Mimpiku dan sejuta harapan
Bukan untuk kau tertawakan
Cukuplah diam dan abaikan
Jika memang tak ingin mendoakan
*****
Mobil telah tiba di halaman parkir taman kota.
"Aku mau beli minum dulu. Kamu mau ikut atau–"
"Aku tunggu di sana saja, Mas." Mia memotong ucapan Fakhri. Ia menunjuk ke arah gazebo yang berada di tengah area taman.
"Oke." Fakhri pun mengangguk, setelah itu menyeberang jalan menuju ke arah mini market.
Mia melangkah perlahan menuju tempat yang ia tunjuk tadi.
Sepuluh menit kemudian ....
"Makasih, Mas," ucap Mia seraya tersenyum, menerima kantung kresek berisi air mineral dan beberapa camilan yang diulurkan Fakhri.
"Iya, sama-sama," jawab Fakhri kemudian mengambil posisi duduk berjarak satu meter di sebelah Mia.
Hening. Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tampak sesekali Fakhri menenggak minumannya.
"Katanya ada yang mau kamu sampaikan, Mi?" Rasa penasaran Fakhri memecah keheningan.
Mia menoleh. "I–iya, Mas," jawabnya ragu. Ia bingung harus mulai dari mana mengatakan semuanya. Rangkaian kalimat yang sempat ia rancang sewaktu mandi tadi, kini meluap begitu saja entah ke mana.
"Silakan, aku siap mendengarkan."
"Sebelumnya aku minta maaf ...."
"Untuk?"
"Ini ada hubungannya dengan perjodohan kita." Mia menunduk. Jari-jemarinya bergerak memainkan kantung kresek yang ada dipangkuan, meredam kegugupan.
"Kenapa? Kamu belum siap?" tanyanya datar. Fakhri sudah menduga hal ini akan terjadi. Sebuah perjodohan yang dilakukan secara mendadak pasti akan menimbulkan kontra dari salah satu pihak, bahkan terkadang kedua-duanya menolak.
"Iya, Mas." Mia mengamini pertanyaan Fakhri.
"Yakin, hanya itu alasannya?" tanya Fakhri memastikan. "Bukan karena Fredy?" Menoleh ke arah Mia dengan raut wajah tak terbaca.
Mia terkesiap, seketika kepalanya menegak, membalas tatapan Fakhri dengan dahi berkerut. "Kok–"
Fakhri mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "Iya, aku ngerti," ucapnya datar, seketika pandangannya beralih, tatapan matanya jauh menerawang ke depan. "Jadi benar karena Fredy? Sudah berapa lama kalian pacaran?"
"Sudah hampir empat tahun. Tepatnya mulai awal kami masuk kuliah," jelas Mia. "Kok, Mas Fakhri tahu?" lanjutnya mengulang pertanyaan yang sempat terjeda, menjawab rasa penasaran.
"Feeling aja," jawab Fakhri singkat, mengedikkan bahu sekilas. Fakhri sempat menangkap gelagat cemburu yang ditunjukkan oleh Fredy saat ia berbincang dengan Mia waktu itu.
"Maafin aku, Mas?" Mia kembali menunduk, takut.
Tak ada jawaban, hanya terdengar embusan napas berat dari pemuda tersebut. "Nggak! Aku nggak akan memaafkan kalo kamu terpaksa menerima lamaranku nanti malam."
Mia terdiam, mencerna kata per kata dari ucapan Fakhri barusan.
Mia tercenung untuk sesaat, berusaha mencerna kalimat Fakhri. "Jadi ... kamu ndak marah sama aku, Mas?" tanya Mia menekankan setelah berhasil memahami maksud pernyataan pemuda tersebut.
YOU ARE READING
Elegi Dua Hati
Teen FictionElegi dua hati. Satu cinta sepasang manusia yang penuh perbedaan. Dunia yang jauh berbeda. Suku, adat, budaya, bahkan agama. Mungkinkah ketuhanan akan dikalahkan oleh perasaan? Ataukah perasaan yang akan mengalah demi menangnya sebuah konsep ketuha...