Bab 2 - Lain Kali

34 11 2
                                    

Akan tiba masanya

Tawa berbalut luka

Tangis dalam bahagia

Canda bersama derita

*****

Mia bergegas membantu Lik Mar supaya bisa segera pulang ke kos. Kasihan sang pujaan hati lama menunggu di depan gang. Nyamuk-nyamuk betina pasti sibuk mengerumuni dan menciuminya. Ah, tak rela.

"Sudah yo, Lik. Beres semua. Aku balik ke kos." Mia buru-buru pamit.

"Halah dalah, kok kesusu toh. Ngobrol dulu, lama ndak ketemu." Lik Mar mencoba menahan sambil memandang curiga. "Lagi ditunggu orang, toh?"

"Ya ndak toh, Lik. Tugas kuliahku banyak, makanya buru-buru. Lagian baru juga tiga hari ndak ketemu, kok sudah bilang lama. Apakah diriku ngangenin sampai segitunya, Lik?" Mia membereskan tasnya.

"Jadi beneran ini langsung balik? Yo wis, biar dianter sama Aryo." Marni lalu memanggil Aryo, anak bungsunya. "Yo, anterin Mbak Mia balik ke kos."

"Uang bensin," jawab Aryo, anak sulung Lik Mar sambil menengadahkan tangan.

"Bocah semprul. Deket aja minta uang bensin. Buruan!" Lik Mar melotot.

Aryo secepat kilat menyambar kunci motor. "Mbak Mia, ayo!"

Mia tertawa kecil melihat kelakuan sepupunya. Segera ia mencium tangan Lik Mar dan menyusul Aryo di depan rumah.

"Yo, sampai depan gang aja," bisik Mia.

Aryo yang sudah paham maksud gadis itu cuma mengacungkan jempol kirinya. Di depan gang, Fredy yang baik hati tapi jarang mandi masih setia menunggu sang kekasih.

"Heh, Aryo, mau ke mana kau?" Fredy kaget melihat Aryo langsung putar balik setelah menurunkan Mia.

"Ya, mau pulang lagi, Mas."

"Alamak ... jangan pulang dulu. Nanti mamak kau curiga." Fredy mengulurkan uang pecahan warna hijau pada pemuda tujuh belas tahun di hadapannya.

"Ini buat kau beli bensin. Sana ... kau keliling Malang dulu!"

"Makasih, Mas. Yo wis, tak ke warnet dulu kalau gitu." Dengan senyum semringah pemuda itu berputar arah lagi.

Aryo sudah hafal dengan celetukan Fredy yang suka asal. Lagian mana mungkin uang dua puluh ribu cukup untuk keliling kota Malang.

"Inget, lho, Yo ... jangan bilang sama ibukmu kalo Mbak Mia pulang sama Mas Fredy," ucap Mia mengingatkan, mengajak sepupunya itu berkompromi.

"Beres, Mbak!" Aryo mengacungkan jempol sebelum akhirnya tancap gas melajukan motor.

"Ayo, kita pulang, Mamamia." Dengan isyarat gerakan kepala, Fredy menyuruh Mia yang masih berdiri melihat sepupunya pergi untuk segera naik ke atas jok motor.

Tanpa menjawab, Mia pun menurut.

"Yuk, jalan," titah Mia sembari melingkarkan kedua tangannya di perut Fredy.

Fredy melajukan motor dengan kecepatan sedang. Sengaja ingin berlama-lama menikmati keromantisan di waktu malam sambil berboncengan. Tak ada percakapan di antara mereka selama beberapa menit.

Fredy membiarkan kepala gadis itu bersandar di bahunya. Lagi capek mungkin.

Malang di kala malam. Tak terlalu sepi, tapi tetap saja tenang. Perpaduan seimbang antara gairah hidup yang tak pernah lekang, dengan tempat peristirahatan yang nyaman.

"Sampai kapan kita terus seperti ini yo, Mas?" Mia membuka percakapan. Gadis itu merubah posisi, sedikit mencondongkan wajah ke depan.

Selama tiga tahun lebih harus kucing-kucingan. Lelah.

Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang