Bab 9 - Bincang-Bincang

19 7 0
                                    

Kujaga pandangan mata

Kurawat sebentuk rasa

Menatap cukup sekejap

Duhai kasih bidadari berhijab

*****

Hari kedua Mia berada di kampung halaman. Niat awal pulang untuk melepas rindu pada kedua orang tua dan juga adik tersayang, tapi justru kini gadis itu dirundung kegelisahan.

Sedari pagi hingga menjelang siang, Mia hanya mengurung diri di dalam kamar. Merasa lelah dan ingin istirahat dulu, alasan yang ia utarakan saat Mariyati menanyakan sikapnya yang tidak biasa ini.

Mia yang biasa ceria dengan segala aktifitasnya saat ada di rumah, berkebun misalnya, kini hanya berdiri dengan tatapan kosong. Dia memandang ke arah luar jendela kamar. Sebuah taman kecil di samping rumah yang ditanami beberapa tanaman hias miliknya.

Denting ponsel yang berbunyi menyadarkan Mia dari lamunan, menandakan ada sebuah pesan masuk. Segera ia menyambar benda pipih yang tergeletak di atas meja rias tersebut.

[Ini aku sudah check in]

Sebuah pesan balasan dari Fredy. Sepuluh menit yang lalu, Mia memang sempat mengirimkan pesan pada kekasihnya, menanyakan posisi pemuda itu berada di mana. Mengingat sifat teledor Fredy, Mia takut kekasihnya itu ketinggalan pesawat yang akan lepas landas tepat pukul sebelas siang ini.

[Ya sudah, hati-hati. Nanti kabari aku kalo sudah sampai]

Sedikit kelegaan mendapat kabar dari sang kekasih, tidak lantas membuat kesedihan gadis itu menghilang. Karena memang bukan itu yang memicu sikap aneh Mia saat ini.

"Keluarganya Fakhri besok sore akan datang ke sini," ujar Harun memberitahu Mia saat mereka makan bersama tadi malam.

Tanpa ada rasa penasaran, Mia pun hanya mengangguk sembari terus menikmati makanan favorit yang begitu ia rindukan. Masakan sang ibu, tentunya.

"Kami dan keluarga Pak Darmaji sudah sepakat mau menjodohkan kamu sama Fakhri," timpal Mariyati penuh antusias.

Sejurus itu seketika Mia tersedak makanan yang baru saja ia telan. Lalu dengan cepat Hanna, adik Mia, menyodorkan minuman seraya mengingatkan kakaknya agar makan pelan-pelan.

"Kok, Bapak sama Ibuk ndak ngomong dulu sama Mia?" protes Mia setelah rasa panas yang menjalar di tenggorokanya mereda.

"Kan barusan Bapak kamu sudah ngomong? Lagian Ibuk tahu kamu pasti setuju toh dengan perjodohan ini? Sudah ndak ada yang perlu diragukan lagi dari Nak Fakhri," ucap Mariyati penuh percaya diri.

"Bapak dan Ibuk yakin, insha Allah Fakhri bisa menjadi imam yang baik buatmu nanti," imbuh Harun meyakinkan.

"Tapi, Mia kan ... masih mau lanjut S2, Pak. Ndak mau buru-buru nikah." Mia mencoba menolak secara halus.

"Justru itu. Bapak mau, saat kamu nanti lanjut S2, sudah punya seorang mahram yang mendampingi dan menjagamu. Jadi Bapak sama Ibuk ndak harus terus-terusan merasa was-was, saat kamu berada jauh dari kami."

"Punya anak perempuan, jauh dari rumah, itu ndak gampang loh, Nduk. Bapak sama Ibuk ini sering kepikiran. Namanya anak muda jaman sekarang, pergaulannya menyeramkan. Bapak sama Ibuk ndak tahu toh, kamu di sana tingkahnya gimana," tambah Mariyati.

Tidak hanya berhenti di situ Mia mengutarakan argumennya. Semakin ia menyangkal maka makin kuat pula jawaban Harun menegaskan bahwa Fakhri adalah jodoh terbaik untuknya.

"Kalo Mbak Mia ndak mau, Mas Fakhri buat Hanna saja, Pak," celoteh gadis belia di samping Mia. Remaja kelas dua belas itu merasa jengah dengan segala alasan yang disampaikan sang kakak.

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang