Bab 4 - Pesisir Kasih

Start from the beginning
                                    

Selesai mendirikan tenda, para pemuda menyusul kekasih mereka. Layaknya film-film romantis yang ada, berempat berlarian, bermain air, saling bercanda dan tertawa. Kencan ganda yang menyenangkan.

"Panas banget, takut nambah item aku," kata Mia setelah beberapa jam mereka bermain air.

"Mau hitam, mau putih, mau abu-abu, kau tetap bidadari kesayangan Abang, Mia," kata Fredy menggombal.

"Halah, bisa aja ngegombal." Mia berdiri di bibir pantai dan memegang sebatang ranting, lalu menuliskan nama Fredy dan dirinya di atas pasir.

Fredy tersenyum melihat ulah Mia.

Bah, romantis kali kau ini, Mi. Aku padamu lah. Lope lope pull! Fredy berteriak dalam hati.

Hanya sekian detik tulisan itu selesai ditulis, ombak sudah menyapu musnah. Mia tercenung beberapa saat.

"Apakah kita memang seperti itu, Mas? Hilang ... dihapus oleh semesta," kata Mia lesu.

"Ah, mikir apa lah kau ini, Mi. Nulis nama di tepi pantai, jelas akan mudah hilang. Kalau mau nama kita terukir selamanya, nanti di buku nikah, Bidadariku." Fredy tidak ingin Mia bersedih, tapi ucapannya tadi justru membuat gadis itu makin terpuruk.

Mia berjalan perlahan mencari tempat yang teduh. Dihempaskannya tubuh di atas pasir tebal, disusul Fredy yang duduk di sebelah. Christ dan Merry bergandengan tangan menjauh dari mereka. Berempat sedang membutuhkan waktu untuk kemesraan masing-masing.

"Kita ini sedang liburan, Mi. Kenapa wajah kau murung seperti tempurung di boneka jailangkung begitu," canda Fredy.

"Mas, sebentar lagi kita lulus kuliah. Ndak bisa lagi hubungan kita terus ditutupi. Jangan selalu bilang nanti dipikirin, kapan-kapan, apa kata nanti. Mia lelah. Mas Fredy mungkin ndak tau, aku itu sering nangis kalo malam, mikirin kelanjutan hubungan kita ini loh." Mata Mia menerawang jauh. Dia seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Fredy terdiam. Dia juga sudah lelah walau tak pernah menampakkan itu di depan Mia. Tak ingin membuat sang terkasih menjadi semakin sedih. Pemuda itu selalu berusaha menyemangati dan menghibur. Namun sekarang, sepertinya semua itu memang harus mulai dipikirkan, dibicarakan.

"Keluargaku terlalu ketat, Mi. Cobalah kau yang masuk ke duniaku. Kenali agamaku, adat istiadatku, aku yakin kau bisa." Fredy berkata selembut mungkin untuk tidak membuat Mia marah.

"Keluargaku juga sama, Mas. Aku bisa dicoret dari daftar keluarga kalau berani pindah agama. Lah wong Bapak itu guru ngaji di kampung. Terus anaknya pindah agama, bisa-bisa nanti keluargaku dihujat warga sekampung, Mas?" Mia berusaha keras menahan bulir air mata untuk tidak menetes. Sudah saatnya untuk bicara serius tentang hubungan mereka. Dia tak mau tangis menghalangi, apalagi sampai menghentikan diskusi.

"Apa kau begitu mencintai agamamu, Mi? Setahuku, kau biasa-biasa saja. Sholat juga jarang. Cuma pertimbangan Bapak kau saja ini?"

"Aku memang ndak biasa sholat dan lain-lain, Mas. Ndak tahu, males aja. Mungkin belum dapet hidayah. Tapi aku yakin dengan agamaku, dan aku juga cinta sama Tuhanku," jawab Mia. "Bapak ... juga jadi pertimbangan terbesarku."

Apakah mungkin mengorbankan keyakinan hanya untuk sebuah perasaan? Apakah layak mengesampingkan ketuhanan demi melangsungkan sebuah pernikahan? Demi cinta yang setengah mati, haruskah kami membunuh religi?

"Kamu aja loh, Mas." Mia menoleh pada Fredy.

"Apa?"

"Gimana kalo kamu aja yang masuk ke agamaku? Wong kamu juga ndak pernah ke gereja. Jangan-jangan kamu juga lupa caranya berdoa," kata Mia.

"Bah, macam mana pula kau ini. Aku tak mungkin pindah agama! Abang ini masih 'M' tiap kali mau berangkat ke gereja. Sama seperti kau lah, Mi. Aku juga cinta sama agamaku, sama Tuhanku. Dan lagi-lagi, bisa ditendang pulak aku dari keluarga besar kalau sampai pindah agama." Fredy berapi-api.

Membayangkan dirinya dimusuhi keluarga besar saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Ditambah lagi, dia memang sangat mencintai agamanya, walau sangat jarang beribadah.

"Tuhan itu sama saja, Mi. Cuma agama saja yang berbeda-beda. Agama itu hanya cara kita memanggil Tuhan dan perlakuan kita pada-Nya. Sama kek Abang ini manggil kau Bidadari, si Merry panggil kau Mamamia. Caraku menyikapimu juga pasti berbeda dengan cara si Merry. Kek gitu lah intinya. Jadi nggak penting agama apa, Tuhannya tetap sama," ucap Fredy masih berapi-api.

 Jadi nggak penting agama apa, Tuhannya tetap sama," ucap Fredy masih berapi-api

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hohoho. Kudu berpikiran terbuka dulu ya, yang baca. Semua yang disajikan di sini bukan untuk SARA. Hanya sekedar menyajikan berbagai pemikiran dan pendapat, dari banyak isi kepala yang berbeda. Huhui ....

Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now