26♡

107 17 10
                                    

Happy reading, readers!
Jangan lupa votement-nya, yaaa.

__ __ __ __ __ __

"Rasaku hanya menorehkan luka. Rasaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Lalu, pantaskah aku berharap kisah kita, selamanya?"

***

Malam ini Yossi pulang agak larut, tepatnya di pukul 21.45. Jalanan sudah mulai sepi, dia berjalan seorang diri di jalan setapak ini. Mencari ojek pun nyaris tak ada lagi.

"Kalau jalan kaki, bisa-bisa aku nyampe hampir jam 11 malem. Gimana, dong? Pasti Ayah marah," gumamnya khawatir.

Langkah yang dipercepat mulai melambat ketika Yossi melihat beberapa laki-laki berbaju hitam ada di depannya. Yossi takut, terlebih laki-laki itu memiliki wajah menyeramkan.

Yossi berbalik, berlari mencari jalan lain untuk pulang. Jalan setapak ini mungkin mempersingkat waktunya untuk sampai di rumah dibanding jalan raya, tapi Yossi tidak tahu jika ada preman di jalan ini.

Brukkk!

Yossi terjatuh, lututnya terluka ketika menyentuh aspal. Sementara pria yang mengikutinya semakin mendekat. Yossi pun berusaha berdiri, kembali berlari, menahan sakit di lutut yang mungkin darahnya sudah mengalir sampai kaki yang tertutup sepatu.

"Neng, tunggu Neng. Sini sama Abang aja," teriak salah satu pria yang masih mencoba mengejar Yossi.

Namun, Yossi tak mau berhenti. Ia tak ingin menoleh ataupun menghampiri laki-laki menyeramkan yang mengejarnya.

Sampai ada seseorang yang merangkul bahu Yossi dari samping. Bukan preman tadi, melainkan pemuda yang Yossi kagumi.

Pemuda itu Zio. Sengaja Zio merangkul Yossi untuk menghentikan niat laki-laki yang tadinya mengejar. Lihat saja, buktinya sekarang laki-laki tadi mundur, tak lagi mengikuti.

Yossi hanya pasrah. Dalam hatinya berkata, pasti Zio akan mengumpatnya sebagai wanita tidak benar. Bagaimana tidak? Mengejar Zio saja sudah dianggap murahan oleh Zio.

"Mau diantar?" tawar Zio berjalan dengan santai, belum juga melepas rangkulannya pada Yossi.

"Gak usah! Makasih," tolak Yossi menjauhkan tangan Zio dari bahunya.

"Yakin? Udah malem, loh. Emangnya gak takut dimarah Ayah?" kata Zio membuat Yossi kembali mempertimbangkan tawaran.

Tapi, Yossi kembali teringat ketika Zio mengatakan bahwa dirinya murahan. Yossi tidak suka dan Yossi ingin menjauhi Zio.

"Aku nyari ojek aja," jawab Yossi tak mau menatap Zio.

"Aku yang anter. Titik! Gak boleh nolak!" paksa Zio menarik tangan Yossi mendekat ke arah motornya.

"Ihh, gak mau!" Yossi menghempas tangan Zio.

"Oke. Aku tungguin sampe kamu dapet ojek. Kalau udah dapet, aku ikutin dari belakang," putus Zio duduk di atas jok motornya.

Yossi mendengkus kesal. Kalau Zio mengikuti sama saja Zio mengantarnya pulang. Pasti menyusahkan jika Yossi naik ojek.

"Ya udah iya, anter aku," ucap Yossi terpaksa.

"Gitu, dong. Ayo naik!" Zio menyalakan mesin motornya, diikuti oleh Yossi yang duduk di jok belakang.

"Kok belum jalan?" tegur Yossi saat beberapa menit Zio tak jalan, padahal mesin motor sudah dinyalakan.

"Ada yang kurang," kata Zio membuat Yossi mengernyitkan dahi heran.

"Apa?" tanya Yossi mendekatkan wajahnya ke kepala Zio. Coba saja bukan di atas motor, Yossi tidak akan sampai di bahu Zio.

Zio menarik tangan Yossi untuk melingkar di perutnya. "Pegangan yang erat, nanti jatoh."

Deg ....

Jantung Yossi seakan berhenti berdetak, waktu seolah berhenti berputar. Yossi terbawa perasaan, tapi ia ingat bahwa perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan. Jika terus seperti ini, bisa-bisa Yossi kesulitan melupakan Zio Narendra.

Di perjalanan, mereka hanya diam. Zio tak tahu harus memulai percakapan dengan apa, Yossi pun tak ingin bicara karena takut salah satu omongannya salah, lalu Zio kembali mengatakan dirinya murahan.

Sesampainya, Yossi turun tanpa mengucap kata terima kasih dan bergegas menuju gerbang. Sayangnya, gerbang digembok yang membuat Yossi tidak bisa masuk ke dalam.

"Gak ada yang ketinggalan, gitu?" tanya Zio membuat Yossi menoleh.

Yossi yang tidak peka menjawab, "Kayaknya enggak, deh, Kak. Soalnya aku cuma bawa tas."

"Bukan barang, tapi semacam ucapan gitu," balas Zio masih memberi kode.

Yossi mengembuskan napas pelan-pelan. Yossi sudah peka dan mengerti maksud ucapan Zio.

"Makasih, Kak," kata Yossi diam di tempat. Dia tidak tahu harus bagaimana. Masuk, pintu gerbang digembok. Tetap di sini, Yossi takut.

"Kok diem? Sana masuk," suruh Zio masih menunggu.

Karena Yossi hanya diam, Zio pun turun dari motor. Mencoba membuka gerbang dan membuatnya sadar bahwa gerbang sudah dikunci. Zio mengernyitkan dahi dengan ekspresi marah.

"Kenapa Pak Dodi menggembok gerbang, padahal kamu belum pulang?" tanya Zio yang tak mampu Yossi jawab. Akhirnya, Zio memukul gerbang dengan gembok.

"Kak, jangan!" cegah Yossi takut suara gembok tadi didengar dan membangunkan ayahnya.

"Kenapa? Aneh juga, kan, anak belum pulang tapi gerbang udah dikunci!" kesal Zio tak menghiraukan larangan Yossi.

Tiba-tiba Bi Indah datang, membukakan pintu gerbang perlahan-lahan.

"Ayo, Non, masuk. Sebelum tuan kebangun," kata Bi Indah membuat kaki Yossi melangkah ke dalam.

Baru beberapa langkah, Yossi berbalik. "Makasih, Kak. Tapi, tolong, kalau gak ada rasa jangan kasih harapan."

Zio ditinggal sendirian di depan gerbang. Yossi biarkan meskipun hatinya tak tega. Yossi terpaksa melakukan ini, ia ingin segera lepas dari semua perasaannya yang sangat sia-sia.

Yossi tak pulang lewat pintu depan, melainkan pintu belakang.

Bi Indah mengatakan bahwa jika Yossi pulang agak larut atau hendak pergi diam-diam, maka lewatlah di jendela yang ada di kamar Yossi.

Saran Bi Indah bisa dipakai, selain tidak tinggi juga cepat sampai di gerbang.

"Gimana kalau Ayah tau aku kerja dan selalu pulang malam? Apa Ayah bakal marah?" pikir Yossi menatap langit lewat jendela.

"Kurasa, Ayah gak akan marah. Ayah gak lagi sayang aku. Ayah udah jadi Papa," tambah Yossi menatap sendu.

Alih-alih Yossi teringat wajah ceria Zio yang berubah. Ada rasa ketidaktegaan, tapi Yossi tidak berdaya. Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, Zio tak membalasnya. Hanya ada luka yang tertoreh.

"Ya Allah, kirimkan seseorang yang bisa menjadi bintangku, kebahagiaan yang aku impikan."

"Aku sedang menunggunya, Ya Allah. Kuharap Engkau kabulkan."

Bersambung....

Holla, guys. Ada yang nungguin?
Maaf baru update, Author harus fokus kuliah.

Jangan lupa votement-nya, yaa.
Ditunggu.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Koment next!

Nona Bakso

Wound In A Smile [On Going]Where stories live. Discover now