Bab 27

7 3 0
                                    

"Bagus kali reflek kalian berdua," puji Fredy pada dua petugas keamanan yang dengan sigap menarik saat tubuhnya hampir terjengkang.

Pada saat Mia berusaha membujuk, dua orang berseragam serba hitam tersebut berjalan mengendap-endap di belakang Fredy. Berjaga-jaga akan segala kemungkinan yang terjadi. Seperti yang baru saja pemuda itu alami, tidak sengaja kaki sebelah kirinya terpeleset. Hampir saja ia berakhir mengenaskan.

Fredy segera menubruk Mia, memeluk gadis itu erat-erat.

"Terima kasih, Sayang. Aku tidak akan membuatmu bersedih lagi," ucapnya tulus.

Fakhri serasa menelan sebotol bubuk cabe kering. Tenggorokan tercekat, dada memanas luar biasa. Ia harus pasrah menerima kekalahan. Hati Mia memang tak pernah ada untuknya.

Fredy merenggangkan pelukannya, menatap lekat-lekat dua netra yang sedang berkaca-kaca. Ia mencari kesungguhan dalam binar sepasang mata bening Mia. Perlahan, tangannya terulur, meraih wajah mungil Mia. Menangkupkan kedua telapak tangan di pipi kanan dan kiri.

"Ehem ...." Fakhri sengaja berdehem, membuyarkan keromantisan dua sejoli dimabuk asmara.

Mia tersadar. Segera ia mundur selangkah, menjaga jarak dari tubuh Fredy, membuat pemuda itu memandang sinis ke arah Fakhri.

"Iri bilang, Bos!" Fredy sengaja meledek.

"Mas ...." Mia mendelik.

Fakhri diam saja, tidak menanggapi ulah Fredy yang menurutnya kekanak-kanakan.

"Mi, aku pulang dulu, ya. Kalian pasti punya banyak hal untuk dibicarakan. Aku tidak mau mengganggu. Satu hal, ingat pesanku tadi. Jangan gadaikan agamamu hanya demi sebuah nafsu." Walau pahit, Fakhri tetap mencoba untuk tersenyum. "Assalamu'alaikum."

Tanpa menunggu jawaban, Fakhri bergegas meninggalkan tempat tersebut. Susah payah ia menahan rasa sakit yang mendera jiwa. Tak ingin memperlihatkannya pada Mia.

Mia menjawab lirih salam Fakhri. Ada rasa sedih menyelinap, melihat raut wajah yang terlihat sangat kecewa.

Apa Mas Fakhri marah sama aku?

Petugas keamanan menegur Fredy. Pemuda itu sembari cengengesan meminta maaf pada mereka karena ulahnya yang telah merepotkan.

Ia lalu mengajak Mia untuk pergi meninggalkan hotel, menuju sebuah kafe di seberangnya. Makan di hotel, terlalu mahal. Lebih baik cari yang murah meriah, asal bersama sang tercinta, pikir Fredy.

Mia yang tadi belum sempat makan banyak bersama Fakhri, ditambah rasa khawatir akibat ulah Fredy telah menguras tenaga, segera memesan rice bowl dan beberapa kue basah untuk memenuhi perutnya. Saking hausnya, tak segan ia memesan jus jeruk dan es lemon tea bersamaan.

"Bah! Kesurupan rupanya kau, Mi." Fredy menatap heran pada Mia yang memakan nasi dengan lahap, tidak seperti biasanya, kalem.

"Laper tahu, Mas. Aku tadi ndak sempet makan ikan bakar guramiku. Sayang banget."

"Kapok! Enak kali si kampret mau makan berduaan dengan kau," rutuk Fredy kembali memasang wajah cemberut.

"Wis, jangan mulai lagi. Mau ... berantem lagi?"

"Ulu ulu ulu. Jangan dong, Sayang. Cantik banget bidadariku ini. Udah, makan dulu kau sampai kenyang. Mau nambah lagi nasinya?" Fredy merayu.

Mia tertawa melihat tingkah polah pemuda itu. Sementara keduanya asyik bercanda, merayakan hari rujuk mereka, Fakhri duduk termenung di tengah alun-alun kota Malang. Ia menenangkan diri sekalian menunggu azan asar, ingin salat di masjid jami' yang terletak persis di seberangnya.

Pada akhirnya mencintai hanyalah tentang untaian doa yang kita langitkan. Berdoa ketika ia belum menjadi milik kita agar berjodoh dengannya. Mendoakan yang terbaik untuknya ketika kita tak lagi bisa memiliki.

Fakhri memilih untuk mengalah, menyingkir sementara. Ia akan selalu mengirim selaksa doa, teruntuk gadis tercinta. Cinta memang harus berupaya. Namun jika sudah tak bisa, maka doa menjadi satu-satunya asa.

Ya Allah, Illahi Rabb-ku. Jika memang dia baik untukku, maka dekatkan dia padaku. Namun, jika dia buruk untukku, maka jauhkanlah keburukan itu darinya, lalu dekatkan dia padaku.

Fakhri tertunduk, melantaskan segenap harap di dalam hatinya. Ia tak mau membayangkan hal buruk. Tetap memuja dan meminta Mia pada Dzat Maha Perkasa, Maha membolak-balikkan hati manusia.

Persis seperti tekad yang pernah Fakhri sampaikan pada Mia sebelumnya bahwa selama gadis itu belum menikah dengan Fredy, ia akan tetap menunggunya.

Beberapa kali ia menatap nanar ke layar ponselnya. Tak ada pesan, apalagi panggilan masuk dari Mia. Pasti Mia sedang sibuk bercengkerama dengan Fredy, pikir Fakhri.

Setelah salat Asar, Fakhri melaju pulang ke Jombang. Tetap berusaha tersenyum agar keluarganya tidak curiga.

Selepas menunaikan salat Magrib, ketika Mia melipat mukenanya, terdengar bunyi getaran ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja belajar. Dengan cepat gadis itu meraihnya.

Ternyata satu pesan masuk dari pemuda yang sampai saat ini masih mengharapkan cinta Mia.

Fakhri.

[Alhamdulillah, aku sudah sampai di rumah]

Alih-alih membalas pesan, Mia justru menekan panel warna hijau, berniat meneleponnya langsung. Sekalian ada hal yang perlu ia sampaikan.

Nada tunggu berbunyi hingga beberapa detik, sebelum ucap salam dengan nada lembut terdengar.

"Iya, ada apa, Mi?"

"Ndak papa, Mas. Cuma pengen telepon," jawab Mia ragu.

"Kangen, ya?" Fakhri menggoda. Mendengar nada suara Mia, ia tahu pasti ada yang mau disampaikan gadis itu. "Ngomong saja kalau ada yang mau kamu omongin."

Sudah seperti paranormal saja, Fakhri selalu bisa membaca pikirannya, batin Mia.

"Iya, Mas," jawab Mia diiringi tawa sumbang. "Sebenarnya aku mau minta maaf."

"Untuk?" sahut Fakhri.

"Untuk perasaan Mas Fakhri yang sering aku tarik ulur. Aku sadar itu, Mas."

Fakhri tertawa kecil sebelum menjawab.

"Sudahlah, Mi. Tidak usah merasa bersalah seperti itu. Bukankah kita sudah sering bahas masalah ini? Apa pun yang jadi keputusan kamu, aku terima dan hargai itu. Percuma juga kalau kamu memaksa menerimaku, tapi hati untuk orang lain. Lebih baik seperti ini, jujur pada diri sendiri."

"Makasih, Mas."

Baru saja ucap salam tanda mengakhiri panggilan terucap, terdengar ketukan pintu dari luar kamar.

Mia tahu siapa yang datang. Sebelum magrib tadi ada yang mengirimkan pesan. Katanya, ia akan datang berkunjung membawa ikan bakar.

Senyum lebar menyambut, saat Mia membuka pintu.

"Mas Fredy sendirian?"

"Berdua."

"Mana? Sama siapa?" Hati gadis itu seketika merasa lega, Fredy datang membawa teman. Ia masih trauma bila harus berdua saja dengan Fredy.

"Ini." Fredy mengangkat kantung kresek berisi ikan bakar.

"Kirain sama Christ." Bibir Mia mencebik.

"Kenapa? Kau masih takut denganku?" tanya Fredy, mengerti apa yang dirasakan kekasihnya ini. Rasa bersalah itu kembali menyelinap.

Mia menunduk seraya mengangguk pelan.

"Maafkan aku sudah membuatmu takut. Tapi tolong percaya, tak akan pernah kuulangi kebodohan itu lagi," ucap Fredy tulus dari dalam hati.

"Janji?" Mia mengangkat kepala, menatap sendu pemuda di hadapannya.

"Janji." Fredy mengangkat dua jari ke udara.

Fredy menggandeng kekasihnya, mengajak duduk di kursi teras, menikmati ikan bakar yang sudah ia janjikan.

Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now