The Unwanted Marriage

708 87 3
                                    


Catatan : Disarankan membaca bab ini sambil mendengarkan lagu 'A Thousand Years' Christinna Perri Ost. Twillight : Breaking Down pt. 2

Pemuda bersurai jingga dalam balutan jas rapi itu berdehem, mencoba menenangkan dirinya sendiri.  Hari ini, akan menjadi hari bersejarah dalam hidupnya. Benar, di saat remaja seusianya sibuk belajar, bercengkrama dengan teman sebaya, dan mengejar mimpi, hari ini semua kehidupan remajanya harus sirna dan tergantikan oleh lembaran hidup baru.

Dia datang, pikir Hinata. Jantungnya berdegup keras. Nafasnya menderu. Ingin sekali dirinya lari ke toilet dan muntah. Perutnya seakan jungkir balik saking tegangnya. Sama sekali tak pernah terlintas di benak Hinata bahwa dirinya akan menjadi seorang suami dan seorang ayah di usianya yang semuda ini.

Mata Hinata terpaku pada sosok itu. Benar, sosok perempuan pirang dalam balutan gaun putih dan kerudung putih tipis di kepalanya yang membawa sebuket mawar merah. Rambut pirangnya disanggul dan sedikit dicatok dengan aksesori bunga. Wajahnya tertunduk sendu. Matanya yang sayu berkaca-kaca menatap kosong lantai gereja.

Tidak, jangan menangis, Yachi, jangan menangis. Bahagialah, hari ini kau resmi menjadi Hitoka Hinata, batin Yachi. Yachi melangkah lesu ke altar gereja. Ditatapnya sosok pemuda yang amat dicintainya. Yachi memaksakan senyum getir, meski hatinya terasa begitu pedih menerima kenyataan pahit ini. Bukankah ini yang selama ini dimimpikannya, menikah dengan Hinata Shoyo ? Namun, mengapa mimpinya harus diwujudkan dengan cara yang tragis ?

Hinata tersenyum. "Kau cantik." Wajah Hinata memerah saat mengucapkan kalimat tersebut, begitu pula wajah sang mempelai wanita.  "Jangan sedih. Kita bisa jalani semua ini," bisik Hinata. Yachi menatap mata Hinata yang berbinar, seakan dapat melihat sejuta cahaya bintang di dalam bola matanya. Binar mata Hinata selalu menyorotkan kebahagiaan, membuat siapapun yang melihatnya merasa bahagia, bahkan di situasi paling tragis sekali pun.

Sang Imam menatap kedua mempelai yang masih di bawah umur secara bergantian. "Hinata Shoyo-san dan Yachi Hitoka-san, adakah saudara meresmikan pernikahan ini sungguh dengan ikhlas hati ?" Ujar sang Imam, memulai ikrar janji suci ikatan pernikahan.  Yachi melempar tatapan ke arah Hinata, ragu. Hinata mengangguk dan tersenyum, katakan saja. 

"Ya, sungguh dengan ikhlas hati." Jawab keduanya, mencoba memantapkan diri meskipun hati mereka masih belum siap. "Bersediakah Hinata Shoyo-san menjadi suami dari Yachi Hitoka-san seumur hidupmu ?" Ujar Sang Imam. "Ya, saya bersedia." Hinata menghela napas setelah mengucapkannya.

Ikhlas Shoyo, ikhlas ! Kamu harus menjadi suami bagi Hitoka mulai hari ini, siap atau tidak siap. Seumur hidupmu, kamu harus bertanggung jawab !, Hinata mengingatkan dirinya sendiri. Siap atau tidak siap, inilah risiko yang harus diambilnya. Hinata bukan pengecut, maka ia harus mengorbankan semua mimpinya demi Yachi.

"Bersediakah kau mengasihi dan menghormati istrimu selama hidupmu ?"

"Ya, saya bersedia." Ujar Hinata.

Dia begitu tulus mencintaimu, Shoyo. Cintailah dia seumur hidupmu, apa pun yang terjadi.

"Bersediakah kau menjadi bapak yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepadamu dan mendidiknya kelak ?"

Hinata tidak langsung menjawab. Suara-suara dalam kepalanya terus menerus meneriakinya. 

Ini semua salahmu ! Kau menodai Hitoka ! Gara-gara nafsumu, kau harus menjadi ayah padahal belum siap ! Kau belum siap, Shoyo ! Kau bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengambil keputusan yang tepat di antara kedua pilihan itu !

Hinata memejamkan mata, mencoba mengusir semua keraguan dalam hatinya. Jika tim Karasuno yang dianggap 'gagak tanpa sayap' saja bisa bangkit kembali, maka bukan tidak mungkin juga dirinya yang masih belum siap bisa menjadi seorang ayah yang baik.

"Ya, saya bersedia." Hinata melukis seulas senyum, melepaskan semua beban. Harus bisa. Hinata pasti bisa. 

Sang Imam beralih pada pengantin wanita. "Bersediakah Yachi Hitoka-san menjadi istri dari Hinata Shoyo seumur hidupmu ?" Yachi terdiam sejenak. "Ya, saya bersedia." Suara Yachi bergetar dan lirih, meskipun suaranya menyiratkan bahwa dirinya mencintai Hinata dengan tulus seumur hidupnya.

"Bersediakah kau mengasihi dan menghormati suamimu seumur hidupmu ?" Yachi mencoba menguatkan diri. "Iya, saya bersedia !" Kata Yachi lebih mantap. "Bersediakah kau menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepadamu dan mendidiknya kelak ?" Yachi terdiam seribu bahasa.

Harus siap, Hitoka ! Harus siap ! Mahkluk mungil di perutmu ini tidak bersalah, dia tidak tahu apa-apa ! Kau harus memberinya kesempatan hidup ! Kau harus menjadi ibu yang baik baginya !

Yachi menggigit bagian bawah bibirnya. Mati-matian ditahannya isak tangis sebelum berucap. "Ya, saya bersedia !" Hinata menatap pengantin wanitanya, tersenyum seolah mengatakan : "Nah, begitu, dong."

"Hinata Shoyo-san dan Yachi Hitoka-san, silakan saudara berpegangan tangan sambil saling berhadapan dan ucapkan janji suci pernikahan kalian !"

Keduanya saling menatap. Mata Yachi menatap sendu, namun Hinata tersenyum lembut. "Kita bisa. Kita pasti bisa." Bisik Hinata, tersenyum tulus. Yachi memantapkan diri, tersenyum. Hinata meraih tangan Yachi. Keduanya tersenyum.

"Di hadapan Tuhan, Imam, para orangtua, dan juga para saksi. Saya Hinata Shoyo, dengan niat suci dan ikhlas hati memilihmu Yachi Hitoka sebagai istri saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan mendidik mereka. Demikian janji saya demi Tuhan dan Alkitab ini." 

Hinata menghembuskan napas lega setelah menyelesaikan ikrarnya. Hinata menatap Yachi. Giliranmu, isyarat Hinata melalui tatapan mata.

"Di hadapan Tuhan, Imam, para orangtua, dan juga para saksi. Saya Yachi Hitoka, dengan niat suci dan ikhlas memilihmu Hinata Shoyo sebagai suami saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupmu. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan mendidik mereka. Demikian janji saya demi Tuhan dan Alkitab ini."

Yachi menghembuskan napas. Ditatapnya Hinata. Hinata tersenyum seolah mengacungkan jempol pada Yachi, mengapresiasi keberanian Yachi. Keduanya bertukar cincin. Entah ini hari kebahagiaan atau hari yang penuh kedukaan. 

"Sekarang, kau boleh mencium pasanganmu."

Hinata dan Yachi saling tatap, berkomunikasi melalui tatapan mata. Hinata menarik napas, memejamkan mata. Di dekatkannya wajahnya pada wajah istrinya....

Jantung Hinata berdegup cepat. Dia sudah mencium Yachi sebelumnya. Namun, hari ini berbeda. Mereka akan berciuman di hadapan keluarga mereka. Jantung Hinata berdetak antara yakin dan ragu. Dan akhirnya, sapuan bibir Yachi menjawab keraguan Hinata detik itu juga. Bibir mereka bertemu, menyatu, dan menyampaikan rasa cinta yang begitu dalam. 

Kelegaan sekaligus kesedihan menyergapi hati Hinata dan Yachi detik itu juga. Hidup baru mereka dimulai detik ini. Shoyo, kau sudah menjadi seorang ayah dan suami. Mulai hari ini.


Young Love {COMPLETE}Onde histórias criam vida. Descubra agora