Bab 18 Badai Besar

15 5 4
                                    

Bukanlah cinta

jika tak pernah ada luka

Juga bukan cinta

bila tak mampu hadirkan bahagia
*****

"Assalamu'alaikum, Buk," ucap Fakhri menjawab panggilan telepon dari ibunya.

"Wa'alaikumsalam. Wis nyampe Malang, toh?"

"Sudah, ini malah perjalanan balik ke Jombang, kok," tutur Fakhri kalem.

"Lah dalah, kok cepet banget. Mestine istirahat dulu di sana, ngobrol-ngobrol sama Mia. Malah langsung bablas."

"Ini kosan cewek, Buk. Ndak enak kalau Fakhri lama-lama di sana," kilah pemuda itu menahan pedih di hati.

"Kamu kan tunangannya Mia. Orang juga ndak bakal mikir aneh-aneh, wong sudah resmi bertunangan."

"Tetep aja. Baru tunangan, Buk, belum halal untuk berdua-duaan terus. Udah ya, ini Fakhri nyetir, ndak enak sambil telponan. Assalamu'alaikum." Fakhri buru-buru menutup telepon, tidak mau ibunya terus menginterogasi.

Merasa ada yang tak beres, ibu Fakhri bergegas menelepon Mariyati untuk mengabarkan kecurigaannya. Sejurus kemudian Mariyati segera menghubungi Mia.

"Assalamu'alaikum, Buk. Ada apa?"

"Kamu berantem sama Nak Fakhri? Kok dia langsung bablas pulang ke Jombang, ndak rehat-rehat dulu, jalan-jalan, atau ngobrol sama kamu," cecar Mariyati tanpa jeda.

"Ya Allah ... ndak, Buk. Mas Fakhri sendiri yang bilang lagi sibuk, ada kerjaan yang harus diurus. Masak aku kudu nahan-nahan, kan ndak enak," bantah Mia sembari dongkol.

Ibunya benar-benar sangat mengistimewakan Fakhri. Mia semakin tidak yakin bahwa Fredy mampu menggusur kehadiran Fakhri di hati Mariyati.

"Bener ndak ada apa-apa?" Mariyati masih terus menyelidik.

"Beneran, Buk. Tanya aja sama Mas Fakhri kalau ndak percaya."

"Ya wis kalau gitu. Kamu telpon dia sekarang, suruh hati-hati di jalan. Jadi perempuan itu yang perhatian sama calon suami. Jangan cuek. Telpon sekarang! Assalamu'alaikum."

"Wa'ala ...." Belum selesai Mia menjawab, Mariyati sudah menutup teleponnya. "... ikumsalam."

Mia benar-benar sebal pada ibunya. Bisa dibilang, sang ibu justru jauh lebih sayang dan perhatian pada calon menantu kesayangan daripada dia yang anak kandung.

Daripada masalah melebar kemana-mana, aku telpon Mas Fakhri aja deh, batin Mia.

Aisyah, romantisnya cintamu dengan Nabi ....

Telepon genggam Fakhri berdering pelan. Pemuda itu tersenyum. Lagu tersebut memang khusus ia pasang untuk nada panggil Mia. Ia berharap, suatu saat nanti mereka bisa menjadi pasangan seperti Rasulullah SAW dan Aisyah.

Pasangan romantis yang tidak hanya mencinta di dunia, tapi juga berkumpul di surga-Nya kelak. Mencintai dan dicintai karena Allah Ta'alla. Tidak sebatas ucapan, tapi juga dalam perbuatan mengharap ridho-Nya.

"Assalamu'alaikum," ucap Fakhri dengan lembut walau hatinya sedang terluka.

"Wa'alaikumsalam. Mas Fakhri ngadu apa ke Ibuk?" todong Mia tiba-tiba.

"Ngadu ... gimana ya maksudnya, Mi? Aku ndak ngerti maksud kamu." Fakhri tetap menjawab dengan tenang.

"Ibuk marah-marah karena Mas Fakhri langsung pulang ke Jombang. Jadi, nuduhnya kita lagi berantem."

"Oh, aku ndak ngadu macem-macem kok, Mi. Jangan suudzan dulu, dong. Tadi itu, Ibuku nelpon, nanya udah sampai di Malang apa belum. Ya kujawab kalau sudah perjalanan balik ke Jombang. Demi Allah, aku ndak ngomong selain itu, Mia."

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang