Bab 8 - Negosiasi Cinta

17 8 1
                                    

Hatiku ini pernah utuh

Sebelum kau membuatnya rapuh

Tak mungkin kembali sempurna

Tanpa dirimu yang tercinta

*****

"Mi, ambilkan air putih. Kasihan dia keselek," kata Mariyati.

Mia buru-buru ke dapur dan kembali dengan segelas air putih hangat. "Nih, Mas."

Fredy menerima minuman itu dengan perasaan galau. Matanya berkaca-kaca, ya karena tersedak tadi. Bukan dia mau menangis karena sedih.

"Kami tidak masalah, siapapun suami Mia, dari suku apapun, asalkan persyaratan tadi dipenuhi." Harun kembali menegaskan. "Ngomong-ngomong, Nak Fredy sendiri sudah punya pacar? Kalau Mia memang saya ndak ngijini pacaran."

Fredy benar-benar merasa dipojokkan. Dia yang tadinya bungah, merasa diterima dengan baik oleh orang tua Mia, ternyata malah tersudut seperti ini.

"Aku ... ah sudah lah, Pak. Ini percintaan kaum muda, Bapak tak perlu bahas. Ndak penting juga toh. Aku mau fokus cari kerja dulu biar mapan." Fredy berusaha menirukan logat Jawa, berharap bisa menambah nilai plus di mata orang tua Mia.

Maryati beranjak menuju dapur. Dari gelagatnya, Mia tahu sang ibu tidak suka pada Fredy. Beliau selalu banyak bicara kalau bertemu orang yang dia merasa cocok. Dan sebaliknya, diam seribu bahasa kalau nggak sreg.

Tak berapa lama, Maryati kembali ke ruang tengah sambil mengulas sebuah senyuman yang mencurigakan. Mia sudah waspada, jangan-jangan ibunya punya rencana mengejutkan.

Fredy masih berusaha berbincang ringan untuk mencairkan suasana yang mulai membeku seperti es kiko. Jangan sampai patah dan terpisah.

"Assalamu'alaikum." Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu ruang tamu.

"Waalaikum salam ...." beberapa orang yang ada di ruangan menyahut dengan kompak termasuk Fredy. Kalau hanya kata umum seperti itu, dia juga sering mengucapkannya.

"Ini dia yang ditunggu-tunggu sudah datang," sambut Mariyati dengan ceria. "Ayo, Nak Fakhri, silahkan masuk," sambungnya, berjalan menghampiri.

Fakhri mengangguk seraya mengumbar senyum ramah pada semua orang. Pemuda berkemeja navy itu pun masuk menyalami satu-persatu orang yang ada di ruang tamu.

"Apa kabar, Mi?" Fakhri mengatupkan kedua tangan di depan dada, saat berada di depan Mia.

Sejenak Mia tertegun, tidak langsung menjawab pertanyaan lelaki berkulit putih di hadapannya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu sekarang. Takjub mungkin.

Apa yang ia lihat di foto dua hari yang lalu sedikit berbeda. Bentuk rahang yang tegas, sepasang alis tebal yang menaungi dua bola mata berwarna coklat, hidung yang tidak terlalu mancung, ditambah lagi bentuk bibir yang cukup seksi, ternyata Fakhri lebih tampan aslinya.

Sembilan–dua belas perbandingannya dengan Fredy.

"Ehem ...." Fredy berdehem bertujuan menyadarkan Mia dari lamunan.

Mia mengerjap, kaget. "Eh, i–iya baik," jawabnya kemudian. Ekor mata Mia melirik ke arah Fredy yang sudah memasang tampang masam. Sementara Harun dan Mariyati sekilas beradu pandang lalu tersenyum.

Fakhri pun mengambil posisi duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Fredy. Karena hanya di situ tempat yang tersisa. Dengan berjajarnya kedua pemuda itu, membuat kekontrasan di antara mereka semakin terpampang nyata.

"Ayo Nduk, bantu Ibuk masak," ajak Mariyati pada putrinya tersebut, setelah terjadi obrolan singkat antara Mia dan Fakhri. Tak ada topik yang penting, hanya sekedar bertanya kabar dan menanyakan kegiatan masing-masing.

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang