panggilan kelima. Ia sudah berniat untuk mendamprat sekertarisnya itu namun terkejut begitu suara lelaki yang menjawab. Saat dijauhkannya sebentar layar telefon, ia malah mendapati nama dr. Brown yang ada disana.
Setelah terlihat menyimak, sejurus kemudian tubuh Ken beranjak maju menjauhi sandaran, menunjukkan reaksi terkejut bersamaan dengan pertanyaan bernada skeptis. "What?"   

Hanya sepersekian detik Ken terlihat menyimak lagi sebelum kembali bereaksi. Kali ini bukan reaksi terkejut. Laki-laki itu terlihat marah. Sangat marah.

"Fuckin Moron!! What Have you done?!" Sandaran kursi tak bersalah menjadi pelampiasan kemarahan Ken. Ia meninjunya dengan sangat kuat.

Walaupun Julius dan Naya tidak tertarik mencampuri urusan orang lain. Terlebih urusan Ken. Mustahil keduanya bisa berlagak tidak sadar. Mereka tak bisa menulikan pendengaran mereka begitu saja. Secara refleks keduanya sempat mencuri pandang ke arah Ken sebelum kembali kepada kesibukan mereka. Julius kembali menatap jalanan, sementara Naya kembali membuang pandangan ke luar jendela, mengamati ladang bunga coneflower yang terhampar di sebelahnya.

Namun sepertinya, Naya tak bisa tak perduli atas urusan tersebut.

"I'm not telling you to kill him!"  Mendengar tutur Ken, membuat tubuh Naya ikut menegang.

Gadis itu dengan cepat berbalik menghadap Ken.  "Apakah itu mr. Milton?"

Naya berdoa jawaban Ken tak akan membuatnya gila.

Sejak Ken terkesan menghindari tatapannya, Naya langsung menarik kemeja lelaki itu. Memaksa lelaki itu agar menghadapinya.
"Katakan kau tidak membunuhnya."

Naya semakin yakin, dugaan yang menakutkan itu sungguh terjadi di saat Ken memutus kontak mata mereka dengan gamblangnya. Ia mencengkeram dan menarik paksa kemeja Ken lagi lalu menjerit marah. "TELL ME!!!"

"They killed him."

Rasanya jantung Naya seperti berhenti berdetak.

Ia sangat marah dan menyalahkan Ken. Memberondong lelaki itu dengan berbagai sumpah serapah. 

Di sisi lain emosi Ken juga belum stabil. Ia mulai terpancing dengan Naya yang terus memukulinya. 

"SHUT UP!" dengan gemas lelaki itu membalas pukulan-pukulan Naya dengan satu pukulan keras yang langsung berhasil membungkam gadis itu.  

Naya merasa sangat bersalah. Begitu banyak orang-orang tak bersalah terluka karena dirinya. Mungkin jika dia mati, Ken akan berhenti menyakiti orang lain.

Rasanya ingin ia melompat dari mobil jika saja bisa.  Sayangnya, semua hal sudah diatur begitu rapi. Pintu Julius adalah satu-satunya pintu yang bisa dibuka dari dalam. Selama ini mereka harus menunggu Julius membukakan pintu terlebih dahulu. Ken memperhitungkan semuanya dengan begitu baik.

Dipenuhi rasa frustasi, Naya membenturkan kepalanya berulang kali ke jendela. Ia berfikir mungkin ia bisa mengakhiri hidup dengan cara ekstrem itu.  

"STOP!!" Ken langsung menjauhkan Naya dari jendela, meninggalkan telefonnya yang masih terhubung. Gadis itu menggeram marah kemudian menggantikan usahanya menyakiti diri dengan meninju wajah sendiri. Bukan jenis tinjuan ringan. Naya benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk mengakhiri hidup.
"STOP IT!!" Ken harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghentikan Naya dari usaha melukai diri. Kaki-kaki Ken mengunci tubuh Naya dengan membelitkan diri di atas tulang kering wanita itu untuk mengungkungnya dari belakang.
"Calm down." Bisikan itu membuatnya semakin ingin berontak.

Selimut dari motel pun sudah melorot. Jatuh ntah dimana.

Ken sempat gelisah. Tetapi ia sadar, bukan saatnya ia mengkhawatirkan Julius yang mungkin saja curi pandang dari kaca spion tengah. Tentu saja Julius sebenarnya tak melakukan itu. Dia bukan laki-laki biasa yang darahnya akan berdesir melihat wanita telanjang. Sekalipun memahami kondisi Julius, rasanya Ken masih tak ikhlas membiarkan tubuh polos Naya di tonton orang lain. Mau normal atau tidak, Julius tetap saja seorang laki-laki!  Tetapi untuk kali ini saja, Ken memilih membiarkannya.
Rasanya ia tak akan berhasil menahan Naya lebih lama tanpa uluran tangan Julius.

"Julius.. get me that thing."

Untung saja Julius pintar. Ia mencerna maksud Ken dalam sepersekian detik dan langsung bergegas meminggirkan mobil.

Dengan cekatan, Julius mulai mengerjakan sesuatu dari kursinya. Ia mengoper sebuah kain yang baru saja dibasahinya.

Selembar kain yang akan menyelamatkan Ken dari kekacauan saat itu.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 74.2K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
859K 109K 37
Sebagai putra sulung, Harun diberi warisan politik yang membingungkan. Alih-alih bahagia, ia justru menderita sakit kepala tiada habisnya. Partai ya...
4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
516K 21.1K 36
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...