3.♡

204 59 8
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim
Happy reading, Readers.
Jangan lupa votement-nya, yaa.

___ ___ ___

Lakukan semaumu, aku akan tetap seperti ini apapun keadaannya.

***

Brukk!

Buku dalam dekapan Yossi terjatuh ketika menabrak seorang makhluk yang mendadak muncul di depannya. Tanpa ingin melihat terlebih dahulu, gadis ini membungkuk mengambil bendanya yang tergeletak di lantai.

Levin yang sengaja muncul untuk menabrak justru terjebak menatap lekat. Rambut dikuncir dengan seragam olahraga hitam yang dipakai Yossi membuat yang melihat kagum.

Maklum, Yossi murid baru, untuk saat ini dia memakai baju olahraga dari sekolah yang lama sebelum baju yang baru siap.

Levin dibuat bergetar setelah melihat mata sembab dan wajah pucat gadis ini. Apa yang terjadi? Mungkinkah karena kejadian kemarin?

Yossi hanya menatap sekilas dan berlalu dari tempatnya berdiri. Seragamnya hitam di antara seragam biru murid lain.

"Perhatian! Anak Taruna memasuki ruangan!" seru Bio heboh sendiri. Menarik perhatian setiap siswa di dalam kelas.

Sebagian bisa jadi menganggap setres, memutar bola dengan malas, pura-pura tuli dan tentunya menjadikan hal ini sebagai bahan gosip.

"Aku udah pindah ke sekolah ini. Jadi aku bukan anak Taruna lagi." Yossi menaruh tasnya ke atas meja tanpa memantapkan diri duduk di kursinya. Dan dalam keadaan terpaksa berada di dekat pengacau yang membuatnya risih.

"Oh. Kalau begitu lo mantan anak Taruna."

Yossi menepuk jidat. Napasnya dihembus perlahan. Selembut mungkin setiap sudut bibirnya ditarik.

"Eh, miskin. Lo gak boleh duduk di sini kalau gak ada guru, ya! Soalnya kita gak selevel." Tanara sibuk berdandan dengan kaca kesayangannya. Menaburi wajah dengan bedak yang cocok untuknya. Inilah hobi Tanara yang tak berfaedah bagi Yossi.

Baru saja akan membuka mulut, Levin langsung bersuara.

"Kalau gue jadi Yossi, mending gue duduk di toilet sama setan daripada duduk sama mak lampir kayak lo," ketus Levin yang ditujukan kepada Tanara.

Tawa yang tertahan dari siswa lain sedikit terdengar.

"Kita 'kan sama-sama suka, Vin. Masa kamu milih anak baru itu daripada gue?" Tak terima dipermalukan, jengkel mulai turut serta mewarnai perasaan gadis sombong ini. Menghentikan aksinya menebali wajah dengan bedak.

"Cukup lo yang suka, jangan gue." Levin menolak-- masih dengan prinsipnya dahulu bahwa wanita hanya pemuas nafsu, tidak lebih. Berdasarkan hal itu, ia merasa kesulitan untuk merasakan yang namanya cinta.

Mau tak mau Tanara kembali melanjutkan aktivitasnya semula dengan rasa jengkel.

Seorang adik kelas datang mengetuk pintu dengan sopan. Kalau tidak dengan cara itu, para senior di kelas ini akan membully. Perlakuan adik kelas inipun masih diprotesi-- dituntut mengucap salam terlebih dahulu.

"Maaf, kak. Pak Ben bilang hari ini dia gak masuk karena ada urusan penting. Kalian diizinkan bermain di lapangan selama jam pelajaran olahraga berlangsung."

"ALHAMDULILLAH!" serempak beberapa siswa mengucap Hamdalah, bersyukur hari ini ada jam kosong lagi. Selain hobi bermain bagi laki-laki, perempuan pun punya peluang makan di kantin.

Siswa laki-laki memilih untuk mengisi jam kosong dengan bermain basket, sehingga lapangan SMA Negeri yang terbilang luas ini dipenuhi oleh murid kelas XI IPA 2.

Wound In A Smile [On Going]Where stories live. Discover now