Sepi (Satya Ver.)

7.2K 1.2K 115
                                    

Hari ini gue pulang sedikit lebih lama. Ada beberapa kerjaan yang nanggung kalau enggak sekalian beres. Alhasil pukul 6 sore gue baru sampai rumah.

Oh iya Alika juga udah kuliah. Hari terhitung 3 minggu dia menjadi mahasiswa. Siang tadi Alika ngabarin kalau dia lolos seleksi BEM Fakultas tahap 1, dan sore ini dia bilang mau ada meet up sama beberapa anggota BEM untuk seleksi tahap 2.

Dalam 3 minggu ini, sering banget gue mendapati rumah masih dalam ke adaan gelap karena Alika yang biasanya ada di rumah sekarang udah mulai sibuk. Memang enggak setiap hari Alika pulang sore atau malem, tapi setiap itu terjadi... Gue merasa aneh.

Gue enggan untuk mengakui perasaan yang kini tengah menyelimuti diri gue. Karena rasanya aneh kalau gue mengeluh kesepian.

Gue duduk sejenak di ruang TV, tempat dimana gue biasa menghabiskan waktu gue ketika di rumah. Buru-buru gue nyalain TV agar rumah lebih terlihat hidup.

Sejujurnya gue enggak suka dengan keadaan sepi. Dari dulu pun begitu. Walaupun gue sedari dulu bukan anak yang berisik, lucunya gue selalu suka berada di keramaian meskipun yang gue lakuin hanya mengamati atau mendengarkan.

Gue enggak pernah benar-benar kesepian seumur hidup gue. Karena meskipun tinggal berdua sama anak gue, tapi adanya Alika di deket gue benar-benar menjadi teman terbaik untuk mengusir suasana sepi.

Gue menekan perasaan yang seakan ingin mengeluh karena rumah benar-benar sepi. Bayangan gue akan lebih sering duduk sendirian di rumah tiba-tiba menari-nari.

Satya, dimana keprofesionalanmu sebagai Ayah?

Baru juga 3 minggu anak kamu kuliah. Kenapa batin kamu seakan sambatnya kayak tinggal 3 abad?

Untuk mengusir perasaan-perasaan aneh dan enggak nyaman, gue masuk ke kamar dan membersihkan diri. Setelahnya gue memilih menunggu Alika pulang dengan ngaji. Namun baru 3 halaman, gue udah menutup qur'an dan kini duduk di ruang tamu.

Berharap Alika cepat pulang.

Iseng gue membuka aplikasi chat dan baru gue lihat 15 menit yang lalu Haru mengirim pesan.

Mamanya Alika
Mas Alika pulang malem ya?
Tadi aku kebetulan lewat. Aku taruh makanan di meja teras ya?

Maaf baru bales.
Makasih

Mamanya Alika
Iya.
Nanti diangetin dulu. Soalnya aku chat satu jam yang lalu. Makanannya pasti dingin

Kamu di mana?

Mamanya Alika
Di RS.

Mau makan di luar?

Mamanya Alika
Kamu nggak sibuk?

Enggak.
Kalau mau, saya bisa jemput.

Mamanya Alika
Boleh, kebetulan bisa.

Gue butuh teman bicara.

Sengaja gue enggak tanya apakah Haru udah makan malam atau belum. Karena jika jawabannya udah makan gue akan berakhir sendirian di rumah. Gue butuh teman bicara untuk menghilang rasa sepi di rumah.

***

"Alika udah tau balik jam berapa?" tanya wanita yang telah menyelesaikan makan malamnya itu.

"Belum. Mungkin nanti jam 9."

"Nanti Mas jemput?"

"Enggak, dia enggak mau di jemput. Mungkin bareng sama temennya," jawabku lagi.

"Dari rumah sakit jam berapa tadi?" kini giliran aku bertanya.

"Jam 6 tadi."

"Rumah enggak ada Alika sepi ya Mas?" lanjutnya.

"Iya, sepi."

Haru mengangguk.

"Tapi mungkin lebih sepi apartemen kamu."

Sejak bercerai apartemen yang dulu gue tinggalin bersama Alika dan Haru memang sengajan gue tinggalin. Saat itu, gue sama sekali enggak peduli harta gono-gini, jadi apapun keputusan pengadilan selain menyangkut hak asuh anak, gue terima.

Mereka boleh ambil apapun. Tapi jangan pernah coba ambil Alika dari gue.

Setelah gue cerita sama Jaerend —yang mana merupakan orang pertama yang gue ceritain tentang keputusan untuk mengakhiri 9 tahun pernikahan gue. Jaerend menawarkan sebuah rumah di Citra Gading yang sebelumnya dimiliki seorang WNA. Awalnya memang gue tolak, karena 10M bagi gue sangatlah mahal dan belum tentu bank mau minjemin uang sebanyak itu.

Dan lagi-lagi Jaerend berperan besar lagi. Dia meminjamkan uang sebesar harga rumah itu tanpa jaminan apapun ke gue. Sebenernya gue menolak keras, karena prinsip gue dalam berteman adalah gue enggak mau ngelibatin uang disana. Ketika uang udah masuk dalam lingkaran pertemanan, enggak jarang mereka renggang juga karena masalah itu.

Putri kemudian membujuk gue. Pertimbangannya sangatlah banyak. Yang pertama rumah itu deket sama Jaerend dan Putri, jadi kedepannya akan lebih mudah juga buat dua teman gue itu membantu mengawasi Alika. Yang kedua, harga yang ditawarkan ke gue pada waktu itu tergolong murah untuk sebuah rumah di Citra Gading, bahkan kalau suatu saat gue mau pindah gue bisa jual 3x lipat dari harga yang gue beli.

"Iya Mas, memang sepi."

"Kamu bisa tahan tinggal seperti itu selama bertahun-tahun?"

Yang dapatkan adalah senyum tipis yang dipaksakan dan terasa berat.

"Kalau dulu mungkin aku bisa membunuh perasan sepi itu dengan kerja dan banyak belajar buku-buku kedokteran Mas."

"Lalu sekarang?"

"Sekarang..."

"Sekarang semuanya terasa enggak berarti. Dulu aku berpikir kalau aku enggak kerja keras dan terus belajar, maka usaha aku akan sia-sia. Aku merasa adalah bentuk dari ke egoisan manusia. Yang aku rasakan sekarang seperti karma, mengeluh pun aku merasa enggak pantas. Orang-orang bilang, selalu ada kesempatan kedua, tapi bagiku kesempatan kedua terasa fana karena semua ini terjadi karena aku yang memulai." Matanya berair tapi enggak sampai menetes di pipinya. Senyum yang dipaksakan kembali terukir diwajahnya. "Kok jadi kemana-mana sih?" lanjutnya yang seakan ingin mengganti topik pembicaraan.

"Mas sendiri gimana? Kalau Alika balik malem?"

Gue menarik nafas panjang sambil melipat tangan di dada. "Rumah rasanya kosong tanpa dia. Walaupun kadang Alika di rumah juga diam karena belajar atau ngerjain tugas, tapi hadirnya Alika itu bikin rumah jadi hidup."

"Mas enggak terbiasa kesepian," ujarnya paham.

Oke, mau bagaimana pun, gue sama Haru berpacaran selama 2 tahun dan menikah selama 9 tahun. Meskipun kami akhirnya berpisah, tapi waktu kami bersama juga berperan penting dalam mengenal kepribadian satu sama lain.

"Iya."

"Mas dulu selalu dikelilingi banyak orang. Meskipun Mas kadang terkesan galak, tapi kamu selalu punya cara buat dekat dengan teman-teman Mas."

"Dari pertama kali ketemu sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa, banyak orang yang selalu ingin ada di dekat kamu. Pemikiran kamu, cara kamu bicara, semuanya orang suka. Mas pasti gak lupa kan, gimana orang-orang disekitar kamu selalu suka rela nawarin diri buat nemenin Mas kemanapun. Bahkan buat minta tanda tangan dosen aja, selalu ada aja mahasiswa yang di deket kamu. Aku enggak heran Mas kalau kamu enggak terbiasa kesepian," lanjutnya sambil mengurai memory.

"Mungkin aku cuma belum terbiasa."

"Tapi mau bagaimana pun, kesepian itu enggak enak," tutup gue.

Satya and His DaughterWhere stories live. Discover now