Fokus Alika

6.6K 1.2K 119
                                    

"OM JAEREND KAKINYA CALVIN USIL!" teriakku yang sedang berada di ruang tamu rumah mereka.

"Gigit aja Al. Om ikhlas," jawab Om Jaerend dari ruang kerjanya.

Hari ini aku sama Calvin janjian mau cari perlengkapan ospek. Tapi berakhir dengan gak jadi, Calvinnya ketiduran sampai jam 5 tadi. Kalau aku enggak nyamperin ke rumahnya mungkin dia masih tidur.

Akhirnya aku berakhir di ruang tamu rumahnya sambil nonton TV. Kaki usil Calvin sedari tadi dia taruh dengan enggak sopan di kakiku. Calvin dengan posisi rebahan dan aku di posisi duduk bersandar pada sofa.

"Berat Vin." Tapi si empunya pura-pura enggak denger.

"VIN!" Pekikku sambil mencubit kakinya.

"Hish!" akhirnya dia mengangkat kakinya.

"Vin! Senin tuh kita ospek!"

"Iya tau." Calvin masih memeluk gulingnya.

"Katanya mau ngerjain bareng? Tau gitu aku bikin sendiri atributnya!"

"Ck! Santai gitu loh. Ini masih ada 5 hari Alika."

Aku mendengus.

"Lo nonton TV dulu aja. Ntar kardus, kertas-kertasan, pita-pitaan dateng sendiri."

Aku memilih diam. Sebenernya pengen pulang, tapi Tante Putri nyuruh stay sampai masakannya selesai.

Kira-kira 15 menit kemudian ada suara mobil yang berhenti di depan rumah Calvin.

"Nah tuh," gummam Calvin.

"Vin? Eh? Ada Alika juga."

Astaga! Calvin!

"Kak?!" Aku buru-buru mengambil alih kardus dan beberapa plastik ditangan. Sementara si kejam Calvin masih rebahan santai di karpet.

"Thanks Bro!" kata Calvin.

"Hmmm."

"Kakak di suruh Calvin mau?!"

"Tadi sekalian nganterin Chlara les," jawab Kak Riel yang sedang duduk di sofa dengan jacket hitam yang terlihat cingkrang namun tidak kekecilan. Satu persamaan Calvin dan Kak Riel, mereka sama-sama tinggi, gen Papa mereka sepertinya sangat memengaruhi.

"Ini tuh buat bikin atribut ospek Kak. Senin depan aku sama Calvin kan udah mulai ospek. Kita satu fakultas juga, jadi penugasan buat ospek fakultas sama." Aku menjelaskan panjang lebar.

Kak Riel mengangguk paham.

"Ck!" tiba-tiba Calvin mendengus sendiri setelah membuka smartphone-nya.

"Al!" serunya padaku yang membuatku kaget.

"Apaan?"

"Dery lo apain deh?!"

"Hah? Apain apanya? Aku gak ngapain-ngapain dia," jawabku apa adanya. Sementara Calvin mengusap wajahnya kesal

"Dery nanya apa sama lo?"

"Oh... Dia nan-" kemudian aku tersadar. Apa jangan-jangan kata-kataku di pesan terakhir yang aku kirim ke dia berlebihan ya?

"Apa?" tanya Calvin menuntut.

Aku menggaruk kepalaku yang sebenernya enggak gatal. "Aku... Aku cuma bales aku belum mau pacaran."

Calvin membuang nafas kasar. "Paaa, aku boleh ngomong kasar ga sih?!" tanya Calvin.

"Boleh, tapi denda satu juta," jawab Om Jaerend yang masih berada di ruang kerja.

Kak Riel yang sedari tadi diam kemudian bersuara, "Emang sebelumnya temen lo chat apa Al?"

"Plis, aku gatau kalau maksud dia itu ke situ. Dia cuma tanya apa enggak kepikiran buat pacaran? Kan udah lulus SMA. Karena emang aku belum ada kepikiran ke sana..."

Calvin menggelengkan kepala. "Tapi Al. Kalau begini endingnya lo sama aja mainin dia Alika. Di awal harusnya lo kasih sign biar dia gak makin maju! Itu si Aheng sampai nyamperin bokap lo, terus tiap mau ngajak lo jalan pasti izin sama bokap lo, aduh itu ya menurut ashhhh."

Kak Riel malah terkekeh pelan. "Al, gak semua cowok itu bisa lo ajak temenan deket kayak Calvin."

"Nah, dengerin tuh Al!"

Aku menipiskan bibir. "Aku pikir dia paham. Aku suka main sama Dery, aku juga suka sama kepribadian dia, tapi kalau buat pacaran aku belum tau. Gimana ya, aku gak bakalan bisa prioritasin hal itu."

"Parah Al... Terus bedanya lo sama cowok-cowok buaya di luar sana apa?" sindir Calvin.

Aku merasa bersalah juga. Tapi mau gimana lagi? Aku belum bisa kalau harus ke tahap pacaran.

"Padahal Ayah lo sama Aheng oke-oke aja loh Al."

"Om Satya bolehin Alika pacaran?" tanya Kak Riel.

"Iya. Asal jelas aja cowoknya," jawab Calvin.

"Nanti aku coba bilang sama Dery deh."

"Al. Lo itu enggak heartless kan? Gue was-was banget sama lo."

"Ya enggak lah Vin. Aku juga gak enak,  aku pikir ya kita cukup begini aja."

***

Aku keluar dari rumah Calvin sekitar pukul 8 malam. Kak Riel berbaik hati mengantarku pulang sebenarnya jarak rumah Calvin dengan rumahku itu enggak jauh, paling cuma 15 menter karena hanya berjarak 1 rumah aja.

"Bye Kak," pamitku yang hendak membuka pagar.

"Al?"

"Ya?" jawabku yang berbalik kembali.

"Kamu beneran enggak tertarik buat pacaran?" tanyanya dengan memasukkan kedua tangannya ke saku jacketnya.

"Enggak, mungkin buat beberapa waktu kedepan. Aku mau fokus kuliah Kak. Aku dapetin ini semua enggak mudah, makanya aku mau hasilnya nanti juga bisa bikin Ayah bangga." Aku menatap langit sambil membayangkan masa depan. Yang ada di pikiranku di masa depan adalah bikin Ayah bangga.

"Good luck ya kuliahnya." Suara Kak Riel membuatku mengalihkan pandanganku ke arahnya.

"Kalau kakak gimana? Prioritas kakak sekarang apa?" tanyaku penasaran.

"Sekarang ya? Kalau aku sih jujur gak bisa kalau disuruh fokus sama 1 aja. Yang jelas aku bakalan lakuin apapun yang aku suka, aku bakalan ngejar sesuatu yang menurut aku memang worth buat di perjuangkan buat masa depanku Al. Apapun itu, selagi baik buat aku dan enggak ngerugiin orang lain," ujarnya panjang.

Saat ini Kak Riel enggak sedang tersenyum, tapi matanya seolah tersenyum padaku.

"Jawaban kakak bagus," pujiku.

Kak Riel sama seperti Calvin. Keluarganya untuh, mereka di besarkan dari keluarga yang harmonis. Berbeda denganku yang rasanya aku cuma punya Ayah, meskipun Mama akhir-akhir ini terasa lebih dekat, tapi sulit mensetarakan posisi Ayah dan Mama.

Semua langkahku, pilihanku, semuanya ada bayangan Ayah disana. Aku enggak menyebutnya beban. Aku sama sekali enggak terbebani karena aku memang menjadikan Ayah yang nomor 1.

Sejujurnya dapat perhatian dari orang lain yang enggak hubungan darah atau kerabat, itu menyenangkan. Bersama Dery itu menyenangkan, kadang wajahku juga akan menjadi merah. Tapi aku takut, takut kalau hubungan itu berkembang, aku malah jadi lost fokus.

Aku kemudian menekan perasaan itu. Akhirnya aku membuangnya jauh-jauh dan menganggap semua yang aku alami di awal aku berkenalan dengan Dery adalah euphoria sementara. Inginku, aku cuma mau berteman saja, enggak lebih. Karena aku juga enggak bisa kalau lebih dari itu.

Dia mengulas senyum sejenak. "Alika, kamu sayang sama Ayah kamu banget ya?"

"Hu'um. Banget."

"Alika. Kita ini masih muda. Selagi orangtua kita gak membatasi, kenapa kita enggak seneng-seneng kayak anak-anak lain?"

Karena aku enggak bisa...

Akhirnya aku hanya menggeleng pelan.

"Alika I wish I could stay here a little longer."




Satya and His DaughterWhere stories live. Discover now