Bab 26

9 3 0
                                    

Merry menunjukkan pesan di layar ponselnya pada Christ, membuat pemuda itu terbelalak. Ingin menyusul Fredy, tapi bayangannya saja sudah tak terlihat. Berulang kali mereka berdua mencoba menghubungi ponsel Fredy. Tidak diangkat.

Merry segera menghubungi Mia.

"Fredy sudah pergi, Mi."

"Aku susul dia sekarang!" Mia lagi-lagi menutup telepon sepihak. Merry merasa gemas.

"Mas, kita pergi sekarang. Hayuk!" Mia menarik tangan Fakhri yang sedang asyik menyantap ikan bakar.

"Kita kan masih makan, Mi."

"Udah, buruan!" Mia terus merengek. Wajahnya terlihat sangat cemas.

Fakhri buru-buru mencuci tangan, menyambar gelas dan menenggak setengah isinya, lalu melangkah mengikuti tarikan Mia.

"Aku bayar dulu, Mi." Fakhri berhenti sesaat, membayar di kasir. "Ambil aja kembaliannya."

Berdua segera masuk ke mobil. Tidak banyak bicara, Mia mengatur peta di ponselnya dan meminta Fakhri mengikuti arah yang ditunjukkan.

"Ada apa toh, Mi? Kok kayanya penting banget." Fakhri berucap sembari berusaha menenangkan ikan gurami di perut yang tadi masuk terburu-buru, belum sempat dikunyah halus.

"Mas Fredy mau bunuh diri." Mia terisak. Butiran air bening mulai turun membasahi pipinya.

"Astaghfirullah. Serius, Mi?"

Mia mengangguk, mengusap linangan air matanya.

Fakhri menginjak pedal gas kuat-kuat. Walaupun Fredy adalah pesaing cintanya, tetap saja ia tak tega membiarkan pemuda harapan bangsa itu mati sia-sia. Bunuh diri karena patah hati. Terlebih lagi, ia tidak ingin Mia terluka, merasa bersalah atas kematian Fredy.

Pasti akan sangat menyiksa, didera rasa bersalah seumur hidup. Andai suatu saat nanti ia berhasil bersanding dengan Mia pun, pasti akan terus dihantui perasaan tidak nyaman mengingat kematian Fredy. Mereka berdua, tidak hanya Mia.

Semoga belum terlambat, batin Fakhri sembari matanya terus melirik ke arah peta di ponsel Mia.

Sepanjang perjalanan, Fakhri masih terus berusaha menenangkan Mia. Berharap mereka tidak terlambat atau Fredy membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Semoga saja.

Sementara di tempat lain, Christ dan Merry kebingungan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa selain berusaha menghubungi Fredy ke ponselnya. Pesan yang ditulis Fredy tidak menyebutkan secara jelas di mana ia akan bunuh diri.

[Aku mau bunuh diri sekarang, di tempat si Cumi lahir. Selamat tinggal bidadari tercinta. Fredy]

Christ sendiri ragu, pesan itu serius atau hanya akal-akalan sahabatnya. Namun, melihat ekspresi wajah Fredy tadi ketika meninggalkan mereka, sepertinya ia sangat serius. Tempat si Cumi lahir? Cumi siapa? Laut? Pantai?

Banyak pantai berjajar di daerah Malang bagian selatan. Tidak mungkin mereka menelusuri satu per satu. Itu juga kalau benar yang dimaksud Fredy adalah pantai. Kalau bukan?

"Sepertinya itu tempat rahasia mereka berdua, Christ. Sudahlah, kita bantu doa aja dari sini. Semoga Fredy cuma bercanda." Merry berusaha menyembunyikan rasa gundahnya.

Christ hanya bisa mengamini. Fredy tipe pemuda yang sulit ditebak, bisa melakukan apa pun dengan spontan. Kini mereka sedang bertaruh pada nasib. Bisa saja Fredy hanya bercanda, atau ia benar-benar serius.

Butuh sekitar setengah jam untuk Mia tiba di depan lokasi.

"Mi, kok hotel?" Fakhri menatap heran sekaligus cemas. Ia menghentikan mobilnya di depan bangunan tinggi, kurang lebih dua puluh lantai tersebut.

"Iya, di sini tadi Mas Fredy bilang mau bunuh diri. Ayo, Mas. Buruan masuk." Mia panik, menarik-narik lengan baju Fakhri.

"Bunuh diri kok di hotel?" Fakhri masih merasa janggal. Ia takut, Fredy hanya berusaha menjebak Mia. Bagaimana kalau Mia diperkosa?

Tak ingin berspekulasi, Fakhri melajukan kendaraan memasuki tempat parkir hotel bintang empat tersebut. Ia tidak akan membiarkan Mia hilang dari pantauannya. Lebih baik menemani gadis itu menemui Fredy, agar jelas semuanya.

"Yakin bunuh diri di sini, Mi?" Fakhri mengulang pertanyaan yang sama.

"Iya! Mas Fakhri jangan bawel, sih. Udah kayak Ibuk aja. Buruan parkir, terus kita ke atas." Mia sedikit mendelik.

Daripada nanti malah bertengkar, Fakhri memilih untuk diam, menuruti kemauan Mia. Acara kencan di Malang terpaksa gagal. Perjuangan cinta memang tak pernah mudah. Tadinya Fakhri berpikir bisa seharian penuh menghabiskan waktu bersama Mia supaya bisa lebih dekat lagi, mengingat hubungan Mia dengan Fredy sudah berakhir. Tidak disangka, Fredy membuat ulah.

Jangan-jangan, dia sengaja supaya acaraku hari ini dengan Mia berantakan? batin Fakhri ketika memarkir mobil.

Baru saja Mia menurunkan kaki hendak keluar dari mobil, ponselnya kembali berdering. Marry. Mia segera mengangkat, ternyata sahabatnya itu menanyakan lokasi yang dimaksud Fredy.

"Iya, ini aku sudah ada di lokasi. Kamu dan Christ cepetan juga ke sini," ucap Mia setelah memberitahu posisi ia berada saat ini.

Setelah mematikan sambungan, Mia dan Fakhri segera menghampiri pihak keamanan hotel, memberitahu ada seseorang yang akan melakukan percobaan bunuh diri. Namun, Mia sendiri tidak tahu pasti di mana tepatnya Fredy saat ini.

"Bisa lihat CCTV, Pak?" Fakhri memberi usul.

Petugas keamanan tersebut mengiyakan, kemudian mengajak mereka ke ruang CCTV. Mereka mengecek rekaman CCTV depan, sesuai perkiraan waktu sejak Fredy mengirimkan pesan tadi.

"Itu orangnya, Pak," teriak Mia melihat Fredy masuk ke area parkir bersama motor kesayangannya.

Petugas lalu mengecek pergerakan Fredy ke CCTV yang lain, hingga tampak pemuda tersebut sedang berdiri dengan posisi membelakangi, tepat di tepi pembatas rooftop hotel.

Seketika wajah Mia memucat. Hatinya semakin gusar, takut terjadi sesuatu pada sang mantan. Selangkah lagi Fredy bergerak, maka hidup pemuda itu akan berakhir, terjun bebas ke bawah.

Dengan sigap, petugas keamanan mengerahkan timnya mengawal Mia dan Fakhri menuju ke tempat Fredy berada.

"Mas Fredy!" teriak Mia.

"Tak usah kau mendekat, Mi." Fredy menoleh sekilas ke belakang.

Fakhri dan kedua petugas menginstruksikan agar Fredy tidak banyak bergerak.

"Tak usah pula kalian ikut campur," sahut Fredy masih dengan posisi membelakangi.

Mia mulai tergugu, tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mencegah. Sepertinya pemuda ini tidak main-main dengan ucapannya.

"Maafkan aku, Mi. Kalau aku sudah banyak nyakitin kamu selama ini. Untuk kau Fakhri, tolong jaga Mia baik-baik. Sekali saja kau sakiti Mia, tak segan arwahku datang kasih pelajaran!"

Reflek, Fakhri mengangguk dengan mantap, menyanggupi pesan dari Fredy. Berbeda dengan Mia yang menggelengkan kepalanya cepat. Bukan menolak untuk dijaga oleh Fakhri, tapi ia masih belum siap Fredy menjadi arwah gentayangan.

"Tolong, Mas. Jangan nekat. Mia mohon. Katakan, apa yang Mas Fredy inginkan?" bujuknya.

"Semua sudah terlambat. Kamu sekarang sudah mantap dengan Fakhri."

"Belum, Mas."

"Tak usah kau membujukku. Sudah tidak mempan!"

"Iya, Mas. Aku mau kasih kamu kesempatan satu kali lagi."

Seketika senyum kemenangan terurai dari bibir Fredy. Inilah momen yang ia tunggu-tunggu. Tanpa harus susah payah memohon, tapi dengan sendirinya Mia datang membawa kesempatan itu. Fredy tahu, cinta Mia masih ada untuknya.

"Apa betul yang kau katakan itu, Mi," tanya Fredy, memastikan. "Kau janji?"

"Iya, Mas. Kita mulai lagi dari awal." Mia tersenyum saat tubuh Fredy bergerak hendak memutar.

Kurang dari tiga detik, senyum Mia kembali memudar. Beberapa pasang mata sontak terbelalak ....

"Mas Fredyyy!"

Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now