Bagian 55

16K 3.5K 2.3K
                                    

Sesuai perkataan Harrel beberapa menit yang lalu, Elga keluar dari rumah itu. Ia kini berjalan di pinggir trotoar. Elga juga sedang menyandang ransel yang berisi pakaian miliknya. Ia benar-benar mirip seperti anak jalanan. Mau bagaimana lagi. Semua fasilitas mewahnya diambil kembali oleh Harrel. Lagipula Elga tak bisa berbuat apa-apa. Faktanya semua barang-barang mewah itu hanya pinjaman semata.

Elga mengembuskan napas pasrah. Dia akan kembali ke asalnya. Rumah mewah itu bukanlah kediaman aslinya. Nyatanya, Elga hanyalah anak laki-laki biasa yang tinggal di sebuah desa kecil.

Terkejut?

Tapi itulah faktanya. Harrel memang bukan siapa-siapanya. Dia diberi tumpangan di rumah besar itu, dengan syarat dia harus menyelesaikan sebuah misi yang belum tuntas. Sebagai imbalannya, Harrel akan memberikan fasilitas lengkap, plus pendidikan layak padanya.

Sejak kecil, Elga mempunyai mimpi besar. Sebuah mimpi yang mungkin tak akan dipikirkan oleh anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Elga ingin bersekolah di sekolah swasta di perkotaan. Duduk di bangku sekolah yang layak dan sejuk. Dan berkutat pada materi-materi pelajaran sekolah tanpa memikirkan biaya ataupun masalah keuangan lainnya. Satu lagi. Elga ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Ia ingin menjadi pemuda sukses, agar bisa membanggakan Ibu dan keluarganya di desa. Ya! Mimpinya memang sesederhana itu.

Hingga suatu waktu, ketika Elga pulang dari Sekolah Menengah Pertama, saat itu ia sedang duduk di kelas 9. Elga bertemu dengan seorang pria yang sudah berumur. Pria itu tampak kesulitan karena mobilnya mogok. Beliau meminta tolong pada Elga karena kebetulan mereka berpapasan, namun Elga jelas tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak mengerti dengan mesin-mesin mewah itu. Saat itu, letak bengkel di desanya memang jauh. Elga terpaksa mendorong mobil itu hingga ke rumahnya. Ya, paling tidak, pria itu bisa beristirahat di rumahnya.

Pria itu ternyata orang yang sangat baik. Elga yang awalnya cuek-bebek dengan siapapun, kini mendadak ramah jika pria itu mengajaknya berbincang. Elga senang mengobrol dengannya. Pria itu sering menceritakan kisah anak-anaknya pada Elga. Dan pria itu adalah Satya Amanta.

"Setelah lulus nanti, kamu mau lanjut ke mana?" tanya Satya saat mereka berbincang mengenai masa depan. Waktu itu, Elga mengatakan bahwa dia sedang duduk di kelas 9 dan akan lulus beberapa bulan ke depan.

Elga terdiam. Ia tak mampu menjawab. Di desanya hanya memiliki satu sekolah SMA, dan itupun letaknya sangat jauh, di ujung sana. Kata orang-orang, biaya masuk SMA itu lumayan besar, meskipun di Negeri. Elga hanya mampu meneguk saliva, hampa.

Melihat Elga yang tertunduk sendu, Satya lantas merangkulnya. "Apa cita-citamu?"

"Aku ... aku ingin sekolah di kota. Menempuh jenjang kuliah dan bekerja di kantor-kantor besar. Aku ... ingin membuat Ibuku bangga."

Satya terenyuh. Penuturan Elga benar-benar menampar hati kecilnya. Sejak dulu, Satya hidup bergelimang harta. Bahkan saat hidup di penjara pun, ia sama sekali tak lepas dari harta-harta duniawi. Ya! Satya memang mantan NAPI.

Satya menyuruh Elga untuk memberikannya sebuah kertas dan pulpen. Satya lantas menuliskan sesuatu di sana. Ia juga membubuhkan tanda tangan dan cap stempel kecil yang selalu ia bawa di kantungnya. Satya memberikan secarik kertas itu pada Elga. "Ini alamat rumah anak saya. Ketika lulus SMP nanti, datanglah ke tempat ini."

Setelah menginap beberapa hari di rumahnya, Satya pun pamit melanjutkan perjalanan, karena mobilnya pun baru saja diperbaiki oleh montir di desa itu.

Di luar dugaan, mobil yang ditumpangi Satya malah meledak di perbatasan desa. Ternyata, montir yang memperbaiki mobil Satya waktu itu bukanlah montir profesional, karena dia mengaku baru belajar. Sayang sekali, tubuh Satya ikut terbakar dan nyawanya tak tertolong. Itu adalah pemandangan menyedihkan yang pernah Elga lihat seumur hidup.

Tiga [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now