Dua puluh tujuh

26 7 0
                                    

Happy reading!

***

Dengan cepat, Arsya mengambil motornya yang terparkir rapi di depan rumah mewah itu. Lalu segera menyusul Haura.

Arsya menggenggam stang motornya dengan kuat, menahan emosinya agar tidak keluar. Nafasnya terengah-engah dengan mata yang terus menyusuri setiap sudut jalanan, mencari keberadaan cewek yang beberapa menit lalu bersamanya.

"Haura!" teriak Arsya saat matanya menangkap sosok cewek yang tengah duduk di trotoar sembari menenggelamkan wajahnya menggunakan telapak tangan.

Motor Arsya berhenti tepat di depan cewek itu. Arsya pun segera duduk di samping Haura, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Sepersekian detik kemudian, Arsya langsung membawa Haura ke dalam pelukannya. Mengusap pelan rambut hitamnya, seakan menyalurkan kedamaian pada cewek yang nyatanya rapuh itu.

Sadar akan perlakuan Arsya, Haura pun membalas pelukannya, menangis terisak di sana. Tubuhnya bergetar hebat membuat Arsya menjadi tidak tega.

"Nangis aja sepuasnyanya, jangan ditahan-tahan," ujar Arsya dengan tangan yang masih setia mengusap rambut hitam Haura.

"Gue capek, Ar." Haura kembali terisak. "Gue capek dengan hidup gue ini."

"Sebenarnya gue itu anak papa atau bukan sih?" Haura menarik tubuhnya dari pelukan Arsya, lalu menatap cowok itu dalam.

Sementara Arsya hanya bisa diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Gue pikir, malam ini akan menjadi malam yang panjang buat gue dan keluarga. Bisa kumpul bareng lagi, melepas rindu karna udah lama nggak ketemu." Haura terdiam sebentar.

"Tapi nyatanya, yang gue dapat malah sebaliknya. Tamparan, makian, dan parahnya gue gak dianggap sebagai anaknya sama sekali!"

Arsya masih diam mendengarkan cewek di sampingnya mengeluarkan keluh kesahnya. Matanya dari tadi tidak lepas memandang wajah cantik Haura yang terlihat lelah itu.

Haura pun tersenyum miris. "Harusnya gue dengar kata Oma tadi. Kalau gue denger kata Oma, setidaknya kebencian gue pada mereka nggak semakin bertambah."

Haura kembali menelungkupkan wajahnya menggunakan telapak tangan. Arsya pun merangkul bahu Haura, memenangkan cewek itu.

"Udah nangisnya?" Haura mengangkat kepalanya, melirik ke arah cowok di sampingnya.

Tak lama kemudian, Haura pun mengusap cepat air mata yang mengalir di pipinya.
"Sorry, gue jadi nangis di dekat lo."

Arsya tersenyum hangat, tangan kekar cowok itu pun bergerak mengusap-usap rambut hitam Haura. Membuat cewek itu terdiam seketika.

"Gue seneng lo mau cerita sama gue, mau nangis di depan gue," ucap Arsya.

"Tadi itu gue refleks," ucap Haura gugup.

"Masa sih?" jahil Arsya.

"Iya ih." Haura menggembungkan pipinya, membuat dirinya menjadi semakin gemas di mata Arsya.

Arsya terkekeh. "Mau es krim?"

Mendengar itu, mata Haura langsung berbinar. Arsya pun terkekeh melihat tingkah cewek di sampingnya.

"Hapus dulu air matanya." Entah dorongan dari mana, Haura mau-mau saja menuruti kata Arsya. Dengan cepat, dihapusnya sisa-sisa air mata yang masih menempel di pipinya. Melihat itu, Arsya lagi-lagi tersenyum.

"Let's go!" ucap Haura dengan semangat setelah bangkit dari duduknya.

"Let's go!" balas Arsya tak kalah semangatnya.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama. Menyusuri setiap sudut jalanan, memakan es krim, dan bercanda tawa bersama.

Setidaknya, Arsya telah berhasil membuat cewek itu tersenyum lagi. Menyaksikannya tertawa saat memakan es krim saja sudah cukup membuat Arsya bahagia.

***

Heyoo, i'm comeback!
Setelah sekian lama berdebat dengan pikiran sendiri, akhirnya bisa up lagi.

Maap ya, kali ini pendek.
Semogaa sukaa~

Vote dan komen jangan lupa yaw

Lope sekebon <3

Salam hangat,
Fuji

HAURA (COMPLETED)Where stories live. Discover now