22. Thalassophobia

28.2K 4.3K 989
                                    

***

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Sea dan Rian menginap di villa Ujang yang tidak jauh dari bumi perkemahan, membuat beberapa anak perempuan memutuskan untuk tidur di dalam villa. Sedangkan anak-anak pria, memilih untuk tetap berada di tenda.

Gelap. Hanya ada suara deburan ombak saat Sea memberanikan diri untuk keluar. Berjalan tanpa suara. Sea menarik napasnya kuat-kuat, mencoba menyatakan tapak yang tampak seperti tidak terlihat. Sea menoleh ke arah tenda, sepertinya tenang, tidak ada lagi anak yang terjaga.

Sea menatap arlojinya, sudah pukul satu malam. Lalu matanya menelanjangi gelap gulita dengan jaket tebal bewarna pink dan syal di lehernya.

Sea menarik napas lebih kuat dari sebelumnya. Kakinya bergerak melepaskan sendalnya. Lalu ia coba serap semua keberanian yang sudah bertahun-tahun ia latih. Kakinya melangkah pelan namun ia kembali berhenti.

Sea mundur beberapa langkah. Lalu nyeri di bagian uluh hati kembali ia rasakan. Sea menutup kedua matanya. Napasnya menderu, beberapa rakitan kata Sea ucapkan demi mengusir hal-hal negatif yang ia ciptakan sendiri di kepalanya.

Di rasa tenang, Sea mencoba lagi untuk melangkah maju, kali ini telapak tangannya ia letakkan untuk menutup kedua telinganya. Ia benci suara laut.

Gagal. Ia kembali gagal. Kakinya kembali mundur. Kali ini Sea luruh, ia menutup kasar kedua telinganya, lalu menggeleng cepat "Pa hiks hiks, Pa," isak Sea. Ia menangis meraung, bahunya ikut naik turun. Tanpa Sea sadari, sedari tadi mata Galaksi mengawasi Sea dari balik tenda, bahkan kini pria itu sudah berdiri tepat di belakang Sea.

Tidak lama, Galaksi menunduk dan memegang kedua lengan Sea dari arah belakang, membantu Sea untuk berdiri. Sea shock, lalu ia menoleh. Wajahnya bertabrakan dengan dada Galaksi.

"Saya bantu," ujar Galaksi pelan. Suaranya menyatu dengan ombak.  Sea memilih untuk tetap diam. Ia masih terkejut bisa seintens ini dengan Galaksi.

"Hal apa yang kamu sukai selain menangis?" tanya Galaksi di sebelah telinga kanan Sea. Sea menutup wajahnya. "Sea dengerin saya. Saya tidak tau apa yang sudah terjadi di belakang. Saya tidak akan bertanya hal itu. Saya hanya ingin kamu tau bahwa laut itu indah. Seindah nama kamu. Seindah karunia yang ada dalam diri kamu."

"Sea, laut itu bisa kamu jadikan teman. Derunya bisa kamu ajak berbicara meski tidak pernah ada jawab di sana. Laut itu memiliki vitamin yang tidak bisa di jadikan bentuk oleh manusia."

"Sea, laut, pantai, itu adalah keajaiban Tuhan yang tidak layak kamu takutkan." Sea mencoba menatap pantai yang gelap, ia mencoba mendengar dengan jelas deru ombak. "Coba bayangkan, Papa kamu, Ya. Beliau adalah sosok yang luas, seluas laut di hati kamu. Cinta kamu dan cinta beliau ke kamu mirip seperti laut, tidak ada ujungnya pun tidak ada titik awalnya."

"Mungkin dari semua isi semesta, cuma Papa kamu yang paling kamu suka. Tapi dari semua yang ada dalam diri kamu, ada satu hal yang mungkin di benci oleh Papamu." Galaksi mengusap lengan Sea "Mengenangnya yang menciptakan cacat di kehidupanmu." Sea mencoba melangkah dengan dorongan Galaksi "Its oke to be not okay, Ya," ujar Galaksi mencoba melepaskan tangannya di lengan Sea, dan membiarkan Sea berjalan dengan ragu-ragu.

Beberapa langkah, Sea kembali mundur dan memeluk tubuh Galaksi. Dengan tetap menangkup wajahnya, Sea menangis tersendu-sendu."Sea gak bisa Kak Galaksi. Ada Papa di sini. Hiks hiks. Ada Papa meninggal di tepi pantai. Ada bayangan Papa menghembuskan napasnya di sini, hiks hiks hiks." Galaksi diam. Ia turut menegang. Bukan karna cerita Sea, malainkan karna tubuhnya seintens ini dengan Sea. "Kalau hiks hiks, kalau aja hiks Ya Tuhan, hiks hiks." Galaksi dapat merasakan nyeri di bagian hatinya.

Sagala Where stories live. Discover now