(3) Tersedak Kenyataan

1.4K 104 2
                                    


     

       Sepanjang jalan lorong menuju kantin, selama jam pelajaran terakhir, dan sepanjang perjalanan pulang menuju gerbang sekolah; Maya mungkin harus puas dengan ulah Lily yang tanpa henti menyebar ujaran kekagumannya pada cowok sok kenal tadi. Yang Maya tahu dari ceritanya Lily namanya Saka Narendra, cowok dengan segala pesona yang mampu membuat setiap cewek di sekolah bertekuk lutut. Lebay? Memang, Maya bahkan hanya memasang wajah datar ketika Lily bercerita tentang orang itu.

Maya dan Lily akhirnya berpisah setelah mobil yang menjemput Maya datang. Di jok belakang, Maya mengambil novel yang baru ia beli dari dalam tas, kemudian tenggelam dalam ceritanya.

"Neng Maya! Udah sampai" ujar pak Junaidi, menyadarkan Maya dari khayalannya.

"Oh, makasih ya, Pak! Besok-besok Pak Jun jangan repot-repot antar-jemput lagi. Nanti aku bisa ngapalin rute naik angkot sampai rumah, biar enggak ngerepotin Pak Jun" ujar Maya usai turun dari mobil itu. Maya memang sudah terbiasa mandiri, berangkat-pulang naik angkot, ia pun sudah akrab dengan pak sopir angkot yang biasa ia timpangi dulu.

"Ah, Neng Maya ini 'kan kerjaan Bapak, udah biasa atuh. Enggak ngerepotin, apalagi anak-anaknya Pak Ridwan pada enggak mau dianterin saya" kata Pak Junaidi yang notabanenya adalah sopir keluarga Ridwan.

Pikiran Maya teralihkan ketika mendengar kalimat 'anak-anaknya Pak Ridwan' Maya teringat dengan cerita Mamanya kalau Pak Ridwan memang memiliki dua anak laki-laki yang seumuran dengannya. Namun karena ia sebenarnya tidak terlalu menyukai pernikahan mamanya dengan yang kedua itu, akhirnya Maya malah berusaha cuek untuk urusan mengetahui lebih dekat segala sesuatu tentang keluarga barunya.

"Em... kalau boleh tau, anak-anaknya Om Ridwan namanya siapa ya, Pak?" Tanya Maya yang justru membuat Pak Junaidi terheran.

"Lho, masa Neng Maya enggak tau, kan' saudara sendiri"

Maya tertawa miris, saudari macam apa yang tidak tau nama saudaranya sendiri "ya gimana Pak, lupa. Belum pernah ketemu juga"

Pak Junaidi tersenyum maklum "emang Neng, mereka jarang ada dirumah, kadang enggak pulang dalam beberapa hari, enggak tau tidur dimana. Ke rumah pun kalau ada perlunya. Maklum di rumahpun enggak ada siapa-siapa, Pak Ridwan sibuk sama perusahaannya. Nyonya Marina- aduh, maaf-maaf Bapak jadi kelewatan" Pak Junaidi bergerak canggung.

"Eh, enggak apa-apa Pak-"

"Kalau gitu Bapak langsung kebelakang aja ya" Ujar Pak Junaidi kemudian berlalu ke dalam mobil.

"Eh tapi 'kan pertanyaan aku belum di jawab Pak!?" terlambat, Pak Junaidi sudah menuju ke garasi bersama mobilnya.

Maya menghela napas, mendadak lesu, mengingat ini adalah hari pertamanya di sekolah baru itu. Dan semua hal yang berhubungan dengan kata 'baru' terasa membuatnya lelah. Maya menyeret langkah untuk masuk ke dalam rumah yang masih sangat terasa asing. Melewati tangga menuju lantai dua tanpa minat, kemudian terhenti di depan pintu kamarnya, berbalik. Maya menatap lurus ke arah pintu bercat hitam di depannya. Untuk beberapa jenak kembali terlintas dalam pikirannya mengenai kejadian tadi pagi.

Tanpa bisa ditahan, semburat merah perlahan merambat ke pipinya, membawa sensasi aneh yang sangat jarang Maya rasakan.

"Ini aku lagi ngapain, sih, gak jelas" Maya membuka pintu, langsung menghempaskan tubuh lelahnya ke atas kasur yang untungnya sangat empuk.

Maya menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkelana, menyadari sebuah fakta yang pertama: bahasa kasarnya Maya sekarang mendadak kaya, yah, walaupun yang punya semua kekayaan itu adalah Ayah tirinya.

Yang kedua: Maya sudah bukan lagi menyandang gelar anak tunggal, melainkan satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara. Dan kemungkinan besar, cowok yang kamarnya bertetangga dengannya itu adalah saudara tiri Maya. Dan fakta yang paling penting adalah sebuah prediksi Maya tentang hubungan persaudaraan tiri ini mungkin akan berjalan sedikit tidak lancar, karena insiden pertemuan pertama itu.

Two Bad BrothersWhere stories live. Discover now