Menjadi Ayah

738 91 7
                                    

Hinata menghela nafas membaca isi chat grup LIME klub voli Karasuno. Entah sebenarnya semua anggota tim sudah mengetahui apa yang terjadi sehingga menyindir-nyindir Hinata, atau memang mereka sedang kecewa berat karena kekalahan mereka terhadap Aoba Johsai.

Yamaguchi : Andai saja Hinata tidak pindah sekolah, mungkin kita bisa menang.

Tanaka : Benar, mengapa Hinata harus pindah, sih ?!

Hinata menghela napas lagi. Dia sudah berbohong dengan alasan 'pindah sekolah', namun dari isi percakapan di grup LIME, tampaknya sebenarnya tim Karasuno sudah mengetahui apa yang terjadi.

"Sho Kun, ayo siap-siap." Suara lembut Yachi membuyarkan Hinata yang baru saja mengetikkan pesan untuk klub voli. "Eh ? Kita mau kemana..." Hinata memutar otak. "Kamu lupa ? Kita akan cek ke dokter kandungan." Hinata menepuk dahinya. Bagaimana ia bisa lupa mulai sekarang dirinya dan Yachi harus cek rutin ke dokter kandungan tiap sebulan sekali ?

"Natsu, Oni-Chan sama Yachi Nee-san mau pergi dulu, ya !" Pamit Hinata, yang dibalas sahutan 'yaaa...' panjang dari adiknya. Natsu tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, karena menurut versi cerita Ayah Hinata yang diceritakan pada Natsu, Oni-chan berhenti sekolah karena sudah menemukan istri yang cocok. 

Baik Madoka maupun Ayah Yachi belum mau menemui putrinya kecuali saat hari pernikahan. Mungkin, mereka masih kecewa berat dan tidak ingin melihat wajah Hinata yang sudah menghamili putri mereka. 

Hinata membukakan pintu untuk istrinya, kemudian masuk mobil setelah Yachi masuk. Ayah Hinata tancap gas setelah mengecek putra dan menantunya sudah memasang sabuk pengaman. "Sho Kun, masih terasa sakit, kah ?" Yachi menatap pipi suaminya yang memerah, bekas ditampar puluhan kali oleh tiga tangan berbeda : Ayah Hinata, Ayah Yachi, dan Madoka.

"Tidak apa-apa. Aku sudah tidak merasa sakit lagi." Hinata tersenyum. Hinata langsung teringat chat di grup tim yang belum sempat dibalasnya. Dia mengeluarkan ponsel, dan mulai membalas chat.

Iya, nih, sedih bgt. Nggak ngerti kenapa Oba-san harus pindah tugas ke Osaka, huhu. TT.

"Sho Kun, kalau nanti kebohongan kita terungkap bagaimana ?" Yachi cemas membaca pesan yang dikirim Hinata di grup. "Jika nanti mereka tahu...." ucapan Hinata terpotong. "Orangtua kalian yang akan menanggung malu dan kalian akan diusir dari rumah." Seketika Hinata dan Yachi terdiam mendengar kalimat Ayah Hinata.

"Kalian punya waktu dua minggu lagi untuk berpikir, serahkan bayinya atau kalian berkeluarga sendiri di luar sana." Lagi-lagi Ayah Hinata menyebutkan dua pilihan sulit itu. "Tapi, Pa...." Ayah Hinata menyela. "Kalian mau keluarga kalian malu atau bagaimana ?". Seketika, mobil hening. Baik Hinata maupun Yachi tidak bisa berkata-kata. Namun tak berlangsung lama karena akhirnya mereka tiba di klinik kandungan.





Dokter kandungan yang merupakan teman Ayah Hinata ( yang menurutnya bisa dipercaya untuk menjaga rahasia ) menyerahkan beberapa lembar kertas. "Yachi-san belum siap menjadi ibu." Ujarnya, lembut. "Rahimnya belum kuat. Sho-Kun, saya rasa, kamu benar-benar harus belajar menjadi suami." Agar tidak membuat Shoyo tersingungg, dokter wanita itu tersenyum.

"Ini pedoman gizi yang diperlukan Yachi-san, kamu harus mengawasinya." Dokter tersebut menunjukkan salah satu berkas. "Dan juga, jangan sampai Yachi-san stress, karena jika istrimu stress maka juga berpengaruh pada bayinya. Oiya, sama satu lagi, jangan sampai Yachi-san terjatuh atau terlalu banyak bergerak karena bisa menyebabkan keguguran." Hinata mengangguk mantap. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang baik.

"Usia kandungan Yachi-san sudah berapa bulan, dok ?" Tanya Hinata. "Sudah tiga bulan, Nak." Hinata hanya ber-oh pelan.  "Kalau usia kandungannya empat atau lima bulan, masih bisa diajak jalan-jalan tidak ?" Tanya Hinata lagi. "Memangnya kenapa, Nak ?" Dokter itu tertawa kecil.

"Emmm..." Hinata menatap Yachi yang mulai salah tingkah. "'Kan tadi Bu Dokter bilang jangan sampai Yachi-San stress. Bulan depan saat musim panas, saya mau ngajak dia jalan-jalan."

"Ha ! Emmmm...."

Yachi menutupi wajahnya yang memerah. Sho Kun, kenapa kamu polos sekali, sih, jadi cowok ?!

Dokter hanya tertawa. "Ya ampun, rupanya Sho Kun sudah paham, ya, gimana caranya jadi suami yang baik." Hinata menoleh, melihat Ayahnya yang menutupi wajah. Hinata tidak mengerti apa salahnya sampai-sampai istri dan ayahnya merasa malu. 

Seusai cek kandungan, mereka bertiga kembali ke mobil. "Shoyo, lain kali jangan ngomong begitu di depan Bu Dokter, ya." Kali ini Yachi setuju dengan bapak mertuanya. "Lah ? Memangnya kenapa, Yah ? 'Kan, kata Bu Dokter jangan sampai Hitoka stress, jadi yaudah Sho bilang aja kalau Shoyo akan ajak Hitoka jalan-jalan." Jawab Hinata, polos. "Ya tapi nggak usah sampai dikasih tau rencana ngajak jalan-jalannya juga, kali !" Ayah Hinata memijit kepalanya. 

"Oiya, Ayah, kalau soal pekerjaan, Shoyo boleh mulai cari lowongan sendiri, nggak ?" Hinata mengalihkan topik pembicaraan. Yachi tertegun, tak menyangka bahwa Hinata 100% tidak berbohong bahwa dirinya akan bertanggung jawab. Yachi pikir, Hinata hanya akan sebatas menikahinya. Namun rupanya, Hinata benar-benar tahu apa yang harus dilakukannya sebagai calon ayah. "Boleh banget !" Ayah Hinata tampaknya bangga dengan sikap tanggung jawab putranya. 

Setibanya di rumah, Hinata langsung mencari informasi seputar lowongan kerja paruh waktu untuk anak SMA. "Sho Kun, kamu tapi jangan cari kerja yang pulangnya malam, ya." Hinata menoleh, menatap istrinya yang berbaring di ranjang. "Lho ? Kenapa ?" Hinata mengedip polos, tak mengerti. "Nanti aku kangen." Yachi tersenyum manja. Kalimat manja Yachi sukses membuat hati Hinata meleleh, belum lagi senyuman manjanya yang membuat Hinata merasa seolah mereka masih sepasang kekasih anak SMA biasa yang merajut cinta di sekolah. 

"Aku, 'kan, kerja buat kamu sama anak kita juga." Hinata tersenyum. "Iya, tapi kamu nggak mau aku stress, 'kan ? Kata Bu Dokter aku nggak boleh stress. Kalau kamu pulangnya kemalaman, ntar aku stress karena kangen." Hinata tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi dan mencolek hidung Yachi, membuat cewek berambut pirang itu terkekeh pelan.

"Jadi istri pinter banget bikin suami makin sayang, ya." Hinata menggelitiki istrinya, membuat Yachi tertawa kegelian. "Ahhh... Sho Kun, jangan gelitikin ! G-geli...." Yachi terus tertawa. "Makanya. Siapa suruh bikin suami makin sayang." Hinata memeluk dan mengecup pipi Yachi. Hinata tahu, menciptakan momen romantis sederhana seperti sekarang ini merupakan langkah awal untuk menjadi suami baik yang membahagiakan istrinya. 

Ibu Hinata diam-diam mengintip dari balik pintu kamar, tersenyum tipis. Dirinya sudah ikhlas, sudah menerima kenyataan pahit bahwa putranya harus menjadi ayah di usia remaja, meskipun belum sepenuhnya. Akan tetapi, setidaknya sikap tanggung jawab putranya membuatnya merasa lebih lega. Kebahagiaan Hinata dan Yachi benar-benar meluluhkan hatinya dan membuatnya lebih ikhlas dalam menerima kenyataan.

Setelah puas bermesraan dengan Yachi, Hinata kembali ke meja belajarnya. Hinata mengambil notes dan pensil, mulai mencatat daftar hal-hal yang mesti dilakukannya.

1. Mencari Lowongan Kerja

2.  Membaca novel romantis agar tahu bagaimana caranya bikin Hitoka bahagia

3. Menjaga kesehatan Hitoka

TBC !

Entah kenapa author malah baper sendiri bikin chapter ini, hehehe...

Yaudah, jangan lupa vote dan comment, ya, nantikan kelanjutannya....

Young Love {COMPLETE}حيث تعيش القصص. اكتشف الآن