Bab 25

20 3 0
                                    

Mia tergelak, tetapi tak sanggup menutupi rona merah di wajahnya. Ada yang berbeda di dalam hati ini terhadap Fakhri. Tidak seperti dulu lagi. Namun, rasa itu masih samar seperti bayangan.

"Dih, ndak kreatif ... lagunya itu terus." Mia pura-pura mengejek.

"Ya sudah. Gimana kalau yang ini, tujhe dekha to ye jana sanam ... aku seng polah, tonggo seng nyangkem ...."

Mia semakin tergelak hingga berlinang air mata.

"Udah, ih, guyon terus," ucapnya sembari meredam tawa. Boleh juga selera humor pemuda di samping ini, pikirnya.

"Habisnya kamu diseriusin ndak mau. Ya diguyonin," jawab Fakhri.

"Makan aja dulu. Mia ndak bisa mikir serius kalau lagi laper. Lagian ini dedeknya udah nendang-nendang, pengen main bola sama gurami bakar."

Baru saja ingin menanggapi celetukan gadis berkerudung merah ini, suara Mia kembali terdengar, mengingatkan.

"Awas kebablasan. Tuh ... tuh, di situ ...," tunjuk Mia ke arah sebuah ruko sebelah kanan jalan. Terlihat asap hitam mengepul keluar.

Fakhri mengangguk, lalu memutar kemudi, berbelok sesuai arahan Mia.

Berdua keluar dari mobil, masuk ke dalam ruko. Mia sengaja memilih meja yang agak jauh dari pembakaran di depan. Lebih nyaman untuk berbincang tanpa terganggu oleh asap tebal.

Mia memesan gurami bakar kecap dan segelas es jeruk. Fakhri dengan tenang hanya berucap, sama.

"Ndak kreatif." Mia terkekeh menggoda.

"Bukan ndak kreatif, tapi biar bisa kompakan sama kamu. Aku pengen sejalan terus sama kamu, Mi." Fakhri semakin berani melontarkan keinginan terkait rasa cintanya.

"Aku ... terpikir untuk memaafkan Mas Fredy," lirih Mia hati-hati, takut menyakiti perasaan Fakhri.

Hening. Kerenyahan suasana tiba-tiba hilang, menguar bersama pernyataan yang baru saja disampaikan oleh Mia.

"Jadi, mau balikan sama dia?"

Mia menganggukkan kepala, lalu pura-pura sibuk dengan gawainya. Fakhri tersenyum kecut.

"Mas Fredy hanya khilaf. Selain itu, aku masih cinta sama dia. Bukankah cinta itu anugerah dari Tuhan?"

"Cinta itu memang anugerah dari Tuhan. Tapi manusia juga dibekali dengan akal serta pikiran. Jadi, jangan sampai menabrak semua aturan hanya dengan mengatasnamakan cinta. Itu salah besar, Mi," tutur Fakhri lembut walau hatinya tergores.

Cinta tidak lantas menghalalkan kita untuk berzinah, apalagi memperkosa. Kasih tak secara otomatis mengizinkan kita untuk mengikis habis semua norma yang ada. Cinta kasih bukan dewa penghalal segala cara.

Mia menegaskan lagi bahwa ia ingin memberikan satu kesempatan lagi untuk Fredy, asalkan pemuda itu bersedia untuk masuk Islam.

"Ya sudah, kamu coba aja. Aku tetap berdoa yang terbaik untukmu, Mi." Fakhri pasrah. "Tapi ... selama belum menikah dengan Fredy, aku akan tetap menunggu."

Mia tercenung sesaat. Ia terharu pada kesungguhan hati Fakhri.

Untung saja makanan serta minuman yang dipesan segera datang. Mereka jadi punya waktu untuk menetralkan suasana sembari menikmati hidangan.

Tekad Mia untuk mendalami agama memang semakin besar. Secara perlahan, ia mulai merasakan kedekatan dengan Tuhan. Fakhri membawa pengaruh besar, selain niat menaklukkan Fredy tentunya. Kadang kala, pasangan bisa menjadi pemicu semangat untuk kita mempelajari sebuah agama, bukan orang tua atau keluarga. Itu juga yang diharapkan Mia dari Fredy.

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang