-35-

15.9K 1.4K 7
                                    

Hari minggu itu tidak secerah hari-hari biasanya, ada mendung yang menyelimuti langit dan juga suasana rumah keluarga Pierre, wajah suram menunduk menyambut tamu yang berbelasungkawa menjadi pemandangan yang begitu menyakitkan.

Tak ada tawa dan senyum lebar yang diberi ketika bertemu sanak saudara.

Mereka berduka.

Rosaline begitu terpukul hingga tak kuat berdiri berulang kali untung ada suaminya yang senantiasa memberikan semangat hingga ia mampu duduk didekat jenazah cucu laki-lakinya yang begitu tampan meski dengan tubuh membiru.

Tamu-tamu dekat berdatangan termasuk Bryan datang dengan putrinya yang berusia dua tahun begitu juga Dimitri dan segenap keluarga besarnya disana. Mereka mencoba menyemangati Matthew yang sepeti mayat hidup.

Pria itu memang sering patah hati, bahkan ketika Anastasia pergi meninggalkannya ia rasa itu adalah luka terbesar dalam hidupnya. Tapi Matthew salah, baru kali ini. Kali ini ia merasa begitu tidak berguna dan hancur berkeping-keping. Apalagi ketika menggendong bayi mungil itu.

Rasanya ia bahkan tidak mampu menjabarkan dengan kata-kata lagi. Kekosongan yang begitu terasa dan rasa bersalah yang mencabik-cabik nya setiap waktu.

"Ikhlaskan." Begitu adalah kata-kata Dimitri dan Bryan padanya ketika ia memandang kosong mereka.

Mereka tidak mengerti rasanya, Matthew merasa begitu sakit. Ia berharap bertemu dengan anak itu meski awalnya ia tidak begitu berharap dengan keberadaannya. Berkomunikasi dengannya bayi kecil itu sedari didalam kandungan Amber membuat dirinya sayang dan ingin bertemu.

Tapi itu tidak terjadi.

Ia tidak berdaya, ingin rasanya menyerah saja. Mau berapa kali lagi ia patah hati begini. Patah hati kehilangan sosok yang ia cintai, jika seandainya Amber tidak selamat ia lebih baik mati saja dan bersyukur ia diantara duka nya bahwa wanita itu masih di sini di sisinya.

Amber sedang beristirahat di kamar, tidak bisa bertemu dengan siapapun. Bahkan beberapa tamu yang ingin memberikan semangat tidak bisa masuk karena lemahnya wanita itu.

Wanita itu belum berbicara apapun bahkan ketika ibunya mengatakan kabar buruk itu, dia hanya terpaku memandangi perutnya yang tidak begitu menonjol lagi. Setelahnya Amber terus tidur.

Dia tidak mau berbicara bahkan makan, jika saja infus tidak memberinya gizi mungkin wanita itu sudah pingsan tapi dia hanya tidur dan tidur.

***

Pukul lima sore dan rumah itu kembali sepi para tamu sudah meninggalkan kediaman Pierre yang megah. Di ruang tamu mereka hanya tersisa Matthew, kedua orang tuanya juga Ryu. Mereka masih betah diam.

"Ibu akan pergi melihat Amber dulu." Rosaline beranjak dari duduknya. "Ayo Ryu." Ia mengajak bocah itu dengan mata bengkaknya.

Ryu juga menangis ketika melihat semua orang begitu sedih, apalagi ia kehilangan adiknya yang pernah ia rencanakan akan menemaninya di rumah mereka atau belajar bersama.

Kini tinggallah Matthew dan ayahnya yang duduk berhadapan. Pria tua itu berdiri dari sofa kemudian mengambil duduk disebelah Matthew.

Ia menepuk jagoannya itu. "Kalian pasti akan diberi anak lebih banyak lagi. Percayalah. Anggap saja cucu dad itu adalah pelindung kalian kelak."

Belum pernah Matthew melihat ayahnya begitu khawatir padanya. Dulu pernah ketika ia kecelakaan bersama Anastasia tapi pria itu memilih bungkam saja menyerahkan seluruhnya pada Matthew. Dan ketika ia melihat pria itu mencoba menghiburnya saat ini ia yakin jika ayahnya juga pasti sangat kehilangan.

"Sorry dad." Matthew menunduk lagi-lagi air matanya menetes. Dia bukan pria cengeng dan sangat jarang menangis tapi ketika ia bersama ayahnya rasanya ia begitu lemah.

"Itu bukan salahmu." Pria itu mengusap punggung Matthew.

"Jika saja aku mengajaknya ke rumah sakit dan tidak meninggalkannya sendirian, pasti ini tidak ada yang terjadi." Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupnya.

"Jangan seperti itu Matt, apa yang terjadi biarlah terjadi karena semua ini sudah takdir setiap manusia. Jika ingin menyesal maka bertekad untuk berubah." Pria itu memang berwibawa.

"Amber butuh kamu, dukungan kamu. Kamu harus tahu diantara kita semua dia lah yang paling terluka. Lakukan yang terbaik untuknya. Lebih perhatian dan selalu disisinya."

Semua kata-kata ayahnya itu menampar Matthew. Ia memang tidak melakukan apapun sama sekali untuk membahagiakan Amber, dia hanya menghancurkan wanita itu perlahan. Merusaknya lebih parah dari apa yang ia temukan pertama kali.

Ia salah memandang Amber hanya sebatas pajangan dan juga temeng baginya. Memanfaatkan wanita itu hanya karena membebaskannya dari masalah.

"Apa yang harus ku lakukan untuk menebus semua ini dad." Ia frustasi

Ayahnya tersenyum lembut. "Pertama-tama lupakan Anastasia."

***

Hari kelima setelah pemakaman anak mereka Amber sudah mau berbicara dan bergerak dari tempat tidurnya, tapi semua orang tahu jika wanita itu lebih pendiam.

Seperti saat ini ketika mereka sedang makan malam dan wanita itu memutuskan untuk ikut duduk di meja makan meski ibunya menyuruh makan di kamarnya saja seperti sebelumnya.

Amber menolak tentu saja, ia tidak mau lebih lama lagi terlihat rapuh dan mencoba untuk sedikit melangkah maju.

"Apa makanannya sesuai dengan selera kamu Amber?" Rosaline khawatir karena menantunya itu sama sekali tidak berbicara di meja makan padahal mereka sudah berusaha membuka topik berulang kali.

Amber mendongakkan kepalanya, "Sesuai mom." Jawabnya sembari tersenyum tipis.

Rosaline tetap saja khawatir karena Amber belum meminta apapun padanya. Biasanya wanita itu tidak segan-segan meminta sesuatu jika menginginkannya karena menganggap Rosaline ibunya sendiri.

"Bagaimana kalau kaki Matthew sudah pulih dan kamu juga kalian mengambil waktu untuk bulan madu." Rosaline terkejut mendengar ucapan suaminya itu jarang-jarang pria itu ikut campur dalam kehidupan Matthew.

Matthew terlihat tidak menolak dan menoleh kearah Amber yang sepertinya tidak memikirkan apapun juga menatapnya.

"Kau mau?" Susah payah Matthew bertanya. Tentu saja itu idenya setelah berbicara pada ayahnya.

"Kamu?" Amber balik bertanya, wanita itu masih saja takut mengeluarkan pendapatnya.

Matthew menarik sudut bibirnya. "Aku tidak akan bertanya jika tidak menginginkannya."

Amber menunduk, ia belum bisa memikirkan apapun saat ini.

"Jika kamu tidak mau-" Matthew tidak mau memaksa.

"Aku mau."

"Bagaimana denganku?" Ryu menyela.

"Kamu dirumah saja temani nenek." Rosaline menyambar mencegah orang ketiga itu.

"Ryu boleh ikut." Amber menyela menatap polos ibu mertuanya tidak paham apa arti bulan madu.

Matthew tidak bisa berkata apa-apa karena menemukan Ryu sudah kegirangan dikursinya.

"Nanti liburan kemana?" Ryu bertanya.

"Kamu masih ingat pulau pribadi teman kakek?" Pria itu mencoba mengingatkan.

"Pulau dimana Amber melarikan diri saat badai?" Bocah itu menambahkan.

Amber tersenyum, untuk pertama kalinya.

Entah mengapa ucapan Ryu itu membuatnya teringat lagi saat-saat di pantai itu dimana ia memang pergi begitu saja dan Matthew menjemputnya kehujanan.

Amber teringat jika itu adalah pertama kali Matthew memegang tangannya dan juga pertama kali ia begitu menikmati tidur di pangkuannya.

Ternyata sudah sangat banyak kesempatan yang ia dapat dengan Matthew rupanya. Bahkan mereka hampir memiliki anak bersama.

Hampir.

Ia juga teringat air muka pria itu yang begitu was-was mendengar perihal kehamilannya. Mereka berdua memang belum siap.

Makanya bayi itu tidak lahir dengan selamat.

Mereka tidak siap menjadi orang tua. Matthew mungkin siap jadi ayah Ryu tapi tidak jadi ayah dari anaknya.

Pengasuh Pierre [ END ]Where stories live. Discover now