Bab 43 : Cinta dan malaikat mungil

24.3K 2.2K 623
                                    

Haiiiii, siapa yang seneng MDC update!

Kalian baca jam berapa ini?

- Budayakan vote sebelum membaca, berikan komentar 'tuk apresiasi penulis

- Jika kalian suka cerita ini, tolong rekomendasikan juga ke teman-teman kalian yang suka baca Wattpad yaaa

*HAPPY READING*

________________________

Bersabarlah, Allah tahu kebahagiaan apa yang harus didapat setelah ujian mengguncang.

MUTIARA DALAM CANGKANG

***

"Cucu gantengnya siapa ini? Cucunya eyang, iya, Nak?"

Ada magnet tersendiri menyaksikan pemandangan di sebelahku, senyuman yang awalnya hanya kupaksakan, kini berkembang menjadi senyuman bahagia. Melihat umi yang tengah menimang-nimang bayi mungil di sana membuatku bangkit berdiri, melepas mukenah yang sedari tadi menemani.

Tanganku bergerak menoel-noel pelan pipi bayi yang masih direngkuhan umi, "Eh, senyum dia!" Aku terkekeh pelan.

"Kalau senyum makin mirip sama abinya," sahut umi seketika.

Bibirku terkatup rapat mendengar itu, memandang wajah sendu umi yang dibalut oleh senyuman tangguh.

Sampai detik ini pun aku masih mengira mereka ada di dunia, hanya pergi jauh dan ada saatnya mereka kembali. Setiap malam rindu seperti menyiksaku, bayang-bayang wajah mereka berdua tidak bisa hilang dari ingatanku sekalipun. Rindu kepada orang yang telah berbeda alam adalah rindu terberat, bahkan mungkin puncaknya.

Sepuluh hari sudah mereka pergi, sepuluh hari sudah rasa rindu ini tak akan pernah terobati. Jika ditantang menuliskan sesuatu tentang mereka berdua, maka milyaran kertas pun tidak akan cukup untuk mendeskripsikan Bang Rafa dan Kak Amanda.

Tangan umi mengelus pelan pipiku sambil mengulum senyum. Kemudian duduk di tepi kasur dengan memberikan tepukan-tepukan lembut pada bayi itu. Aku pun menyusul duduk di sebelahnya.

"Kita harus kuat." Pandangan umi beralih pada bayi mungil itu, "Demi dia."

Aku mengangguk, "Kita harus kuat demi bayi hebat ini." Tanganku menyentuh jari-jari kecil nan menggemaskan itu.

Entah apa yang umi rasakan saat ini, tangannya membelai lembut kepalaku penuh sayang, "Sehat-sehat terus ya, Nak. Umi nggak mau kehilangan lagi. Kekuatan umi untuk hidup sekarang cuma ada dua, kamu, dan Rafa kecil."

Aku mengecup tangan umi berkali-kali, aku benar-benar menyayanginya, "Kayla juga nggak mau kehilangan lagi. Kayla maunya sama-sama terus sampai nanti, yang lamaaaa banget. Cukup mereka bertiga yang pergi, selainnya jangan ya, Ya Allah." Kalimat terakhirnya kupinta pada sang pemilik alam semesta.

"Satu persatu dari kita memang pastinya akan menyusul, kapanpun atau dimanapun. Tapi kita punya Allah, kita punya doa. Semoga Allah memanjangkan umur kita semua untuk beribadah lebih giat lagi, ya." Tangannya membelai kepalaku.

"Aamiin Allahumma Aamiin." Mataku berkaca-kaca usai mendengar ucapan umi.

Pandangan kami saling tertuju pada bayi mungil itu, manik matanya yang sedari tadi mengerjap lucu, kini tertutup sempurna. Tampak tenang menikmati tidurnya.

"Lucunya kalo bobo, bibirnya manyun gitu." Jika bukan dalam keadaan tidur, mungkin sudah aku kecupi sangking gemasnya.

"Persis kamu dulu." Umi meletakkan Rafa kecil dengan lembut di kasur, "Malah lebih parah," ledeknya kemudian.

Mutiara Dalam CangkangWhere stories live. Discover now