Bab 23

14 2 0
                                    

Setelah kejadian malam itu, hubungan Mia dan Fredy sudah berakhir. Bagaimanapun, harga diri gadis itu terluka karena perlakuan Fredy malam itu.

"Bagaimana aku bisa hidup, kalau sudah tidak punya harga diri! Harga diri itu penting buatku, Mer." Mia sedikit emosi ketika Merry berusaha mendamaikan dirinya dengan Fredy. "Wis, ya ... ndak usah repot-repot bujuk aku buat balikan lagi sama dia. Udah ndak mempan."

Fredy tertunduk lesu. Berempat sedang makan siang di kantin kampus. Merry sengaja memaksa mereka semua berkumpul. Sudah lima hari sejak pertengkaran itu, Fredy lebih banyak bersama Christ dan Merry, sementara Mia lebih memilih sendiri atau langsung pulang ke kosan setelah perkuliahan selesai. Tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk berkumpul seperti biasa.

"Ya sudah. Kami nggak maksa kalian untuk balikan lagi, tapi masih bisa jadi teman, kan? Ayo dong. Kita sudah barengan dari awal kuliah. Kalau memang tidak berjodoh sebagai pacar atau pasangan, setidaknya sebagai teman. Oke?" Merry masih berusaha membujuk, menengahi perseteruan antara Mia dan Fredy.

"Dalam agamaku, memutuskan silaturahmi itu tidak baik. Aku bisa menerima Fredy sebagai teman, tapi tidak lebih," tegas Mia yang tidak lagi memanggil 'mas' pada Fredy.

Kaki Christ menendang pelan sepatu Fredy yang duduk di sebelahnya, memberi kode agar pemuda itu bersuara.

"Fred, kamu gimana?" Merry yang melihat ada peluang untuk mereka berbaikan kembali, menekan Fredy untuk berbicara.

Christ menatap sebal pada sahabat bongsornya. Fredy yang biasa meriah, banyak bicara, bahkan cenderung bersikap absurd, kali ini bertingkah seperti kerupuk disiram kuah mie instan panas. Melempem.

Dasar kerupuk raksasa. Bodi aja digedein, taunya melempem, rutuknya dalam hati.

"Fred!" Merry kehilangan kesabaran. Jangan sampai Mia ngambek lagi. Pupus sudah harapan untuk mempertahankan persahabatan mereka.

"Eh, iya. Anu ...." Fredy tergagap. Ia merasa dilema. Tak ingin putus dari Mia, tapi ia sadar kalau terus memaksa, justru gadis itu akan semakin menjauh. Tak lagi bisa diraih.

"Fix! Fredy dan Mia mulai hari ini bersahabat. Jodoh, rejeki, mati, sudah ada yang ngatur. Jangan disesali. Yuk, kita makan. Gue udah laper banget. Spesial, untuk merayakan persahabatan kita, hari ini gue traktir." Christ setengah berteriak sambil menginjak kaki Fredy saking gemasnya.

"Boleh pesan apa saja, Christ?" Fredy terlihat bersemangat mendengar kata traktir.

"Apa aja, asal perut lo kuat." Christ tertawa. Dasar Fredy. Mau patah hati, patah tulang, atau patah arang, tetap saja, makanan menjadi pelipur lara.

Fredy segera memesan beberapa porsi makanan. Ada siomay, batagor, pempek, gado-gado, nasi kare ayam, jus melon, es jeruk, dan secangkir kopi hitam melengkapi makan siangnya. Tiga orang yang lain memandang dengan takjub keganasan Fredy siang ini.

"Lo kesurupan?" Christ berdecak keheranan.

"Satu, mumpung gratis. Dua, aku butuh lebih banyak energi, untuk menghadapi beratnya luka ini. Tiga, makanan mampu menghiburku." Fredy mulai memasukkan siomay ke dalam mulut. "Patah hati itu berat, Bro. Kamu nggak akan kuat. Sudah aku saja."

Ketiga sahabatnya hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala melihat kelakuan unik Fredy. Namun, mereka lega. Persahabatan mereka tidak bubar di tengah jalan. Toh, sebentar lagi akan saling berpisah. Sama-sama lulus. Merry dan Christ juga tidak tahu nasib cinta mereka akan seperti apa. Putus atau terus.

"Aku lega, persahabatan kita tidak putus tengah jalan," ujar Merry, tersenyum ke arah Mia.

"Tinggal cinta kalian, putus atau terus setelah lulus." Fredy bergumam dengan mulut penuh siomay.

Ucapan asal dari mulut Fredy, membuat yang lain terdiam. Mia memukul kepala pemuda itu dengan buku yang ia pegang.

"Aduh, Mi. Salah apa aku? Benar, kan? Tinggal tunggu nasib cinta mereka." Fredy masih sibuk mengunyah. Kali ini giliran sepiring batagor menjadi sasaran.

"Saranku sih, cinta kalian jangan putus di tengah jalan." Fredy berhenti sejenak, meneguk es jeruk di depannya. "Kalau mau putus, minggir dulu. Putus di pinggir jalan, lebih aman. Nggak ada truk lewat."

Kompak, ketiga sahabatnya memukuli Fredy berkali-kali, melampiaskan kesal. Sedih sebetulnya membayangkan persahabatan mereka, yang kemudian beralih menjadi double date. Apakah harus kembali bersahabat?

Tentu tidak mudah, dari sahabat menjadi pacar, lalu kembali lagi, mundur sebagai sahabat. Bagaimana rasanya ketika salah satu dari mereka punya kekasih baru, atau bahkan menikah?

Sedang asyik bercanda, gawai Mia bergetar. Gadis itu memandang sejenak ke arah Merry, lalu menjawab panggilan tersebut.

"Assalamu'alaikum, Mas Fakhri. Ada apa?"

Fredy terbatuk mendengar nama itu disebut. Sepotong lontong dari gado-gado yang tengah ia suapkan ke dalam mulut, meluncur begitu saja tanpa sempat terkunyah.

Mia sengaja menyebut nama Fakhri dengan jelas. Ia lalu menjauh, agar bisa lebih tenang berbicara di telepon. Tidak terganggu dengan kerasnya suara batuk Fredy.

Beberapa menit kemudian, Mia kembali dengan seulas senyum penuh arti. Christ dan Merry pun tampak menggoda Mia dengan mencie-ciekan gadis itu.

Mia hanya membalas dengan senyuman. Sesekali ekor matanya melirik ke arah pemuda yang memasang tampang sebal di seberang sana.

"Apa pula si kampret telepon-telepon kau?" ketus Fredy membuka suara, antara kesal dan penasaran.

"Fakhri, bukan kampret." Mia mengoreksi, lalu menyedot minumannya.

"Tau nih ... sembarangan aja ganti-ganti nama orang." Christ ikut berkomentar, melempar gumpalan tissu bekas ke arah Fredy. Ia sangat tahu sahabatnya itu sedang dilanda cemburu.

Dengan gerakan sigap, Fredy menangkap. Bukannya membalas atau membuang, ia justru memasukkan benda itu ke dalam mulut, menggigitnya gemas.

Christ dan Merry melihat ekspresi lucu itu jadi terbahak. Mia hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Fredy memang sering bertingkah absurd.

"Move on, Bro. Move on," lanjut Christ, antara memberi semangat dan meledek. "Mia aja bisa move on. Tentara aja bisa langkah tegap maju jalan, masa lo mau jalan di tempat terus."

"Betul itu." Merry menimpali, menjentikkan jari di depan wajah Fredy.

Mia hanya diam, tidak ikut berkomentar. Ada rasa kasihan sebenarnya dengan sang mantan. Setelah putus, Fredy pasti akan jadi bahan bully kedua sahabatnya.

"Oh, ya. Kenapa Mas Fakhri, Mi?" tanya Merry mengajukan pertanyaan, setelah puas meledek Fredy.

"Lusa, dia mau ke sini. Biasalah, disuruh Kanjeng Mami," jawab Mia jujur.

"Saingan lo mau ke sini tuh. Apa perlu gue bantuin baku hantam?" Christ menyikut lengan Fredy. Ia berusaha memprovokasi, menaikturunkan alisnya.

Fredy tampak lesu. Ia mengacak-acak makanannya, tak lagi berselera.

"Bolehlah itu. Setuju aku!" jawabnya.

Seketika kedua gadis melotot pada Christ. Bisa-bisanya, orang sedang cemburu malah dipanas-panasi. Begitulah kira-kira arti pelototan Mia dan Merry.

Christ dan Fredy malah kompak, bertos ria.

Christ dan Fredy malah kompak, bertos ria

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now