Bagian 42

19.3K 3.4K 1.1K
                                    

Timmy berjalan menuju rumahnya dengan perut kekenyangan. Setelah habis-habisan diajari bermain bola oleh Elga, Timmy meminta upah dari lelaki itu. Tak ada salahnya kan? Lagipula lelaki itu sempat membuatnya pingsan beberapa saat. Elga terpaksa menuruti permintaannya. Lagipula permintaan Timmy tak muluk-muluk. Dia hanya ingin diberi makan dan minum. Dengan terpaksa, Elga memasakkan makanan serta membuatkan teh hangat untuknya. Ya, kali ini singa jantan itu tampak dermawan.

Ketika tiba di halaman rumahnya, manik mata Timmy tak sengaja menoleh ke rumah tetangga. Lebih tepatnya, rumah Diga. Kebetulan lelaki itu sedang duduk di atas motornya, dan manik matanya juga sedang bersitatap dengan Timmy. Timmy lantas melambaikan tangannya ke arah lelaki itu, "Dua..."

Diga tak membalas lambaian tangan serta sapaannya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot datar. Ada apa lagi sekarang? Apa lelaki itu kesambet lagi? Timmy melangkahkan kakinya mendekati lelaki itu, lantas menepuk punggungnya cukup kuat. "Heh! Jangan melamun, ntar kesambet loh!"

Diga sama sekali tidak terkejut, itu artinya dia sedang tidak melamun. "Dari mana aja?" tanyanya.

"Dari rumah temen," jawab Timmy, jujur.

"Temen yang mana?"

"Ada lah."

"Elga," ucap Diga tiba-tiba, mampu membuat Timmy tersentak. "Lo abis dari rumah Elga kan?"

"Dar-"

"Gue udah pernah bilang. Jauhi dia. Kenapa lo gak pernah mau dengerin kata-kata gue?!" tegas Diga. Timmy menatap kedua bola mata lelaki itu satu-persatu. Tak ada satupun raut jenaka khas Diga. Yang ada hanya raut keseriusan. Bahkan sangat-sangat serius. "Gue sama sekali gak ngerti. Dia udah jelas-jelas bukan orang yang baik. Dia bahkan berani meluk lo di depan orang banyak. Apa lo gak bisa menilai kebangsatan dia?! Apa itu gak cukup membuktikan kalau dia cowok brengsek?!"

Iya! Timmy akui kelakuan Elga tempo hari memanglah brengsek. Tapi, itu hanya sekedar pelukan kan? Timmy yakin, Elga tak akan berani berbuat lebih padanya.

"Tapi Empat bukan orang yang jahat," balas Timmy. Entah itu sebuah pembelaan, atau apa ... Timmy tak mengerti. "Buktinya tadi dia masakin gue telur dadar. Agak gosong sih, tapi lumayan lah. Dia juga bikinin teh anget-"

"Gue gak nyangka hubungan lo sama dia udah sejauh itu," sela Diga. Raut wajahnya tampak kecewa. Timmy mendadak bungkam. Apa kata-katanya tadi sedikit kelewatan? Apa dia telah menyinggung perasaan Diga?

Diga menuruni motornya, lantas melangkah memasuki rumah. Timmy tergugu. Dia tak ingin teman sepermainannya kembali merajuk. "Dua!" Ia lantas mengejar, dan mensejajarkan langkah dengan lelaki itu. "Gue ke rumah Empat cuma buat main doang kok."

"Main apa?"

"Main bo-" Timmy menghentikan ucapannya. Apa iya, dia akan berkata jujur bahwa dia sedang berlatih bermain bola? Timmy lantas menggeleng pelan. Diga tak boleh mengetahui ini. Timmy yakin, besok dia pasti akan memenangkan pertandingan itu. Dan sebagai hadiahnya, Diga bisa kembali ke ekskul futsal lagi. Ya! Timmy akan memberi surprise untuk teman sepermainannya itu! "Boneka. Kami main boneka."

Diga menelisik kedua mata gadis itu lamat-lamat, meneliti apakah ada kebohongan yang tersempil di sana. Namun, kosong. Diga tak ahli untuk mendeteksi kebohongan seseorang. Apapun alasan yang diberikan gadis itu, Diga harus gerak cepat. Ya ... dia harus segera mengungkapkannya. Jangan sampai Elga bajingan itu mendahuluinya. Tidak! Itu tidak bisa dibiarkan!

"Hello, Dua?" Timmy melambaikan tangannya di hadapan Diga. Lelaki itu tersentak. Ya! Sekarang saatnya.

Diga menghela napas lebih dulu. Gugup ... Mungkin karena ini terlalu mendadak. Lagipula itu wajar kan? Semua laki-laki gentle pasti pernah merasakan hal ini. Dia mengatur napasnya lagi. Jantungnya terasa berpacu lebih cepat. "Guesukasamalo," ucapnya teramat cepat.

Tiga [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now