Tiga puluh tiga

22 8 0
                                    

Happy reading!

"Datang ketika sedang membutuhkan saja. Lalu pergi saat kebutuhannya telah terpenuhi."

°°°°

Dengan langkah tak bersemangat, Haura memasuki rumahnya. Kali ini, Haura pulang sekolah sendirian. Tidak diantar oleh Dehan apalagi Arsya. Kedua cowok itu sekarang benar-benar menyebalkan bagi Haura.

Tidak ada lagi yang percaya padanya. Haura selalu disalahkan, padahal itu semua tidak seperti yang mereka pikirkan. Mereka tidak tahu saja apa yang sebenarnya terjadi.

"Assalamualaikum," ucap Haura saat memasuki rumah.

Cewek berambut sebahu itu berjalan menuju kamarnya. Namun, belum sampai di kamar, Oma yang tengah duduk di ruang tamu bersama tamunya yang tidak Haura ketahui karena orang itu membelakanginya pun memanggil Haura.

"Haura udah pulang?" tanya Oma yang membuat langkah Haura terhenti.

"Udah, Oma."

"Pulang sama siapa?" tanya Oma lagi.

Haura menghela nafasnya. "Sendirian."

Oma mengerutkan keningnya, lalu kembali tersenyum saat berhasil memahami situasi yang terjadi pada cucunya ini.

"Sini duduk, ada yang mau ketemu sama kamu," ucap Oma yang membuat Haura mengerutkan keningnya.

Haura pun menurut saja saat disuruh duduk di samping Oma. Ketika mata Haura melihat siapa tamu dari Omanya ini, saat itu juga Haura membulatkan matanya dan refleks berdiri dari duduk.

"Haura," ucap wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung Haura sendiri.

Ya, tamu Omanya tersebut adalah orang tua Haura. Ini kali pertamanya mereka ke sini mengunjungi Haura dan Haura percaya bahwa ini semua ada apa-apanya.

"Duduk, Ra." Oma menarik tangan cucunya untuk kembali duduk.

Tangan Haura mengepal dengan sendirinya saat melihat wajah papanya. Kejadian malam kemaren masih teringat jelas di ingatannya. Bagaimana sang papa memperlakukannya dengan sangat tidak baik.

Dengan ekspresi datarnya, Haura bertanya to the point. "Ada perlu apa?"

Denis—papa Haura berdeham, melirik sekilas ke arah istrinya lalu kembali menatap Haura.
"Maksud Papa dan Mama ke sini mau menjodohkan kamu dengan anak rekan bisnis Papa."

Duarrr

Bagaikan tersambar petir, Haura membulatkan matanya dua kali lipat dari yang tadi. Tidak ada angin tidak ada hujan, datang-datang cuma buat jodohin dirinya.

Untuk sekedar basa-basi menanyakan kabar saja tidak. Bahkan mereka tidak mau tahu akan apa yang terjadi pada Haura.

"Maksud Anda apa?!" tanya Haura dengan nada meninggi.

"Dengarin Papa dulu, ini semua untuk kebaikan kamu. Kalau kamu menikah dengan anak rekan bisnis Papa, masa depan kamu sudah terjamin. Dan ... perusahaan Papa juga akan berkembang pesat," jelas lelaki berjas itu dengan percaya dirinya.

"Sejak kapan Anda peduli dengan masa depan saya? Dengan kehidupan saya? Sejak kapan?!" tanya Haura dengan berapi-api. Oh tidak, kali ini ia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya.

Baru saja tadi di sekolah ia dihadapkan dengan masalah-masalah yang menyulut emosinya, sekarang timbul masalah baru yang jauh lebih menguras emosi dan amarahnya.

"Haura! Jaga bicara kamu? Papa tidak pernah mengajari kamu berbicara seperti itu di depan orang yang lebih tua!" bentak Denis, sementara Mery—mama Haura mengusap-usap bahu suaminya agar emosinya tidak meledak.

Haura tertawa sinis. "Kapan Anda pernah mengajari saya? Kapan?!"

"Oh iya, bukannya kemaren Anda bilang kalau saya buka anak kalian? Terus kenapa ke sini? Pakai alasan menjodohkan saya segala, atau itu semua hanya untuk kepentingan kalian?!"

"Kepentingan bisnis kalian? Iya?!" bentak Haura. Cewek berseragam putih abu-abu itu sudah tidak peduli lagi kalau yang ada dihadapannya itu adalah orang tuanya sendiri.

"Jaga bicara kamu anak kurang ajar!" bentak Denis yang spontan berdiri.

"Denis!" teriak Oma dengan emosinya.

"Cukup Denis, kalau kepentingan kamu ke sini hanya untuk menambah luka di hati anakmu, lebih baik kamu pergi dari sini!" Wanita tua yang kini merangkul bahu Haura itu terlihat sangat emosi sekali, sangat jelas terlihat di wajahnya yang sudah keriput itu.

Denis pun menghirup udara dalam-dalam. "Papa ke sini dengan niat baik. Kamu hanya perlu menyetujui perjodohan itu dan semuanya akan baik-baik saja."

"Baik-baik saja?" Haura tertawa hambar. "Hidup saya tidak baik-baik saja sejak Anda mengusir saya dari rumah dua belas tahun yang lalu!"

"Kalau kedatangan Anda ke sini hanya untuk itu, lebih baik pergi dari rumah ini."

"Benar-benar anak kurang ajar kamu!"

"Iya! Saya anak kurang ajar, orang tua saya tidak pernah mengajari saya untuk bertingkah baik. Bahkan orang tua saya sendiri tidak menganggap saya sebagai anaknya!"

"Anda hanya datang jika ada maunya saja. Tapi maaf, saya tidak akan pernah menyetujui perjodohan itu!"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Haura berlari keluar dari rumah. Pergi sejauh mungkin dari sana. Tidak peduli teriakan Oma yang terus meneriaki namanya. Haura benar-benar kecewa dengan orang tuanya.

Haura terus berlari dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Ia menangis terisak. Tidak peduli lagi dengan penampilannya yang sudah berantakan.

Bertepatan dengan itu, hujan turun membasahi bumi. Sepertinya semesta ikut merasakan apa yang tengah ia rasakan.

Di bawah ratusan rintik hujan Haura menangis meraung-raung. Air matanya kini sudah menyatu dengan air hujan.

Cewek berambut pendek itu pun terduduk di tepi jalan. Menelungkupkan wajahnya pada kedua telapak tangan, setelah itu wajahnya dihadapkan ke atas seperti menantang air hujan yang turun semakin deras.

"GUE BENCI HIDUP INI!"

°°°°

Huh
Chapter ini sangat menguras emosi.

Maap ya kalau kurang greget:)

Bintangnya jangan lupa dipencet ya

Mau bilang makasiii lagi buat yang udah baca cerita ini sampai sini

Lope sekebon<3

'Jadikan Al Quran sebagai bacaan utama.'

Salam hangat,
Fuji

HAURA (COMPLETED)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant