Bab 15 - Perubahan Kecilku

12 5 0
                                    

Dinamakan pintu hati

Bisa dibuka, juga kau kunci

Bagi mereka datang dan pergi

Tak ada yang perlu kau tangisi

***

"Jadi kalau kita masih terus sibuk dengan hiruk pikuk dunia dan hingar bingar nafsu keduniawian, ya kapan mau mengenal keagungan Tuhan, Mi."

"Loh, tapi manusia memang dikasih nafsu sama Tuhan, toh. Jadi punya keinginan, hasrat dan dorongan duniawi." Mia bukan bermaksud membantah ucapan Fakhri, tapi memang ada banyak hal dalam kepalanya yang menuntut penjelasan lebih lanjut.

Fakhri dengan sabar mencoba menjelaskan semua yang ia ketahui dan pahami untuk menjawab rasa penasaran gadis itu.

"Kalau ndak punya nafsu, namanya malaikat, Mi. Justru adanya nafsu itulah yang memanusiakan kita. Mematikan nafsu, jelas ndak mungkin bisa. Namun, kita diberi bekal untuk mengendalikan nafsu ... namanya akal. Nah, tinggal kita mau make akal kita apa ndak? Atau maunya cuman nurutin nafsu, bebas tanpa batas?"

Benar yang dikatakan Fakhri. Kita juga butuh nafsu untuk bertahan hidup. Bayangkan saja, kalau tidak ada nafsu makan, sudah pasti kita mati.

"Manusia harus bisa mengendalikan nafsu. Bukan sebaliknya, manusia yang dikendalikan oleh nafsu," tegas Fakhri.

Rasa kantuk yang tadi menyerang Mia, hilang seketika mendengar jawaban-jawaban Fakhri. Masih banyak hal yang ingin ia tanyakan pada pemuda cerdas itu.

"Terus, kalau salat, kudu lama, ya? Aku biasa cepet-cepet. Kalau pelan-pelan, pikiran suka melayang entah ke mana," keluh Mia.

Andai saja Mia bisa melihat pemuda tersebut. Fakhri yang tidak menyangka gadis itu sangat polos, sedang mengulum senyum di seberang sana.

"Kamu bayangin aja ketemu sosok yang sangat kamu cintai. Maunya buru-buru? Cepet pisah, atau berlama-lama? Pertanyaan yang lebih penting lagi, apakah kamu rindu kalau tidak bertemu?"

Mia tercenung mendengar pertanyaan balik dari Fakhri. Selama ini dengan mudahnya ia meninggalkan salat, melewatkan pertemuan dengan Tuhan, tanpa ada rasa rindu sama sekali di dalam hati. Bukankah seharusnya ia merasa sayang, kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi?

Sehari tak bertemu Fredy, ia rindu. Berbulan-bulan ia tak pernah bertegur sapa dengan Tuhan, kenapa merasa biasa saja?

Astaghfirullah .... Mia sesenggukan. Tanpa terasa, air mata bergulir begitu saja membasahi pipinya.

"Mi, kamu kenapa? Tersinggung dengan ucapanku?" tanya Fakhri khawatir karena Mia tiba-tiba bungkam, dan sayup terdengar gadis itu sedang menangis.

"Ndak, Mas. Aku hanya baru sadar, betapa hina aku sebagai manusia, yang sudah melupakan Tuhannya. Terima kasih sudah mengingatkan aku, Mas," jawab Mia di sela isak tangis.

Fakhri terharu mendengar penuturan Mia. Pemuda itu sengaja diam untuk beberapa saat, memberi kesempatan pada gadis tersebut untuk melepaskan kesedihan dan kembali menenangkan diri.

"Allah memang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Mi. Bukan aku yang mengingatkanmu, tapi Tuhan. Itu bukti bahwa Dia sayang banget sama kamu.

Masih belum terlambat untuk memperbaiki diri dan menjadi manusia yang lebih baik. Ayo, kita sama-sama berusaha, saling mengingatkan, juga menyemangati," tutur Fakhri setelah yakin bahwa Mia sudah tidak menangis lagi.

"Insya Allah, Mas. Sepertinya ... aku yang kudu banyak diingetin."

"Namanya manusia, ada luputnya, Mi."

Elegi Dua Hatiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن