(20) Into You

845 79 41
                                    

"Kalau lo tahu hal itu bakal kejadian, apa lo bakalan ngebiarin hal itu terjadi sama gue?" Entah mengapa Maya hanya penasaran saja dengan pendapat Aska.

"Adanya mustahil gue harus peduli, kan? Justru itu bisa jadi pelajaran buat lu, supaya jera mencampuri urusan orang lain" lempeng cowok yang sekarang memandang rendah seorang Maya.

Sementara cewek di depannya tercengang akan sisi kemanusiaan Aska yang terjun mencapai level paling bawah. Terhenyak untuk beberapa jenak sebelum mengangguk paham, memahami hal yang benar-benar menyedihkan, "I see, sekarang gue ngerti, kenapa lo sebegitu bencinya sama gue dan Mama. Kenapa begitu susahnya untuk nerima kenyataan kalau lo udah punya seorang ibu. Tentang mengapa akan selalu keluar kata-kata kebencian dari lo yang hanya di khususkan untuk kami," Maya tersenyum getir.

Dan Aska seketika gemas dengan netra itu sebab sorotannya yang tiba-tiba berubah begitu sendu bercampur sedikit ... iba? Aska tidak mengerti dan ia tidak terima bila seorang Maya berpikir untuk mengasihaninya walau sehelai rambutpun.

***

Terasa sekali egonya tercubit ketika mengetahui ada orang yang memandangnya dengan mata kasihan seperti itu bahkan setelah sekian lama. Dan tidak bisa dipungkiri, si sulung itu masih sangat membenci hal tersebut.

"Wait ... wait, apa-apaan wajah lo itu?" Tanya Aska sarat penasaran, kaki panjangnya mendekat selangkah agar bisa mencari jawaban dari matanya langsung. Obsidiannya tajam tepat di netra cewek di depannya,"lu ..."

"Iya, gue ngerasa kasihan." Potong Maya membalas mata tajam Aska, "sama lo, sama Saka. Kita punya masa lalu yang sama-sama menyakitkan, punya luka sama dalam. Tapi kayaknya, kalianlah yang jatuh paling keras, sampai-sampai mematikan empaty dalam diri lo. Dan gue kira itu bukanlah sesuatu yang wajar. You need help Aska, immediately!"

Maya tak pernah tahu dari mana lidahnya mendapat keberanian untuk mengatakan kalimat sentimen barusan. Yang Maya tahu untuk saat ini ia sungguh ingin mengatakannya, ia pun tak menyesal. Apapun konsekuensi yang ia dapatkan nanti, Maya tidak perduli, sebab ia merasa seseorang memang harus mengatakan hal itu kepada Aska, terlepas dari cowok itu menerimanya atau tidak.

Yang jelas kita semua tahu, seseorang harus segera menolongnya. Seseorang harus mengulurkan tangan untuk menggenggam mereka, sebelum tenggelam lebih dalam. Sebelum lukanya terlalu parah untuk di sembuhkan

Di sisi lain, Aska nampak panas mendengar tiap kata yang diucapkan Maya. Terdengar lancang dan mengusiknya tanpa sadar. Seperti kesal karena mendapati penggambaran dirinya dari mulut seseorang secara langsung.

"Engga ada yang lebih menyedihkan dari seseorang yang engga bisa bangkit dari keterpurukan. Sepelik apapun masalahnya. Sesakit apapun lukanya, justru hal itulah membuat kita jadi kuat," Maya melarikan diri tatapan tajam Aska ke kawanan kucing terlantar itu. Merasa aneh untuk menyebutkan kata kuat disaat sejujurnya ia tidak begitu yakin bahwa dirinya sekuat yang ia tunjukan.

"Iya, paham kok. Gue gak berhak ngomong kayak gitu. Gue bukan siapa-siapa lo, orang asing pula. Dan ucapan gue tadi bukan sebagai saudari lo, tapi dari orang asing yang kebetulan sedikit paham dengan apa yang lo rasain."

Dada cowok itu berdesir, rahangnya mengeras tanda ia berusaha menahan sesuatu. Sejak tadi, Aska bungkam bukan berarti ia tidak marah. Justru ia sangat marah akan dirinya membiarkan gadis itu mengatakan kalimat-kalimat lancang, tak tahu diri.

Aska tidak tahu persis, namun sangat yakin bahwa gadis itu tidak sedang membicarakan tentang ucapan berengseknya sesaat lalu. Gadis itu seperti mengetahui masalalunya yang menyedihkan. Ia berlagak paham bagaimana kehidupan seorang Aska. Dan hal itu membuat Aska marah.

Two Bad BrothersWhere stories live. Discover now