Bab 5 - Pantai Sayang

20 7 0
                                    

Hanya ingin bersama

Walau kita tidaklah sama

Perbedaan selalu ada

Mungkinkah kita mencinta?

*****

"Ya sudah. Kalo memang semua agama itu pada dasarnya sama, Mas Fredy aja yang pindah ke Islam. Gampang toh?" tantang Mia.

Keduanya kembali larut dalam sunyi dan kebisuan. Perdebatan yang tak ada ujung pangkalnya. Sama-sama cinta pada agama, keluarga, dan Tuhan mereka masing-masing.

"Nikah beda agama, gimana?" Fredy mengajukan usul.

Mia kembali menoleh dengan tatapan tajam. "Mana bisa. Dalam agamaku, nggak sah kalau nikah beda keyakinan. Mas Fredy ndak bisa jadi imam untukku dan keluarga kita. Memangnya di agama kamu diijinkan?"

"Nggak tahu juga aku. Nanti aku tanya dulu. Ah, tapi percuma. Kau kan tidak mau." Fredy mendengkus kesal.

"Aku ndak bisa, Mas ... kalo harus menikah beda agama. Pilihannya hanya satu, kamu pindah ke agamaku. Titik nggak pake koma," tegas Mia.

"Bah, enak kali kau bicara. Kau yang harus pindah. Wanita itu kan ikut apa kata pria. Aku ini kepala keluarga. Tanda seru nggak pake tanda tanya," balas Fredy.

"Belum nikah woi! Enak aja bilang kepala keluarga. Lagian ini sudah jaman modern. Nggak pernah denger emansipasi wanita, ya?"

"Emansisapi boleh saja, tapi namanya kepala keluarga, itu tetap pria. Mana ada pria dipimpin wanita." Fredy bersikukuh.

"Eman-si-pasi woi! Itu kerajaan Inggris yang mimpin seorang ratu, bukan raja." Mia tak mau kalah. Gadis yang biasa bertutur kata lemah lembut sedikit terpancing emosi.

"Itu karena rajanya sudah ko'it alias mati. Nanti yang gantiin kan si pangeran itu."

"Dih, belum tentu. Buktinya pas Pangeran Charles udah dewasa, tahta masih tetap dipegang si Ratu Elizabeth." Mia terus mengajukan argumen.

"Itu karena nggak tega mamaknya dia gusur dari tahta. Kau tak pernah ngobrol sih sama si Charles. Kami ini sohib dekat, biasa main Gobak Sodor bareng pas di kampung," kelakar Fredy. "Charles Situmorang."

Mia lalu tertawa. Fredy selalu saja mampu meredakan emosinya. Guyonan garing dia tak pernah gagal memeriahkan suasana.

"Dasar jendol." Mia masih tertawa sembari menjewer mesra telinga Fredy. Keduanya kembali terlarut dalam perbincangan santai dan guyonan-guyonan ringan.

"Sudah sore. Cepat kali waktu berlari. Nggak laper kau?" Fredy melirik jam tangannya. Sudah pukul tiga sore.

Waktu memang terasa cepat berlari, saat kita bersama dengan orang terkasih. Masa berjalan demikian lambat, ketika rindu membuat kita tercekat. Sepertinya, Sang Penguasa Waktu punya cara tersendiri untuk bermain.

"Kita makan nasinya sekarang, yuk. Aku siapin dulu. Mas Fredy panggil Christ sama Merry. Tuh, mereka jauh di sana," kata Mia sembari bangkit dan melangkah menuju tenda mereka. Tadi dia sudah sempat membeli empat bungkus nasi di warung sebelum masuk ke area pantai.

Fredy setengah berlari menghampiri dua sahabatnya yang sedang duduk mesra. Terlihat Merry duduk di depan Christ dan menyandarkan tubuh pada pemuda itu.

"Mesra kali kalian ini, bikin aku nganan aja," ucap Fredy mengejutkan Merry dan Christ yang sedang larut dalam pikiran masing-masing.

"Ngapain kamu iri, sono sama Mia." Merry beringsut dari tubuh Christ.

"Bah, macam mana pula sama dia. Pegang tangan itu sudah maksimal. Peluk, apalagi cium, belum pernah aku dikasihnya," gerutu Fredy.

Memang, selama ini Mia selalu membatasi untuk tidak melakukan lebih dari sekadar berpegangan tangan. Pelukan, hanya dilakukan saat berboncengan motor saja. Selebihnya, mereka memang belum pernah.

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang