Bab 28

7 4 0
                                    

Selesai makan, mereka duduk di sebuah kursi panjang, di bawah pohon Mangga depan indekos Mia. Sudah cukup merayakan rujuk. Kini, saatnya berbicara serius tentang kelanjutan hubungan mereka.

"Kelanjutan hubungan kita seperti apa ini, Mi." Fredy membuka percakapan.

Mia pun tak ingin masalah mereka berlarut-larut. Ia ingin segera ada kejelasan dan langkah yang lebih pasti untuk mulai ditata. Tak ada lagi jalan mundur atau sekadar menunda. Semua harus tuntas, malam ini.

"Aku ndak bisa melepas agamaku, sampai kapan pun. Kita lanjut, tapi dengan satu syarat. Mas Fredy HARUS masuk Islam. Kalau Mas Fredy bener-bener sayang sama Mia, pasti mau berkorban." Mia menekankan sebuah kata dalam ucapannya.

Fredy termenung, tidak segera menanggapi perkataan sang kekasih. Lagi-lagi ia dihadapkan pada pilihan yang sulit.

"Mas, kok diem? Ndak serius ya, sayang sama Mia."

"Bukan aku nggak serius, Mi. Kau pun tahu, tak ada gadis lain di hati Abang ini. Karena hanya dirimu satu cintaku ... huhuhu." Fredy menyanyikan sebaris lagu milik Dygta, Tak Mungkin Ku Melepasmu.

"Jangan becanda. Aku ini ngajak ngomong serius, Mas. Aku sudah capek gini terus. Ndak ada kejelasan masa depan kita mau gimana, dibawa ke mana. Pacaran terus? Sampai kapan?" protes Mia.

Fredy menyandarkan punggungnya, berusaha bersikap santai. Dalam hati, sebenarnya berkecamuk beragam rasa. Bingung, sedih, marah, berharap, semua bercampur aduk jadi satu.

"Mas, ngomong! Jangan diem aja."

Terlihat mata pemuda itu menerawang. Sebelum membuka mulutnya untuk menanggapi ucapan Mia, ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia berusaha membuang gelisah yang membuncah bersama karbondioksida dari rongga dadanya.

"Jujur, Mi, Abang pun berat kalau harus pindah agama. Makin mengenal Tuhan, semakin cinta dan tak bisa jauh dari-Nya. Setelah lulus kuliah ini, rencana aku mau lanjut sekolah Teologi di Australia. Kebetulan Tulang punya relasi yang siap memberikan beasiswa untukku.

Kami sudah membahas tentang hal ini beberapa minggu terakhir. Pada akhirnya, aku berencana untuk menjadi pendeta seperti beliau. Hidup damai, tenang, melayani Tuhan dan umat."

Fredy menghela napas panjang. Ia mengajak Mia untuk serius hidup bersama, pindah ke Australia sekalian menemaninya melanjutkan pendidikan. Itu pun jika Mia mau.

Keduanya terdiam selama beberapa puluh menit. Sama-sama bungkam, menimbang perasaan masing-masing. Mana yang harus mereka korbankan? Cinta atau agama? Pilihan yang teramat sulit.

Untuk mengusir sepi, Fredy meraih gawainya, lalu memutar sebuah lagu. Sengaja memilih lagu tersebut karena sangat cocok dengan situasi yang sedang mereka hadapi saat ini.

Di dalam hati ini hanya satu nama
Yang ada di tulus hati kuingini
Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku
Benteng begitu tinggi sulit untuk kugapai

Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda

Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa pergi

Lagu ini memang sering mereka dengarkan, mewakili perasaan, curahan hati. Rasanya sulit meninggalkan orang terkasih, peri cinta kita. Namun apa daya, jika memang benteng terlalu tinggi. Sulit atau bahkan mustahil untuk bisa digapai dan dilewati.

Halangan berupa restu orang tua, keluarga, dan lainnya, masih memungkinkan untuk dicari celah, tetapi kalau agama ... sepertinya sangat sulit. Salah satu harus mau mengalah, berkorban dan dikorbankan.

"Aku bahkan lupa bahwa kita berbeda ketika bersamamu. Semua terasa sama. Hanya satu rasa, bahagia. Kenapa cinta harus terjarak oleh agama? Mengapa sayang justru terpisah oleh jurang kepercayaan?" Mia menitikkan air mata pilu.

"Bukankah agama mengajarkan cinta kasih? Kenapa sekarang justru menghalangi cinta dan melarang kasih?" Mia terus meracau.

Fredy tetap diam. Ia sendiri bingung, harus berkata apa kali ini. Kebersamaan selama bertahun-tahun, haruskah menguap begitu saja? Namun, untuk melanjutkan hubungan ini sepertinya juga mustahil, jika tak ada yang mau mengalah.

"Aku tahu ini sudah tak mungkin, tapi hati kecil ini masih ingin terus berjuang dan mempertahankan." Mia masih mencoba bersikukuh, menatap ke arah pemuda di sampingnya ini. Berharap ada setitik harapan untuk Fredy berubah pikiran.

"Kalau memang masih sama-sama cinta dan ingin bertahan, jalan satu-satunya, ya kita nikah beda agama." Fredy mencoba memberi solusi. "Kita bisa melegalkan pernikahan kita di Australia."

"Doa kita memang tak sama. Tata cara juga berbeda. Namun, aku yakin kita akan berakhir di amin yang sama." Fredy menggenggam tangan Mia, lalu mengecupnya sekilas.

Cinta adalah sebuah pilihan dan aku telah memilihmu. Bukankah mencintaimu adalah hakku?

Mia menolak usulan Fredy untuk melakukan pernikahan beda agama. Ia meyakini, iman adalah sebuah dasar dalam pernikahan. Sebuah pernikahan tidaklah sah jika dilakukan di atas keyakinan yang berbeda.

"Terus, kamu maunya gimana, Mi?"

"Mauku ... Mas Fredy pindah agama. Titik!"

"Pindah, terus kalau keluargamu tetap nggak merestui, gimana? Mereka kan lebih suka sama si kampret itu." Fredy cemberut, mencebikkan bibirnya.

Benar juga yang dikatakan Fredy. Mia sendiri tidak berani memastikan bahwa keluarganya akan dengan mudah menerima kehadiran pemuda itu, menggantikan Fakhri. Pasti akan ada perdebatan sengit terutama dengan Mariyati, ibunya.

"Kalau keluargaku, aku pastikan seribu persen akan menerimamu dengan baik, selagi kau mau masuk ke agamaku, Mi. Kujamin itu." Gantian Fredy berusaha membujuk Mia.

"Ndak mau, Mas! Aku pasti dimusuhi keluargaku. Aku ndak bisa kehilangan mereka," tandas Mia.

"Ya, sama. Aku pun tak sanggup kehilangan Inang!"

Kebisuan kembali menyelimuti mereka berdua. Memeluk demikian erat, akrab.

Mia menghapus sisa air mata di sudut netranya. Ia kumpulkan keping-keping keberanian dalam dirinya. Mencoba tegar, menyelesaikan masalahnya dengan Fredy.

"Aku mau semuanya tuntas malam ini, Mas."

"Maksud kau?"

"Kalau sudah mentok ndak ada jalan keluar lagi, mungkin kita memang harus menyerah pada takdir. Tugasku hanya mencintaimu, bukan melawan takdir." Begitu lirih Mia berucap, menekan rasa pedihnya.

Hening kembali meraja, menguasai keduanya. Berpuluh menit hanya diisi dengan diam dan deru napas di tengah peliknya hati.

"Kau ... mau menikah dengan si kampret itu?" Pemuda yang biasa ceria, berbicara dengan penuh semangat, kini seperti tanaman kekurangan air, layu.

"Fakhri, Mas. Mungkin. Kurasa, dia adalah pria terbaik yang benar-benar tulus mencintaiku, setelah kamu."

"Apa kamu menduakanku, Mi?"

"Aku tak pernah menduakanmu, Mas. Kali ini, pisahkan urusan hati dengan pernikahan. Kita harus realistis. Walaupun menikah dengan Fakhri, hati ini sepenuhnya masih milikmu."

Mia tidak berbohong. Tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Fredy di hatinya. Ia memang kagum terhadap Fakhri. Ada setangkup rasa sayang terhadapnya, tetapi tak cukup mampu untuk menggeser kedudukan Fredy Siahaan. Ia tetap satu-satunya yang bertahta di dalam sana.

Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now