Bab 22

12 4 0
                                    

"Astaghfirullah!" Mia terkejut, tersadar dari godaan setan yang selintas lalu merasuki dirinya. "Jangan, Mas. Bukan seperti ini caranya."

Mia meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Fredy. Pemuda itu dengan kuat melingkarkan tangan kokohnya di perut Mia.

"Ayo, Mi. Kita lakukan saja. Orang tuamu pasti akan merestui, kalau kamu hamil."

Mia menangis mendengar ucapan sang kekasih. Tak disangka, sedangkal itu pemikiran Fredy dalam mencari solusi hubungan cinta mereka.

"Ini bukan soal mereka. Aku tak akan pernah melepas agamaku. Lepas ... atau aku teriak," ancam Mia di sela tangisan.

"Teriak saja. Nggak akan ada yang dengar." Fredy tidak percaya bahwa gadis itu akan berani berteriak.

Ternyata ucapan Mia bukan ancaman kosong. Dia berteriak keras minta tolong. Fredy segera melepas pelukan dan membekap mulut kekasihnya itu.

Mia berbalik arah, meronta, lalu menampar keras pipi Fredy, membuat keduanya sama-sama tertegun. Mereka berdiri mematung. Mia tak menyangka bahwa tangan mungil itu akan melayangkan tamparan. Gerakan refleks tanpa ia sadari.

Perlahan mereka beringsut, duduk di tepian ranjang, menenangkan gejolak hati masing-masing. Untuk beberapa menit, keduanya masih saling diam, membisu. Mia sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Fredy malam ini.

"Jadi ini niatmu, Mas? Sepicik ini? Aku sangat kecewa." Mia masih terus menangis. Ia meraih gawai lalu terlihat serius berkutat dengan layar persegi yang ada di genggaman.

"Maafin aku, Mi. Aku sudah frustasi dengan hubungan kita ini. Aku tak mau kehilangan kau, Bidadariku." Fredy ikut menitikkan air mata penyesalan. Ia berusaha meraih tangan Mia, tetapi ditolak dengan kasar.

Keduanya kembali bungkam. Untung saja, hujan malam itu sangat deras. Suara teriakan Mia tidak sempat terdengar oleh orang lain karena tertutup riuhnya air hujan membentur atap galvanum. Ditambah lagi, villa sedang sepi, tak ada tamu lain selain mereka.

Fredy menjambak rambutnya sendiri. Ia tidak mengira bahwa rencananya tidak semulus apa yang dilakukan Christ pada Merry. Mia terlalu kaku, keras memegang prinsip. Ia sengaja membiarkan Mia tenang dulu. Sesekali melirik ke arah gadis itu, mencoba mencari celah untuk berbaikan.

Tak berapa lama, gawai di genggaman Mia bergetar. Tak berani melihat langsung, Fredy mencuri pandang sosok di sampingnya dengan ekor mata. Mia berbincang sekilas dengan seseorang di telepon.

"Aku udah pesan taksi online. Dia nunggu di depan. Mulai hari ini, kita putus! Jangan pernah temui aku lagi." Mia beranjak, menuju pintu kamar.

"Tunggu, Mi." Fredy mencegah dengan mencekal tangan gadis itu.

Mia menatap dengan sinis ke arahnya.

"Mau ditampar lagi?" Kalimat dingin serta menusuk hati, dilontarkan oleh Mia yang biasanya lemah lembut.

Melihat ekspresi wajah dan nada bicara teramat tegas, membuat nyali pemuda berbadan bongsor itu menciut.

"Mi ...." Hanya itu yang mampu diucapkan oleh Fredy, kemudian melepaskan cekalan tangannya.

Mia tak lagi menghiraukan Fredy yang menatapnya penuh harap. Dengan segera, ia keluar dari villa, menghampiri taksi online yang telah menunggu di depan.

Atas perintah Mia, sang sopir melajukan mobilnya dengan kencang. Sementara Fredy mengikuti dengan motor dari belakang, menerjang derasnya hujan.

Selama dalam perjalanan, di dalam mobil tak henti-hentinya linangan air mata gadis itu mengalir deras. Mia menyesali apa yang baru saja dilakukan Fredy. Tak bisa membayangkan, kalau saja kekhilafan tadi benar-benar terjadi. Bisa dipastikan, semua akan mendadak hancur.

Di sisi lain, Mia merasa sangat bersyukur, Gusti Maha Kuasa masih melindungi dan menyelamatkannya dari dosa besar. Sopir mengamati dari belakang kemudi, memastikan penumpangnya baik-baik saja.

Ah, mungkin berantem sama pacar. Bukan kasus pemerkosaan, batin si sopir yang sudah berusia paruh baya.

"Mbak ... nggak papa?" Sedikit ragu, ia akhirnya bertanya.

"Ndak papa, Pak. Cuma lagi berantem aja, kok." Mia memberi jawaban singkat sembari mengusap air mata yang masih saja deras mengalir.

Hampir satu jam menempuh perjalanan, Mia sampai di tempat indekos. Beruntung hujan sudah sedikit reda, hanya rintik halus yang tersisa.

Dengan langkah terburu, Mia menerobos gerimis. Tinggal beberapa langkah menuju teras, seruan Fredy memanggil namanya kembali terdengar. Semakin dekat.

"Plis, Mi. Maafin aku. Aku khilaf." Fredy meraih tangan Mia, menahan langkah gadis itu.

"Aku gak mau putus dari kamu, Mi. Aku janji nggak akan mengulangi hal bodoh itu lagi," lanjutnya, memohon.

"Lepasin!" Mia mengibaskan genggaman Fredy. Saat ini, ia tidak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulut pemuda bongsor itu.

Tak kehabisan akal, dengan cepat Fredy mengambil posisi berlutut di depan Mia.

"Aku nggak akan pergi dari sini, sampai kamu maafin aku."

Mia melipat kedua tangan di depan dada, memalingkan wajah, tidak mau melihat wajah Fredy yang mulai mengiba.

"Terserah!" Dengan cepat, Mia berlalu melewati Fredy yang masih setia berlutut, menunduk lesu. Gadis itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakan Fredy, sang mantan kekasih.

Sampai di dalam kamar, Mia segera mengunci pintu. Ia merasa trauma, takut kalau Fredy akan berbuat nekat menerobos masuk. Ia hempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas tempat tidur. Tengkurap, menumpahkan semua rasa yang berkecamuk lewat tangisan, karena hanya itu yang bisa Mia lakukan.

Antara percaya dan tidak, hubungan yang sekian lama mereka jaga dengan baik, harus kandas karena keegoisan Fredy menghalalkan segala cara untuk dapat memilikinya.

Benci, satu kata dari Mia untuk Fredy, walau sejujurnya dari lubuk hati terdalam, ia masih sangat mencintai pemuda yang kini setia menunggu di luar.

Di sela isak tangis, tiba-tiba ponsel di saku celana berdering. Mia membiarkannya saja. Berpikir kalau itu pasti Fredy yang berusaha menghubungi. Saat panggilan ketiga, ia merogoh saku, berniat untuk mengambil gawai dan menonaktifkan benda tersebut.

"Mas Fakhri?" gumamnya, melihat nama yang tertera pada layar desktop dengan notifikasi panggilan tak terjawab.

Beberapa detik kemudian, benda persegi itu kembali berbunyi. Dengan cepat, Mia menggeser panel merah, menolaknya. Untuk sementara waktu, ia tidak ingin berkomunikasi dengan siapa pun. Mia butuh waktu untuk sendiri hingga kondisi psikisnya kembali membaik.

[Maaf, Mas. Jangan telpon dulu. Aku sekarang lagi ada seminar] Mia berdusta, mengirim pesan pada Fakhri.

Kurang dari satu menit, Fakhri sudah membalas.

[Oh, aku minta maaf. Ya, sudah. Jangan lupa salat dan jaga kesehatan]

Mia trenyuh merasakan ketulusan Fakhri yang selama ini tak pernah ia pedulikan. Rasa bersalah menyelinap ke dalam hati tanpa permisi. Laki-laki yang selalu terpinggirkan, tapi selalu ada ketika ia butuhkan.

Fakhri tak pernah menuntut, apalagi mengintimidasi. Semua ia katakan dengan terus terang dan terbuka, tanpa ditutup-tutupi.

"Makasih, Mas. Kamu selalu ingetin aku," ucap Mia lirih.

 Kamu selalu ingetin aku," ucap Mia lirih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now