Bab 14 - Mengenal Tuhan

18 5 3
                                    

Belajarlah untuk menghargai

Karena sekali yang tulus pergi

Tak akan datang dua kali

Takkan pernah ia kembali

*****

"Emang kalau rajin salat, yakin bisa jamin dekat sama Allah, Mas?" tanya gadis itu lagi.

"Salat itu pekerjaan hati, Mi, bukan fisik. Kalau kamu rajin sholat tapi hanya sebatas gerakan tubuh, ndak diikuti segenap hati, ya susah untuk dekat."

Ibadah itu hakikatnya adalah hubungan yang paling intim antara seorang manusia dengan Tuhan.

"Jadi, libatkan hatimu dengan sungguh-sungguh," lanjut Fakhri menegaskan.

"Cara melibatkan hati?" Mia menarik satu alis ke atas.

"Jangan hanya jeklak-jekluk gerakan sholat. Coba benar-benar nikmati pertemuanmu dengan Allah saat itu. Dikit-dikit kamu pahami arti bacaan di dalam salat. Kalau tahu apa yang kita baca, akan memberi makna dan rasa yang lebih mendalam."

Banyak orang melakukan salat, hafal dengan bacaan dan surah, tanpa tahu artinya. Akhirnya, mereka menganggap sholat itu hanya sebagai bentuk penggugur kewajiban, sekadar mengisi absensi.

Mia manggut-manggut mengerti, mendengarkan pemuda itu menjawab semua pertanyaannya. Taraf kekaguman pun semakin meningkat. Namun, rasa kagum itu hanya sebatas bentuk apresiasi akan pengetahuan agama yang dimiliki Fakhri.

"Berarti langkah pertamaku dimulai dari situ, ya?"

"Iya. Perbaiki ibadahmu, dan temukan rasa dari ibadah yang kamu lakukan. Allah itu saking sayangnya sama kita, sampai ngasih kesempatan untuk bertemu lima kali dalam sehari. Tuhan memaksa kita dengan caranya untuk selalu dekat." Fakhri mengangguk meyakinkan semua ucapannya.

"Satu hal lagi, sejatinya Allah tidak butuh kita, tapi kita yang senantiasa membutuhkan pertolongannya," imbuhnya. Pemuda itu selalu terlihat bersemangat kalau sudah berbicara tentang agama seperti ini.

"Berarti kita ketemu Tuhan hanya pas waktu sholat saja?"

"Bukan begitu, Miaaa ...." Fakhri terkekeh, menggelengkan kepala menjeda ucapannya. Ada satu hal yang membuat pemuda itu merasa lucu, tidak habis pikir dengan gadis di sebelahnya. Seorang anak guru ngaji tapi dangkal akan pengetahuan ilmu agama. Selama ini Mia kemana saja, Fakhri membatin.

"Jadi begini ... bukan cuma waktu salat saja kita bisa dekat dengan Tuhan, tapi juga saat melakukan ibadah-ibadah yang lain kalau kamu bisa merasakan. Allah itu setiap saat selalu bersama kita, ndak pernah meninggalkan apalagi lupa dengan hamba-Nya. Justru kita yang seringkali melupakan-Nya. Allah itu lebih dekat daripada urat leher kita, Mi."

Hingga beberapa puluh menit mereka berbincang tentang agama. Asyik, tidak membosankan. Fakhri sangat menikmati percakapan malam ini. Hati Mia yang galau juga sedikit teralihkan. Pemuda itu punya cara tersendiri untuk mengenalkan agama lebih dalam, mudah dipahami.

"Cie ... cie ... yang lagi asyik berduaan."

Sontak keduanya menoleh ke arah suara. Terlihat Hanna mengedip-ngedipkan mata dengan genit, menggoda sang kakak.

"Apa, sih!" Mia mendelik ke arah gadis belia yang memakai gamis warna biru tersebut.

"Itu ... disuruh Ibuk masuk, diajak makan bareng." Dengan gerakan kepala, menengok sekilas ke dalam, Hanna memberi isyarat. "Awas, jangan berduaan terus ... tau, kan, siapa yang jadi ketiganya?" godanya sambil cekikikan.

"Iya, kamu itu setannya," balas Mia sembari berdiri dan buru-buru masuk, tidak ingin adiknya itu semakin menjadi.

Suasana menjadi lebih akrab. Rasa canggung antara Mia dan Fakhri seperti telah terkikis oleh perbincangan seharian ini.

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang