Dua puluh enam

35 6 1
                                    

Happy reading!

"Jika tidak karena terpaksa, aku tidak akan mau menginjakkan kaki di rumah yang lebih pantas disebut neraka ini."

-Fuji-

♡♡♡

Setelah acara pemotongan kue selesai, Haura telah bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak terjadi apa-apa. Arsya masih setia berada di sampingnya, tidak salah lagi jika Haura mengajak cowok itu. Setidaknya ia tidak merasa sendirian di tengah keramaian pesta ini.

Para tamu undangan mulai menyebar, menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. Lagi-lagi mata Haura tidak lepas memandang dua sosok yang tengah berbahagia itu sedang berbincang-bincang dengan orang yang Haura yakini adalah rekan kerjanya.

"Gue ke toilet dulu ya," ucap Arsya yang sedari tadi berada di samping Haura.

Haura mengangguk, lalu Arsya pun pergi menuju toilet. Tak lama kemudian, seseorang datang menghampiri Haura.

"Ra, ke tempat mama papa yuk," ajak Brian saat menghampiri Haura.

Haura yang mendengar itu seketika terdiam. Haruskah ia menemui orang tuanya sekarang?
Bahkan kehadiran Haura di sini saja mereka tidak tahu dan seakan tidak peduli.

"Aku di sini aja," jawab Haura.

"Ayolah, Ra." Brian lagi-lagi membujuk Haura. Jujur, jika kakaknya sudah bertingkah seperti ini Haura sulit untuk menolaknya.

Haura pun menghembuskan nafasnya. "Yaudah."

"Serius mau?" Haura hanya mengangguk dengan ragu. Meskipun tak yakin dengan keputusannya.

Brian pun menggiring Haura menemui orang tuanya yang tengah berbincang-bincang dengan rekan kerjanya. Haura hanya mengikuti Brian dari belakang dengan perasaan ragu.

"Ma, Pa!" panggil Brian saat mereka telah sampai, yang dipanggil pun menoleh ke sumber suara.

"Kenapa, Ian?" tanya sang papa. Haura yang masih berdiri di belakang Brian pun terhenyak medengar suara bariton itu. Apalagi mendengar nama panggilan kesayangan untuk kakaknya.

Ian, dulu Haura senang sekali memanggil kakaknya dengan sebutan kak Ian.

"Kita kedatangan tamu Ma, Pa," ucap Brian dengan semangat.

Kedua orang tuanya mengerutkan kening. "Siapa?"

Brian menggeser tubuhnya ke samping, hingga terpampanglah sosok gadis yang tengah menunduk itu.

"Haura," ucap Brian yang membuat Haura mengangkat kepalanya. Mata Haura langsung bertemu dengan mata kedua orang tuanya.

"Haura!" pekik sang mama dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dengan spontan Mery-mama Haura memeluknya erat.

Haura yang mendapat perlakuan itu hanya diam tanpa membalas pelukan sang mama.

"Akhirnya kamu datang juga Ra," ucap Mamanya masih dalam pelukan.

"Siapa yang mengundang dia ke sini?" Suara bariton seseorang membuat pelukan di antara ibu dan anak itu terlepas. Ya, itu suara Denis-papa Haura.

Haura dapat melihat dengan jelas raut wajah yang sangat menyeramkan dari sang papa. Sudah lama Haura tidak melihat ekspresi itu. Terakhir saat Haura diusir dari rumah ini oleh papanya sendiri.

"Aku yang ngundang, Mas," ucap Mery.

"Siapa yang mengizinkan kamu mengundang anak sialan ini?" bentak Denis yang membuat setiap pasang mata memandang ke arah mereka.

"Mas!" bentak Mery, istrinya.

"Dia bukan lagi bagian dari keluarga ini!" Wajah Denis sudah memerah dengan rahang yang sudah mengeras.

Haura yang mendengar itu hanya menundukkan kepalanya, menerima setiap makian yang keluar dari mulut papanya sendiri.

"Aku yang ajak Haura ke sini, Pa!" Brian angkat suara.

"Kamu pikir Papa akan mengizinkan anak sialan ini hadir ke acara Papa?"

"Tapi Pa-"

"Kamu diam!" Brian seketika menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak akan bisa melawan sang papa.

"Dan kamu! Berani-beraninya kamu menginjakkan kaki di rumah saya!"

Para tamu undangan sudah mengerumuni mereka, seakan ingin tahu akan apa yang sedang terjadi.

"Pa ...," panggil Haura lirih, entah keberanian dari mana Haura membuka suaranya.

"JANGAN PERNAH PANGGIL SAYA DENGAN SEBUTAN PAPA, KARENA KAMU BUKAN ANAK SAYA LAGI!"

Mendengar kalimat itu keluar dengan lancarnya dari mulut sang papa, membuat Haura tersenyum sinis.

"Kalau bisa memilih aku juga nggak akan mau lahir dari keluarga ini, apalagi punya papa seperti Anda." Haura terkekeh meremehkan.

Benar kata Brian, Haura sudah banyak berubah. Haura yang sekarang bukan lagi Haura yang dulu, yang hanya bisa diam sambil menangis menerima setiap cacian dan makian dari papanya.

"Berani kamu bilang begitu?!" bentak Denis.

"Kenapa tidak? Anda yang membuat saya jadi seperti ini!"

Denis menggeram marah. "Dasar anak sialan! Anak kurang ajar! Beraninya kamu menyalahkan saya dan merusak pesta ulang tahun saya!"

"Kalau bukan karna terpaksa, aku nggak akan mau menginjakkan kaki di neraka ini!"

Plakk!

Satu tamparan mendarat mengenai pipi mulus Haura, dengan spontan Haura memegang pipi bekas tamparan itu.

Kejadian beberapa tahun lalu terulang kembali, tapi yang berbeda sekarang Haura diperlakukan seperti tadi di depan banyak orang.

"PERGI KAMU DARI SINI! JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI LAGI DI RUMAH SAYA, ANAK SIALAN!" teriak Denis dengan berapi-api.

"Mas!" Mama Haura menangis histeris saat melihat putrinya diperlakukan seperti tadi. Namun Denis tidak menghiraukan sang istri.

Lain halnya denga Brian, cowok itu hanya diam mematung menyaksikan apa yang terjadi dengan keluarganya.

Haura tertawa hambar. "Tenang saja, rumah ini terlalu kotor untuk aku datangi, Tuan Denis yang terhormat."

Setelah mengatakan itu, Haura  langsung pergi meninggalkan mereka. Keluar dari tempat yang lebih pantas disebut neraka itu.

Di sisi lain, Arsya mendengar jelas semua keributan tadi dari balik dinding. Ia sengaja tidak menghampiri Haura tadi karena ingin menyaksikan apa yang terjadi terlebih dahulu.

Perasaan tak karuan menghampiri Arsya. Sama dengan beberapa tahun yang lalu.

Dengan wajah yang sudah memerah menahan emosinya, Arsya keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri orang tua Haura.

"Anda sangat tidak pantas disebut papa!"

Setelah mengatakan kalimat itu tepat di depan wajah Denis,  Arsya pun pergi menyusul Haura.

¤¤¤

I'm comeback!

Part ini drama banget ya wkwk.
Maap kalau feel-nya nggak dapat.

Cuma mau bilang kalau bintang ada di pojok kiri^^
.
.
.
.
.

'Jadikan Al quran sebagai bacaan utama.'

Salam manis,
Fuji

HAURA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang