5.♡

185 58 10
                                    

Aku yang salah sebab berharap bisa dipercayai dan terlalu bodoh memberi simpati.

***

Kamar itu dibatasi dengan tripleks, terletak di antara dapur dan ruang depan berukuran kecil. Gadis yang belum juga mengganti seragam merebahkan diri di kasur yang tidak empuk, tapi layak dijadikan tempat merebahkan diri. Sangat nyaman apalagi kamar ini tetap rapi walau tak luas.

"Besok jangan berangkat sebelum gue jemput."

Kata-kata Levin di akhir pertemuan siang ini terlintas di benaknya. Yossi sendiri begitu heran ketika mengingat omelan panjangnya selama di dalam mobil tadi. Entah keberanian dari mana mulutnya mengeluarkan kata tak masuk akal tersebut.

Ponsel Yossi bergetar ketika notifikasi masuk, menunjukkan tulisan yang langsung terlihat di layar kunci. Tangan gadis itu terulur meraih benda canggih yang tergeletak di sampingnya.

Andi Bio
Ini gue, Bio. Gue dapet nomor lu dari grup. Jangan lupa save pangeran tampan ini.

Yossi Alzazila
Udah, Bio.

Andi Bio
Oh, ya. Gue cuman mau bilang kalo Levin dapet surat panggilan gegara kejadian lo pingsan tadi pagi. Levin juga terancam dikeluarin dari sekolah kalau orang tuanya gak dateng. Dan gue yakin Levin gak bakal ngasih tau bokapnya kalau dia punya masalah di sekolah.

Yossi terduduk cemas saat membaca pesan terakhir yang tak lagi dibalas. Membiarkan Bio menatap dua centang biru pada pesan terakhir di seberang sana. Yossi menarik napas lalu menghembuskannya dengan berat. Sepertinya Yossi sedang memikirkan sesuatu.

***

Mentari pagi kembali hadir, menghangatkan ribuan manusia yang kedinginan sewaktu semalam. Membantu tumbuhan untuk melakukan fotosintesis dengan cahayanya.

Para guru di SMA ini sudah terbiasa berada di ruang guru satu jam sebelum jam pelajaran dimulai. Banyak murid yang mengatakan kalau guru mereka terlalu rajin. Padahal yang sebenarnya para guru pun memiliki tugas masing-masing yang mengharuskan mereka di sini sepagi ini.

Untuk pertama kalinya Yossi menginjakkan kaki di sekolah sepagi itu. Tujuannya hanya untuk menemui guru BK.

"Bu, Yossi boleh minta tolong?" Gadis yang sudah duduk di ruang BK, di depan meja Bu Susi bertanya dengan ramah.

"Minta tolong apa, Nak?"

"Yossi tau, Yossi di sini murid baru. Tapi Yossi minta tolong sama ibu, tolong tarik surat panggilan buat Levin. Jangan panggil orang tuanya ke sini, Bu." Yossi menuturkan permintaan yang sudah ditetapkan dalam dirinya sejak kemarin.

Permintaannya sangat berat, terlihat dari raut Bu Susi setelah mendengar satu persatu kata yang keluar dari mulut Yossi.

"Sekali lagi maaf, Bu. Sebenarnya ini bukan salah Levin sepenuhnya, Yossi emang kurang sehat kemarin, Bu."

Setelah urusan selesai, Yossi keluar dari ruang BK dengan lega. Entah virus apa yang menyerang otaknya, baru kali ini dia membantu seorang laki-laki dari sebuah masalah. Baginya ini terpaksa, sebab masalah Levin berawal dari dirinya.

Tanpa senyum Yossi masuk dengan raut datar di antara siswa periang di dalam kelasnya. Lagi-lagi dia hanya menaruh tas dan tetap berdiri di dekat bangkunya sendiri. Yossi mendapati bangku Levin yang kosong.

"Mampus!" Yossi menepuk jidat setelah mengingat sesuatu yang terlupakan. Gadis ini lupa kalau Levin akan menjemputnya hari ini.

"Jangan-jangan Levin sekarang nungguin aku," batin Yossi cemas. Ia menyesali diri sendiri karena sudah teledor dalam hal mengingat.

"Mantan Anak Taruna, Ketupat Sayur mana? Bukannya kalian berdua berangkat bareng hari ini?" Bio berbalik menghadap Yossi yang tengah berdiri di samping meja belakangnya.

"Jangan-jangan lo duluan berangkat?" tuduh Dimas menatap serius gadis yang sudah merasa bersalah dari jarak satu meter.

"Aku lupa," ucap Yossi pelan menahan gugup di dadanya. Terlebih Levin belum muncul, sementara bel masuk sudah berbunyi dua menit yang lalu.

Dari kejauhan kaca jendela, Yossi bisa melihat Levin berdiri memberi hormat di depan tiang bendera. Selagi tidak ada guru di ruang kelas, dengan cekatan ia keluar untuk membenarkan apa yang dilihat.

Yang berdiri itu memang Levin di antara beberapa murid lain yang berlari keliling lapangan karena terlambat. Yang membuat Yossi heran kali ini, kenapa hanya Levin yang berdiri seperti itu.

"Levin, kamu bapak hukum sampai jam pelajaran pertama selesai. Yang lain masuk." Dengan lantang Pak Veri menghukum murid yang terlambat sekaligus memanjat pagar yang ada di belakang sekolah. Karena bapak ini percaya kalau Levin tidak akan lari dari tanggung jawab, ia pergi ke ruangannya sendiri.

Yossi yang berdiri di bawah pohon rendah berdaun rimbun, mendekat ketika melihat peluang yang terbuka untuknya.

"Levin, kenapa kamu terlambat?" tanya Yossi yang sudah berada tepat di belakang Levin.

Levin hanya tersenyum kecut setelah mendengar suara lembut itu. "Penting gue ngasih tau lo?"

"Enggak. Tapi setidaknya aku bisa tau kalau kamu kasih tau." Suasana tegang mulai merambat.

Levin berbalik, menurunkan tangannya dan menatap tajam gadis yang terlihat bergetar di tempat dengan sepasang mata elangnya.

"Lo itu pura-pura gatau apa gimana, sih? Gara-gara nungguin lo, gue terpaksa manjat pagar belakang sampai-sampai harus dihukum pas ketahuan. Dan lo tau, itu semua gara-gara lo!" Rahang Levin mengeras. Pemuda itu marah dengan perlakuan baru dari makhluk yang disebut wanita. Ia sudah muak saat hendak mendekat tiba-tiba sifat asli yang menyinggung hati tertampak.

"Maaf, Vin. Aku lupa, karena aku ada urusan di sekolah yang buat aku harus dateng lebih pagi dari sebelumnya."

"Urusan? Sampe harus buat gue malu di depan semua orang? Ga lucu!" Levin berbalik membelakangi Yossi. Pemuda ini benci dihukum, terlebih ini untuk kesekian kalinya.

"Sekarang lo pergi dari sini. Gue gak mau denger suara lo, gue muak sama lo. Karena lo itu sama aja, sama kek perempuan lain yang gak berguna." Dengan suara lantang, Levin mengusir. Tentunya suara ini menghenyak perasaan Yossi. Netra yang berkaca-kaca adalah salah satu reaksi yang tidak bisa ditolak.

"Terserah kamu mau bilang apa. Karena aku ke sekolah lebih awal itu demi kamu, bukan demi aku sendiri." Yossi berlalu dari sana tanpa harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata 'demi kamu'.

Levin yang sangat tidak peduli melanjutkan hukuman yang diterima beberapa menit lalu. Menatap bendera merah putih yang berkibar dan terlihat indah ketika ditiup angin. Matahari yang berhasil menjatuhkan cahayanya membuat punggung Levin terasa panas. Keringat mulai bercucuran di pelipis pemuda ini.

"Lo bodoh, Vin. Bodoh banget. Mau aja lo jemput cewek yang sama kayak cewek lain. Gak berguna, bisanya cuma jadi pemuas nafsu." Dalam hati pemuda ini merutuki diri sendiri. Hal terbodoh hari ini sangat merusak mood.

"Aku salah. Seharusnya aku gak usah kasian kalau orang tuanya dipanggil ataupun dia di-skors karena kesalahan kemarin. Kamu yang bilang cewek itu gak berguna, tapi kamu sendiri yang gak punya rasa terima kasih. Berengsek." Yossi pun sama, merutuki diri sendiri dalam hati.

Keduanya sama-sama merasa bodoh dengan yang mereka lakukan hari ini. Seandainya waktu bisa diputar ulang, keduanya tidak mau mengulangi kejadian hari ini.

Bersambung ....

Jangan lupa votement-nya, Readers.

Sampai jumpa di part selanjutnya ....

Nona Bakso

Wound In A Smile [On Going]Where stories live. Discover now