Bab 7 - Kunjungan

Mulai dari awal
                                    

Harusnya setelah mendengar logat bicara pemuda itu, Mariyati tidak perlu mempertanyakan lagi. Sudah jelas.

Ada kekhawatiran di hati Mia.

"Dia pacar kamu?" cecar sang ibu tanpa menjawab pertanyaan sekaligus rasa penasaran Mia.

Mia mengerjap gugup. Bingung harus menjawab apa. Belum siap jika kondisinya mendadak seperti ini. "Itu–"

"Lho, lho, lho ... ini piye to? Kok malah ngobrol sendiri. Ada tamu bukannya dibuatin minum." Suara berat seseorang mengagetkan Mia dan ibunya. Dia Harun, bapak Mia.

Selamet. Mia menghela napas lega. Kedatangan sang bapak, seperti dewa penolong baginya saat ini.

Sama seperti yang dilakukan pada Maryati ketika ia baru tiba tadi, Mia langsung menyambar tangan kanan pria itu lalu menciumnya.

"Sudah cepetan ... bikinkan Nak Fredy minum. Kasihan dia capek, jauh-jauh nganter kamu pulang malah ndak disuguhi apa-apa."

Mia mengangguk sembari tersenyum. Ternyata sambutan sang bapak berbeda dengan ibunya.

"Bapak, kok, sudah pulang?" Maryati memandang suaminya dengan sedikit kesal. Ia gagal mendapat jawaban dari Mia.

"Pak Lurahnya ndak ada. Ya sudah, Bapak pulang lagi," sahut Harun sambil berlalu, kembali menuju ruang tamu.

Ternyata tidak lama Mia dan Mariyati masuk, Harun yang sebelumnya pergi ke kantor kelurahan, pulang lagi. Sedikit terkejut melihat ada seorang pemuda asing di dalam rumahnya.

Fredy yang sudah bisa menebak jika orang yang baru datang tersebut adalah bapak Mia, melihat dari wajah yang mirip dengan gadis itu, langsung saja memperkenalkan diri.

Fredy menjelaskan bahwa ia mengantarkan Mia karena merasa khawatir kalau gadis itu dibiarkan pulang sendirian. Lagipula, jarak antara Malang dan Jombang tidak terlalu jauh, hanya sekitar sembilan puluh kilometer. Perjalanan kurang lebih tiga jam menggunakan sepeda motor, tidak terasa melelahkan jika diselingi tawa juga canda.

Fredy dan ayah Mia terlibat obrolan basa-basi selama beberapa menit hingga kemudian Harun memutuskan untuk pergi ke belakang mencari kebaradaan istri dan anaknya yang tak kunjung datang membawa suguhan.

Lima menit kemudian ....

"Maaf, Mas. Kelamaan nunggu." Mia berucap sembari menata minuman di atas meja, diikuti Maryati dari belakang yang membawa dua toples cemilan.

Fredy hanya tersenyum, dan mata pemuda itu menatap kedua orang tua Mia yang kemudian duduk di hadapannya. Mia sendiri memilih kursi terpisah dengan mereka.

"Nak Fredy kapan pulang ke Medan?" Ayah Mia membuka percakapan.

"Rencana besok siang, Pak. Maklum lah, aku ini susah kali bangun pagi. Jadi sengaja pilih pesawat siang saja," jawab Fredy yang berusaha berucap dengan sopan.

"Oh, kalau di sini, ndak bisa bangun siang, Mas. Semua orang harus sudah bangun paling lambat jam 4 pagi. Kami biasa sholat malam, sekalian nunggu Subuh. Kalau kesiangan, rejekinya dipatok ayam." Harun sengaja menekankan perihal sholat sekaligus untuk memancing Fredy mengatakan tentang agamanya. Yang ia tahu, orang Medan khususnya Batak, mayoritas beragama Nasrani. "Silahkan, sambil diminum, Nak Fredy."

Fredy mengangguk dan meraih cangkir kopi di depannya. Ditiup, lalu disesapnya pelan-pelan.

"Sebentar lagi kalian sudah lulus, habis itu Nak Fredy mau kerja, apa langsung nikah?" Harun kembali memancing.

"Wah, kalo aku ya kerja dulu lah, Pak. Biar Mamak aku di kampung merasakan dulu duit hasil kerja kerasku. Setelah itu baru menabung untuk melamar gadis pujaanku," jawabnya sembari melirik ke arah Mia.

Mia pura-pura tidak melihat, sengaja menatap ke arah lain.

Duh, dijebak Bapak kok ya malah liat sini toh orang ini, gerutu Mia dalam hati.

"Wah, bagus itu. Laki-laki memang kudu tunjukkan tanggung jawab pada keluarga. Apalagi, setelah menikah, pria tetap punya tanggung jawab pada keluarga besarnya. Berbeda dengan wanita, yang setelah menikah menjadi hak mutlak suaminya."

"Betul itu, Pak. Aku ini pria bertanggung jawab, gemar menabung, dan tidak sombong," jawab Fredy mempromosikan dirinya.

Harun menatap geli pada Fredy. "Nak Fredy ini humoris, ya. Bapak suka."

Yang merasa dipuji, tersipu-sipu. Ah, awal yang baik, batin Fredy. Dia berdehem dan meraih cemilan di toples walau belum dipersilahkan. Perutnya terasa lapar, tadi tak sempat sarapan.

"Mia sendiri rencana ambil S2 dulu, habis itu baru kami nikahkan dengan pria yang tepat. Ndak harus kaya atau berlebih, yang penting baik, bertanggung jawab, muslim taat, supaya bisa membimbing dia meraih bahagia dunia dan akhirat.

Agama itu harga mati buat kami orang-orang di sini. Kalau silaturahmi, berteman dan bersaudara, kami tak pernah membedakan agama. Tapi untuk pernikahan, ketaatan sebagai seorang muslim, itu pertimbangan utama. Islam saja tidak cukup, harus bagus ibadahnya."

Fredy terbatuk-batuk, matanya melotot, terkejut. Cemilan yang baru saja ia telan tiba-tiba berhenti di tenggorokan. Mungkin ikut terkejut mendengar penuturan panjang lebar bapak Mia tentang kriteria calon suami untuk anaknya tersebut. 


Eh, Fredy. Pelan-pelan atuh, Bang. Untung kagak keselek toplesnya, kan. Atau lebih parah lagi keselek Bapaknya Mia. Wah, kehilangan camer loh. Wkwkwkwk...

Jangan lupa vote ya kk. Lope lope all.

 Lope lope all

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang