Bab 13 - Bulan Purnama

16 6 2
                                    

Kapan elegi akan berganti

Beralih pada sebuah romansa

Jangan menunggu hati ini mati

Hadirnya cinta menjadi sia-sia

*****

Sementara di kediaman Mia, keluarganya kini sedang disibukkan dengan menyambut kedatangan keluarga Fakhri.

"Wah, akhirnya kita bisa kumpul bareng kayak gini ya, Mbakyu? Seneng banget," ucap Mariyati dengan mata berbinar membuka obrolan sambil menepuk pelan paha wanita di sebelahnya.

"Iyo. Aku juga ndak nyangka sebentar lagi kita bakal jadi besan," imbuh Zubaedah, ibu Fakhri, diiringi tawa cekikikan khas ibu-ibu.

Mia memutar kedua bola mata, malas melihat dua emak-emak yang sepertinya sudah tidak tahan untuk segera menjadi besan.

"Jadi gimana ini baiknya?" sela Darmaji angkat bicara. "Apa langsung saja kita tentukan hari baik untuk pernikahan mereka?" lanjutnya pada inti acara.

Mia mulai resah dengan usulan ayah Fakhri. Dengan ekor matanya, gadis itu memberikan isyarat pada pemuda yang kini juga tengah melirik ke arah dia.

"Jangan dulu, Pak," cegah Fakhri cepat.

Sontak semua mata tertuju pada pemuda yang duduk di ujung sofa, menatapnya penuh tanda tanya, kecuali Mia.

Orang tua Fakhri pun menunjukkan ekspresi terkejut. Tidak biasanya anak itu memotong pembicaraan. Terlebih dia dikenal sebagai anak yang penurut dan santun.

"Tadi kami berdua sudah sepakat untuk menunda pernikahan sambil mempersiapkan diri terlebih dahulu. Biar Mia menyelesaikan pendidikannya. Saya selaku calon kepala rumah tangga juga harus mempersiapkan segala sesuatunya, baik mental maupun finansial," tutur Fakhri memberi alasan.

"Untuk sementara bertunangan saja dulu. Izinkan kami untuk mengenal lebih jauh tentang karakter masing-masing," imbuhnya lagi.

Seulas senyum tipis menghias di bibir Mia, menyiratkan ada kelegaan di sana. Fakhri memang bisa diandalkan.

"Tapi, pacaran setelah menikah bukannya jauh lebih bagus," sanggah Mariyati. Ia adalah orang yang paling berambisi dalam perjodohan ini. "Bukannya apa, saya sebagai orang tua hanya mengantisipasi datangnya setan lewat. Takutnya nanti mentang-mentang sudah tunangan, kalian malah kebablasan. Ya, ndak, Mbakyu?" sambungnya mencari dukungan.

"Iya, Le. Bener itu," sambut Zubaedah setuju dengan ucapan sang calon besan.

Sementara Harun dan Darmaji sejauh ini masih menyimak argumen para istri, sesekali keduanya memberi anggukan setuju.

Mia semakin gelisah, ia takut Fakhri terdesak dan akhirnya pasrah.

"Insha Allah ... Fakhri jamin itu ndak akan terjadi. Toh, nantinya Fakhri dan Mia juga akan jarang bertemu," jawab Fakhri dengan tenang. Namun, cukup meyakinkan.

"Iya, Mia setuju dengan apa yang dikatakan Mas Fakhri." Mia ikut menimpali memberi dukungan.

"Ya sudah, biarkan mereka yang mengambil keputusan, toh mereka yang menjalani. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mengawasi," tegas Harun mengambil keputusan. Cukup sulit memang, karena yang diutarakan Fakhri dan istrinya sama-sama benar dan beralasan.

"Ndak cuman itu, Mas Harun. Menurutku, kalau mereka sudah tunangan, pikiran mereka juga akan lebih serius, lebih matang, dan lebih dewasa soal masa depan. Mikirnya jadi panjang. Kan enak, mulai menata rencana bersama-sama." Ayah Fakhri menambahkan ucapan sahabatnya itu.

"Ya wis, nanti Mas Harun saja yang cari hari baik untuk pernikahan mereka. Sekarang kita tentukan tanggal pertunangannya saja," seru ibu Fakhri.

"Lebih cepat lebih baik," sambung Mariyati.

Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now