Bab 3 : Seperti mutiara

39.3K 3.8K 261
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Budayakan vote sebelum membaca, perbanyak komentar untuk mengapresiasi penulis 🥰

*Happy reading*

***


Wanita yang berhijab itu layaknya Mutiara, bersinar dan terjaga. Menjadi mulia karena ketaatannya menjadi berharga karena menutupi perhiasannya. Maka pantaskah kita merindukan surga jika menutup aurat saja masih butuh pemikiran?

***

Aku membulatkan mata lebar-lebar, melihat sosok pria yang sudah melindungiku dengan menangkis tangan preman itu. Tatapan mata elangnya menjadi tajam, ada aura kemarahan di wajahnya yang dapat aku saksikan. Kini pria itu menoleh ke arahku meskipun berbarengan dengan detakan jantung yang menggebu-gebu.

"Kau tidak papa?" tanyanya

Aku menggeleng masih berusaha menetralkan rasa panikku. Lalu dalam hitungan detik dia membalikkan muka pada preman di depannya.

"Tidak usah kasar dengan perempuan!"

Pak Amir lantas menarik kerah baju preman itu seolah ingin melayangkan pukulan, aku terkejut hingga mendaratkan telapak tangan di mulut. Suasana mendadak tegang apalagi seluruh anak panti keluar bahkan beberapa orang yang kemungkinan melihat seketika ikut memasuki tempat ini. Entah antara berniat untuk melerai atau mungkin hanya menyaksikan.

"Bicara baik-baik! Tidak perlu dengan kekerasan!" sarkas pak Amir yang justru semakin marah.

Kini sorotan netraku tertuju pada Anisa yang hendak menghampiri ibu itu, aku pun ikut mendekatinya, "Sebenarnya apa yang terjadi Bu?" tanya Anisa.

Ibu itu menghapus tetesan air mata yang tampak di wajahnya, "Saya punya hutang dengannya. Hari ini dia menagih hutang itu sedangkan saya sama sekali belum punya uang untuk membayarnya," tutur wanita paruh baya itu.

"Berapa Bu hutangnya?" timpalku.

"Satu juta Mbak."

Aku berpikir sejenak, memang sempat ragu tetapi tindakan ini jauh lebih penting untuk menghentikan kekacauan yang masih berlangsung di hadapanku. Dengan ikhlas aku melepas kalung liontin yang berada di leherku meskipun tertutup oleh jilbab hijau tua yang sedang kukenakan. Langkah kakiku terayun mendekati dua orang pria disana.

"Semoga ini cukup untuk membayar hutang bapak!" lontarku sembari menyodorkan kalung kepadanya.

"Kayla, apa maksudmu?" sela pak Amir.

"Biarkan ibu ini terbebas dari hutangnya. Aku ikhlas memberikan kalung ini."

"Jangan diberi! Biarkan saya yang melunasi hutang-hutang ibu itu."

Aku menggeleng, "Tidak pak Amir. Biarkan aku saja, jangan halangi aku, please..."

Tanpa menggubris ucapannya nanti, tanganku bergerak ke atas tuk menyodorkan kalung milikku kepada preman itu. Hingga kemudian tangan penuh tato itu merampas kasar, lalu berjalan pergi melewati kami semua.

Tiba-tiba ibu itu menghampiriku, "Terima kasih banyak ya mbak sudah menolong saya. Saya janji bakal bayar nanti."

Lantas aku menggeleng menolak, "Jangan Bu, enggak papa. Saya ikhlas, demi Allah." Aku tersenyum, "Allah pasti akan mengganti, jangan khawatir."

Mutiara Dalam CangkangWhere stories live. Discover now