-32-

15.3K 1.3K 16
                                    

Rasanya tidak enak dan Matthew tidak betah berlama-lama di kursi roda. Baru saja sebulan berlalu ia sudah kebosanan duduk di kursi berjalan itu. Bekerja tidak mampu mengurangi bebannya malah membuatnya semakin pusing. Dan ia menginginkan refreshing. Sebuah hari dimana ia hanya menikmati harinya.

Tapi ia tidak mampu meminta karena itu tidak mengurangi beban siapa pun kecuali dirinya. Amber dan Ryu sedang sibuk. Ryu dengan sekolahnya dan Amber dengan dirinya.

Wanita itu masih semangat menyemangati dirinya, menemani kemana saja meski Amber tidak perlu mendorong lagi karena kursi roda Matthew sudah diganti jadi elektronik yang mampu di gerakkan sendiri oleh kendali.

Seperti saat ini mereka sedang berbelanja perlengkapan bayi untuk anak mereka yang sebentar lagi akan lahir. Sebenarnya ini idenya karena ia bosan di rumah. Lagipula Amber sepertinya tidak berniat sama sekali meminta nya untuk ikut atau bahkan membeli apapun untuk bayinya dulu karena segan, untung saja ia tahu.

Lihatlah wajah Amber yang berseri memilah-milah pakaian kecil-kecil ditangannya. Wanita itu melupakan Matthew yang sedari tadi mengekor dibelakangnya. Ia tidak pernah membeli pakaian anak-anak, bahkan itu Ryu semua yang mengurusnya adalah pengasuh atau ibunya.

"Warna hitam atau navy?" Amber terlihat begitu bingung memilih diantara jumpsuit kaos baby itu.

Matthew menarik alisnya heran. "Bukankah biasanya orang membeli warna terang?" Ia tahu koleksi pakaian Ryu yang dibelikan ibunya.

Amber tersadar. Ia hanya mengikuti seleranya yang suka warna gelap. "Oh." Ia menjawab lesu meletakkan baju itu kemudian mengambil jumpsuit berwarna biru terang tanpa bertanya lagi.

Wajah semangat wanita itu langsung hilang. Ia berjalan mengambil apa saja yang warna terang tanpa berpikir lagi. Ia bahkan tidak suka warna itu.

Matthew menarik tangan Amber yang hendak mengambil barang lainnya. " Tidak memilih dulu?" Sarannya.

Amber menggeleng. "Bukankah semuanya sama saja." Aku wanita itu.

Matthew menghela nafas panjang. Wanita ini jauh lebih sulit daripada rentetan wanita yang ia kenal.

"Aku cuma memberitahu kalau biasanya orang-orang mengambil baju yang berwarna cerah. Bukan berarti kamu harus melakukan hal demikian." Ia menjelaskan maksudnya.

"Benarkah?" Amber kembali lagi semangat. "Kalau begitu aku tukar saja warnanya." Ia menyibukkan dirinya memulangkan apa yang ia ambil dan menggantinya dengan warna gelap. Melihat itu Matthew pusing sendiri.

Apa anaknya laki-laki lagi?

Ah, Matthew membayangkan mengurus satu lagi seperti Ryu dan entah mengapa ia mengelus dada. Bukan tidak senang tapi Matthew berharap ia memiliki anak perempuan. Amber memang tidak mau mengetahui jenis kelaminnya dan mereka semua memilih menunggu.

Drrttt drrttt

Ponselnya bergetar, melirik Amber sekilas ia mengangkat panggilan itu. "Ada apa mom?" Tanyanya langsung.

[....]

"Minggu ini?" Matthew melirik Amber yang kini sudah berdiri didekatnya, wanita itu menghentikan kegiatannya seperti ingin bertanya sesuatu padanya karena memang Amber sedang memegang dua pasang kaos kaki.

[....]

"Amber masih lama melahirkan mom." Ibunya menyarankan mereka untuk pindah dulu ke rumah dadnya sampai Amber melahirkan.

"Baiklah, nanti akan kita bicarakan lagi mom, kami sedang diluar membeli perlengkapan bayi."

Ibunya memekik dan Matthew otomatis menjauhkan ponselnya dari telinga. Wanita itu tidak rela mereka pergi tanpanya.

"Sudah mom, aku tutup." Ucapnya setelah ibunya selesai bersungut-sungut. "Besok dia bisa belanja dengan mom disana ketika kami pindah." Sambungnya akhirnya membuat ibunya senang.

"Ada apa?" Matthew baru bertanya kepada Amber setelah ia menyimpan ponselnya.

Amber mengangkat dua kaos kaki mungil kepadanya. "Aku ragu." Ia berkat jujur. "Apakah mengambil ini atau ini." Ia menunjukkan kaos kaki hitam polkadot putih itu.

Matthew memijit pelipisnya, ia baru tahu jika kecintaan Amber pada warna gelap sangat fanatik ketika ia memeriksa trolley mereka, semuanya dominan hitam.

Ia suka hitam tapi membayangkan nya dipakai oleh bayi, ia ragu.

"Ambil saja keduanya." Ia menawarkan pasrah. Amber terdiam kemudian memasukkan nya ke keranjang. Wanita itu berjalan lagi ke rak-rak lainnya memburu warna kesukaannya itu.

Matthew tidak sanggup melarangnya biar saja nanti ibunya yang mengatasi. Ia sudah pasrah.

***

Ryu melongo melihat tumpukan belanjaan di ruang tamu dekat televisi ketika ia hendak menonton. Bukan karena banyaknya karena ia sudah biasa melihat belanjaan sebanyak itu tapi melihat apa yang ada didalamnya.

Pakaian bayi.

Bukan itu.

Tapi warnanya. Semuanya hitam.

"Apakah adikku laki-laki?" Tanyanya pada Amber yang sedang merapikan satu persatu baju itu.

Amber menoleh. "Darimana kau menyimpulkan?" Ia heran.

"Warnanya?" Ia terdengar ragu.

Amber menggeleng. "Hitam tidak selalu warna laki-laki. Buktinya aku suka hitam." Ia memberi alasan.

Ryu melirik ayahnya yang sedang sibuk di sofa memainkan laptopnya. Ayahnya bahkan tidak bisa protes lagi. Jadi untuk apa ia berdebat. Apapun jenis adiknya itu ia kasihan dengannya.

"Dad, aku rasa sebaiknya aku pindah sekolah." Ucapan tiba-tiba Ryu membuat dua orang itu berhenti dari kesibukannya.

"Kenapa?" Pria itu ingin penjelasan.

Ryu mengambil duduk disebelah ayahnya bersandar. "Aku tidak suka pelajarannya." Akunya.

"Pelajarannya terlalu berat untukmu? Kau tidak bisa mengikutinya?" Amber khawatir memilih untuk meninggalkan barang-barang bayi itu dan menyusul Ryu.

Bocah itu mendesah. " Bukan, malah sebaliknya." Ia tidak mau menjelaskan lebih dari itu.

Berbeda dari Matthew yang mengerti dengan baik karakter anaknya ia hanya diam dan memutuskan memikirkan sesuatu sedang Amber malah terlihat kebingungan.

"Maksudmu?" Ia heran.

"Pelajarannya terlalu mudah dan aku tidak sanggup lagi mengulang-ulang pembelajaran yang sama setahun penuh untuk menyamai teman sekelas lainnya."

Amber menganga.

"Kalau itu mau kamu, untuk beberapa waktu belajarlah di rumah, dad akan menyiapkan home schooling."

***

Malam sudah sangat larut Amber tidak bisa memejamkan mata, ia masih mengingat pegakuan Ryu. Anak itu akan homeschooling. Bukannya tak senang ia memiliki anak itu dirumah malah sebaliknya ia memiliki teman berdebat. Tapi memikirkan jika Ryu akan menghabiskan masa kecilnya sendirian tidak bersama banyak orang akan membuat bocah itu nantinya kesepian atau bahkan penyendiri.

"Belum tidur?" Matthew bertanya masih dengan mata berat.

"Aku tidak bisa tidur." Amber mengaku memperhatikan mata Matthew yang terpejam susah dibuka. Pria itu memang sangat sibuk seharian ia buat.

"Apa yang mengganggu pikiran mu?" Bahkan Matthew masih setengah menggumam.

"Aku memikirkan Ryu." Amber memilih menatap langit-langit kamar mereka yang gelap.

Matthew membuka matanya bergerak mendekati Amber. Wanita itu pasti berpikir yang tidak-tidak lagi.

"Biarkan saja begitu, akan ada masanya dia tahu apa yang ia inginkan." Ryu anaknya dan Matthew kenal dengan baik.

"Dia masih kecil dan tidak tahu apa-apa, Ryu akan menyesal." Amber terdengar khawatir sekali.

Matthew menarik sudut bibirnya. "Ryu itu sudah sering begitu, Anny."

Pengasuh Pierre [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang