Goodbye Pili

6.4K 1.2K 51
                                    

"Alika," panggil Ayah.

Aku belum menjawab karena sedang sibuk mengolesi lem kertas pada kardus.

"Sayang..."

"Iya bentar Yah..." jawabku akhirnya.

"Pili dikasih makan belum? Kok dari tadi lompat-lompat terus?"

"Ya kan kelinci emang loncat Yah, kalau dia berenang namanya ikan." Aku menjawab sekenanya.

"Kalau belum dikasih makan, mau Ayah masih makan."

Ah, dasar Pili. Si kelinci obesitas yang suka caper.

Aku baru tau kalau hewan bisa cari perhatian. Contohnya si Pili. Dia bakalan terlihat lebih aktif di depan manusia kalau lagi minta dikasih makan. Padahal dia udah makan!

Tapi mungkin salah aku juga sih... Soalnya sebelum tau kalau Pili obesitas, setiap kali dia caper lompat-lompat di depanku pasti aku kasih makan lagi. Kata Ayah kan gak boleh nyiksa hewan, yaudah dulu aku kasih makan aja Pili, tanpa tau takaran yang pas untuk kelinci itu.

"Udah Ayah."

"Palingan lagi caper itu. Minta dikasih makan lebih," lanjutku sambil mengemasi barang-barang ospek yang masih berserakan di lantai kamar.

Lantai sudah bersih ketika barang-barang yang tadinya berserakan, sudah aku rapikan di keranjang besar. Aku mematikan lampu kamar dan kemudian bergabung bersama Ayah yang sedang menonton TV.

Pili, si kelinci obesitas itu dengan nyamanannya duduk di pangkuan Ayah. Ayah sebagai induknya, dengan telaten mengusap lembut bulu kelinci gemuk itu. Padahal harusnya yang di usap-usap lembut itu kepalaku.

"Geser Pil. Gantian," candaku pada kelinci itu. Ayah terkekeh pelan ketika aku mengambil Pili dan memeluknya, kemudian aku memposiskan diri dengan kepala di pangkuan Ayah, sementara Pili masih di pelukanku.

"Kamu aku peluk aja," kataku lagi pada Pili.

"Peliharaannya sama yang punya sama. Sama-sama manja," ujar Ayah yang kini mengusap rambutku.

"Ada artikel berita yang bilang, kalau kita deket sama hewan kesayangan kita, mereka jadi mirip sama kita tau Yah..."

"Iya kah? Berarti Pili beneran mirip sama kamu?"

"Dikit."

"Dek, besok kalau kamu kuliah nih. Semisal kamu ada kelas pagi sampai sore, nanti yang kasih makan siang kelinci kamu siapa?"

Ah bener! Aku belum kepikiran. Kan selama Pili disini kebetulan aku selalu bisa kasih dia makan siang.

"Iya ya Yah? Aku baru kepikiran ini. Terus gimana? Dititipin Tante Putri aja apa ya?"

Ayah malah tertawa. "Masa iya Tante Putri disuruh jagain kelinci sih Sayang?"

"Ya mau gimana? Kalau sewa babysitter juga gak mungkin. Aku yang manusia aja gak dipakaiin babysitter.

Tangan Ayah bergerak mencubit pipiku.

"Ayah punya ide?" tanyaku sambil mendongak menatap wajahnya yang dari sudut pandang ku terlihat dagu Ayah yang kelihatan lamat-lamat jenggotnya belum dicukur.

"Anaknya Om Wildan yang paling kecil setelah lihat kelinci kamu jadi pengen. Dikasih ke Om Wildan aja gimana?"

Aku mengerucutkan bibir. "Jangan... Nanti aku gimana?"

"Masalahnya enggak ada yang ngurusin waktu siang Sayang. Mahasiswa meskipun kelihatan banyak waktu luangnya, tapi disela-sela waktu luang itu terkadang banyak kerjaan juga loh Dek."

"Contohnya kerja kelompok, kalau di bangku perkuliahan terkadang kalian enggak dibentuk menjadi kelas yang sampai lulus bakalan bareng Dek. Kalian nanti pasti ribet janjian karena waktu antara satu sama yang lain suka gak match. Belum lagi kalau kamu ikut organisasi. Sibuk Dek, waktu ada, tapi gak jamin bisa ngerawat kelinci. "

"Yah... Tapi aku sayang sama Pili..." aku merajuk.

"Kalau kelincinya enggak keurus kasian Alika."

Aku mencebikkan bibir dan memikirkan saran dari Ayah selama beberapa saat. Aku masih belum mau kalau harus pisah sama kelinci obesitas itu.

"Kalau di rumah Om Wildan kan istrinya ada di rumah, rame juga, jadi insyaallah Pili keurus kok." Ayah berusaha membujukku.

***

Setelah bertapa bersama Pili —dan akibat dari bujukan Ayah yang berkepanjangan, akhirnya aku setuju buat ngasih Pili ke Om Wildan.

So sad...

Rasanya kayak pisah sama adik sendiri.

Aku turun dari mobil dengan yang lesu. Sementara Ayah merangkulku sambil membawa kandang Pili.

"Alika! Selamat ya sekarang jadi mahasiswa!" seru Om Wildan sambil membuka pintu rumahnya.

"Makasih Om. Tapi sekarang ada yang lebih penting."

Om Wildan membuat kerutan di dahinya. "Apa?"

"Pili."

"Oh... Hahaha, gausah khawatir. Pili bakalan dirawat dengan baik."

Aku duduk di sofa ruang tamu, sementara Ayah diam sambil memandang ke arahku lembut.

"Masih gak ikhlas Wil," ujar Ayah.

"Iya..." Aku mengiyakan.

"Kan rumah Om gak jauh-jauh amat Al. Kamu bisa main kapan aja ke sini kalau kangen sama Pili."

"Dengerin Om Wildan," kata Ayah.

Aku kemudian menatap Pili yang diam di kadangnya. Duh, makin sedih.

"Janji rawat Pili dengan baik ya Om?"

"Iya janji..."

Aku kembali menghela nafas berat. "Oke, kalau gitu mulai hari ini Pili hak asuhnya aku kasih ke Om Wildan."

Om Wildan tertawa. "Iya, makasih ya Alika udah kasih hak asuh Pili ke Om."

Aku kemudian bergerak untuk membuka kadang Pili. Aku menggendong Pili, yang mungkin setelah ini aku bakalan jarang ketemu dia. Tanganku membetulkan pita merah di telinga panjangnya.

Perasaan baru kemarin Kak Fay, temen kantor Ayah bawain kelinci ini ke rumah. Dan sekarang aku harus nganter Pili ke rumah keluarga barunya.

"Da... Kamu baik-baik ya," gumamku pelan. Kemudian aku menatap Om Wildan yang tengah memperhatikan ku menggendong Pili.

"Ini," kataku sambil mengangkat Pili dan memberikannya ke Om Wildan.

Dengan cekatan Om Wildan langsung menggendong Pili. "Kamu gausah khawatir pokoknya. Nanti Om anggep Pili kayak anak Om, okay?!"

"Awas aja ya kalau Pili digencet-gencet."

"Uhuk!" Ayah pura-pura terbatuk.

Iya aku tau, batuknya nyindir aku yang kalau lagi gemes suka nyubitin perutnya Pili.

"Inget juga ya Om. Pili lagi program diet. Jangan dikasih makan banyak-banyak."

"Siap Alika. Ada lagi?"

"Kalau bisa cariin Pili temen. Dia jomblo kasian sendirian terus. Kalau bisa kasih yang cowok juga temennya. Pili kelinci caper, nanti kalau dikasih temen cewek pasti genit."







Satya and His DaughterHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin