Bab 38 : Mutiara Surga

23.3K 2.7K 1.2K
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ "

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." [Al-'Ankabuut/29:2-3]

***


Hujan rintik-rintik tengah malam ini menyelusup indera pendengaranku, membuka perlahan kedua mata yang terasa sangat berat. Kepalaku menengok ke samping, memandangi sesosok lelaki yang tampak tertidur pulas dengan telapak tangan yang masih menempel di keningku. 

Kelopak mataku mulai mengeluarkan cairan kembali. Raut wajah lelah Mas Amir meski dalam keadaan tidurnya, sukses membuat hatiku tersentuh. Aku yakin Mas Amir menjagaku semalaman, dan baru saja terlelap sebelum aku terbangun. 

Kenapa ada lelaki setulus dirimu, Mas Amir? 

Kenapa ada lelaki yang mencintai wanitanya sehebat kamu?

Penuh kehati-hatian aku melepas tangannya, mencoba bangkit tanpa mengundang suara berisik yang bisa saja membangunkannya. Langkahku terayun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. 

Setelah menutup pintu kamar mandi, aku berjalan kembali 'tuk mengambil sajadah. Kubentangkan di lantai dingin sebelum akhirnya beranjak memakai mukenah.

"Allahu Akbar."

Baru saja mendirikan telapak tangan di telinga, mataku perih memanas. Jiwaku bergetar hebat saat bacaan Al-Fatihah berdesis di bibirku, mataku memejam membiarkan bulir bening mencuat berkali-kali. Langit gelap di atas menjadi saksi dari hati yang mulai mengadukan segalanya. 

Air mataku mengalir deras merasakan bahwa kini aku sedang berbicara pada Allah, merasakan kenikmatan sedang menangis di hadapan Allah.

"Assalamualaikum warahmatullah ...." Dan aku pun menyelesaikan komunikasi terindah pada Rabb-ku. 

Kedua tanganku menengadah tanpa ada kekuatan untuk mengeluarkan suara. Hanya Allah-lah yang dapat membaca hatiku, hanya Allah-lah yang mengerti bagaimana hancurnya perasaanku.

"Ya Allah ...." 

"Tidak ada kekuatan selain engkau, Ya Allah ...." 

"Jujur ini sakit ...." Aku memegang dadaku dan meremasnya, "Ini sakit, Ya Rabb ...."

Pipiku sudah terbanjiri oleh air mata. Tiap-tiap ucapan yang keluar, membuat dadaku sesak tak tertahan. 

"Wahai yang menciptakan luka dan obatnya, wahai yang menciptakan ujian dan jalan keluarnya. Tidak ada kekuatan selain engkau, Ya Allah ...."

Mutiara Dalam CangkangWhere stories live. Discover now