31♡

113 13 2
                                    

Happy reading, readers!
Jangan lupa votement-nya, ya:)

____________

"Sebelum mencintai seseorang, engkau harus mencintai ibumu terlebih dahulu."

***

"Apakah kamu tidak merindukanku?"

Pertanyaan ini membuat siapa pun yang mendengarnya tertegun, terlebih dalam pelukan yang erat dan penuh hasrat kerinduan.

Yossi hanya mengelus punggung Levin dengan pelan sembari menyebut namanya, tapi bukan Levin, melainkan nama lain.

"Devan. Apa kabar?"

Pelukan erat, merenggang, lalu lepas. Ada kebencian di mata pemilik nama setelah mendengar nama Devan.

"Aku bukan Devan! Aku Levin, Yos!" marah Levin menggenggam keras kedua lengan Yossi.

Yossi hanya bisa menahan sakitnya, karena Yossi tak mau menorehkan luka lagi hanya karena penolakannya.

"Levin yang aku kenal itu Devan, bukan Levin Agrapana," jawab Yossi dengan tenang.

"Arrgghhhh!" teriak Levin berbalik dan menendang kursi yang ada di dekatnya.

"Kenapa? Apa kamu ingat seseorang? Sosok yang begitu berjasa dalam hidupmu? Atau ... sudah tidak ada cinta untuk seorang ibu?"

"Tidak ada cinta untuk seorang ibu! Aku benci wanita!" jawab Levin dengan penuh amarah.

"Coba jawab tanpa rasa marah, berpikir dengan jernih. Kamu benci ibu yang termasuk seorang wanita, artinya kamu juga benci aku!" tegas Yossi dengan mata berkaca-kaca, badannya bergetar di tempat, tapi ia tak mau terlihat lemah. Ia tetap berdiri meskipun rasa menyerah akan menyerang.

"Kamu itu berbeda, Yos!"

"Iya, beda!" potong Yossi sembari mendekat, menyentuh bahu Levin untuk berbalik menghadapnya. Lalu, Yossi tatap mata itu dengan dalam.

"Iman kita yang berbeda, dan lebencian kamu terhadap wanita, memperkuat perbedaan itu," kata Yossi, dengan hati yang turut terluka dengan perkataannya sendiri.

Lalu, bagaimana dengan Levin? Apakah lukanya sama dengan Yossi?

Levin dengan lemah berlutut di hadapan Yossi. Tangisnya kembali pecah setelah memeluk Yossi lagi.

"Maaf. Apa yang harus aku lakukan supaya perbedaan itu hilang, Yos? Apa?!"

Seakan putus asa, Levin hanya bisa bergantung pada Yossi untuk perbedaan yang tak bisa menyatukan mereka.

"Ayo ketemu ibu. Dia udah nunggu," kata Yossi menggenggam tangan Levin dengan lembut sembari menunjukkan senyumnya yang tulus.

Dahi Levin berkerut, ia terdiam dengan hati dan pikiran yang terus bertengkar. Hatinya mengatakan untuk ikut Yossi, karena ada cinta yang menunggunya, sedangkan pikirannya mengatakan bahwa cinta tak harus didapat melalui ibunya yang telah pergi beberapa tahun silam.

"Dasar wanita tidak diuntung! Berani-beraninya kamu mengajak Levin bertemu dengan wanita pengkhianat itu!" bentak Barun dari arah pintu.

Sontak Yossi menoleh ke belakang, menatap kaget Barun yang mendekat dengan tatapan tajam.

Lantas Barun menarik Yossi keluar dengan kasar. Tak peduli jika wanita yang ia genggam ini kesakitan.

"LEPASIN YOSSI, PA!" Levin bersuara. Dia memang membenci wanita karena papanya. Tapi melihat kekasaran Barun, ada celah di hatinya untuk mengurangi rasa benci.

Wound In A Smile [On Going]Where stories live. Discover now