Bab 3 - Tak Berujung

34 10 0
                                    

Kita mungkin selepas lewat

Tapi takdir terlanjur mengikat

Cepat ataupun lambat

Kita pasti akan sepakat

*****

"Jadi pulang kapan kamu, Mi?" tanya Merry teman seangkatan sekaligus sahabat Mia.

"Lima hari lagi mungkin," jawab Mia sambil menikmati semangkuk mie ayam.

Kedua gadis itu tengah berada di kantin, menunggu kedatangan para lelaki pujaan hati. Beberapa menit yang lalu keduanya pamit pergi sebentar, beli rokok katanya.

"Kamu kapan?" Mia balik bertanya dengan mulut agak penuh makanan.

Hening.

Merasa tak mendapat jawaban, Mia sejenak menghentikan suapannya lalu menengok ke samping.

"Hoi, ditanya itu jawab ... jangan diem tok." Mia mencibir, melihat sahabatnya mengaduk-aduk malas minuman di dalam gelas.

Detik kemudian Merry mengedikkan bahu, cuek. "Nggak tau lah, Mi," ucapnya penuh kebimbangan.

"Kalo aku pulang ... kasihan Christ di sini sendiri. Dia nggak pulang, lagi males katanya. Lagian rumahku juga deket. Tiap minggu pulang ini." Merry mengembuskan napas berat. Gadis ini tinggal di daerah Pandaan, tak jauh dari kota Malang.

"Oh ya, gimana ortumu. Mereka dah tau tentang hubunganmu sama Fredy?" tanya Merry mengalihkan perhatian dari kesedihan yang sedang ia rasakan.

"Uhuk!" Mia tersedak saat Merry menanyakan hal yang paling ia takuti. Gadis itu menepuk dadanya berulang kali.

Sial! Kenapa harus menanyakan hal seperti itu saat makan begini, sih. Kan hilang nafsu makan jadinya.

Buru-buru Merry menyodorkan minuman milik sahabatnya itu. "Kamu gak pa-pa, Mi?" tanyanya sambil menepuk-nepuk punggung Mia.

Mia menarik napas setelah menenggak es tehnya hingga tersisa setengah.

"Sorry, kalo pertanyaanku membuatmu nggak nyaman," ucap Merry menyesal. Tak seharusnya ia bertanya seperti itu. Ia juga tahu persoalan yang dihadapi Mia.

"Ndak papa." Mia tersenyum getir teringat persoalan yang selama ini membuatnya berada di posisi sulit. "Orang tuaku belum tau, Mer. Aku masih takut mau ngomong."

"Kamu sih enak satu keyakinan sama Christ. Lah aku ... butuh perjuangan ekstra dalam segala hal." Ada rasa iri di hati Mia saat melihat pasangan lain yang memiliki satu keyakinan.

"Enak apanya? Kita itu sebenarnya punya persoalan yang hampir sama," sanggah Merry.

"Lho, bukane kalian sama-sama Nasrani?" Mia terkejut bercampur bingung.

Gantian Merry yang memasang wajah masam. "Beda, Mi. Nasrani juga banyak macemnya. Aku ini Kristen Advent, sedangkan Christian itu Protestan." Dia berpindah tempat duduk di hadapan Mia. Mungkin akan lebih nyaman berbincang seperti itu.

"Lah dalah, jadi beda toh. Tapi bedane juga ndak banyak pastinya. Sama kayak di agamaku, NU sama Muhammadiyah," ucap Mia sembari melanjutkan makan.

"Gimana aku jelasinnya, ya? Gini deh, simpelnya aja. Bagi orang di Advent, menikah itu kudu sama sesama Advent. Itu poin pertama yang paling bikin kami nyesek. Yang kedua, ibadah kami juga beda, Mi. Aku ke gereja tiap hari Sabat, yaitu Jumat setelah matahari terbenam, sampai hari Sabtu matahari terbenam. Di hari tersebut, umat dilarang untuk melakukan hal-hal yang bersifat duniawi, seperti bekerja, nonton televisi, game, dan lain-lain. Kami menghabiskan waktu berkumpul bersama keluarga, melayani dan mendekatkan diri pada Tuhan. Ketiga, gerejanya juga beda, Mamamia tercinta."

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang